Sabtu, 25 Januari 2014

Bahasa, Individu, dan Masyarakat

Suatu bahasa atau dialek tersusun atas sejumlah sistem tingkat otonomi yang bervariasi (Goodenough, 1981, hlm. 19-45). Perubahan pada salah satu sistem atau perubahan dalam cara artikulasinya akan menghasilkan bahasa yang berbeda. Di dunia ini, tidak ada dua individu yang memiliki siste artikulasi  yang identik. Bahkan sepasang anak kembar identik pun pasti memiliki sistem artikulasi yang berbeda, seperti halnya sidik jari. Setiap individu memiliki idioleknya sendiri, yaitu versi setiap orang atas apa yang ia ketahui atau rasakan sebagai dialek tertentu dari sebuah bahasa. 

Ada banyak versi dari suatu bahasa dan perbedaan di antaranya cukup kecil pada kalangan dewasa yang merupakan penutur aslinya. Perbedaan yang ditemukan semakin besar pada kalangan anak-anak dan juga pada kalangan dewasa yang bukan penutur asli. Contohnya kata piring yang bisa sangat bervariasi diucapkan oleh anak-anak: piring, piling, piying, piing, dan sebagainya. Setiap orang yang mempelajari sebuah bahasa mengembangkan standar-standar yang tidak disadari dan ini sifatnya subjektif.

Dengan hanya sedikit perbedaan dalam sistem lain, dua penutur dapat memiliki sistem fonologi yang sangat berbeda meskipun tetap mampu untuk memahami satu sama lain. Beberapa perbedaan dalam sistem morfologi hanya berdampak kecil pada kesepahaman bersama. Namun, kesalahpahaman dapat berkembang cepat dengan perbedaan sistem semantik, yaitu bagaimana konsep-konsep dipetakan dalam morf, kata, dan ekspresi-ekspresi lainnya. Meskipun dua bahasa memiliki fonologi, pola konstruksi morfologi, dan prinsip-prinsip sintaks yang sama, jika kata-kata dalam salah satu bahasa menyatakan hal yang sama dengan kata dalam bentuk berbeda pada bahasa lainnya (contohnya konsep 'mahal' yang dinyatakan dengan bentuk larang dalam Bahasa Jawa, tetapi dinyatakan dengan awis dalam Bahasa Sunda) sementara bentuk kata yang sama tidak pernah menandai hal yang sama (misalnya kata atos yang berarti 'sudah' dalam Bahasa Sunda dan berarti 'keras' dalam Bahasa Jawa), kedua bahasa tersebut dipandang sebagai bahasa yang berbeda. Pembeda antardialek dalam suatu masyarakat adalah tatanan linguistiknya. Dengan susunan linguistik yang rumit dalam suatu komunitas, perbedaan dialek dan bahasa menunjukkan aturan-aturan yang berbeda dan cara penilaian yang berbeda. 

Dalam suatu masyarakat, kita dapat menemukan lebih dari satu bahasa. Ada dorongan dan kesempatan yang berbeda bagi setiap anggota masyarakat untuk mempelajari dan menguasai suatu bahasa. Menurut Burling (dalam Spradley, 1972), kecakapan seseorang dalam beberapa bahasa dan dialek yang berbeda berhubungan erat dengan penggolongan kelas dan kasta dalam suatu masyarakat yang kompleks. Ini dapat dilihat pada apa yang terjadi pada seorang pembantu dan majikannya yang berasal dari dua segmen berbeda dalam suatu tatanan masyarakat yang majemuk. 

Pembantu rumah tangga dan majikannya yang menggunakan bahasa mereka masing-masing  akan membawa pengaruh pada anak-anak mereka. Ketika anak-anak sang majikan diasuh secara terpisah dari anak-anak pembantunya, bahasa sang majikan lebih mempengaruhi bahasa pembantunya dan anak-anaknya daripada bahasanya sendiri mempengaruhi bahasa majikannya. Ini disebabkan oleh relasi kuasa karena kelas sosial mereka. Namun sebaliknya, jika anak-anak sang majikan lebih banyak diasuh pembantunya dan tumbuh bersama anak-anak sang pembantu, mereka akan menjadi lebih mahir menggunakan bahasa pembantunya tetapi tidak sebaliknya (anak-anak sang pembantu tidak mahir menggunakan bahasa sang majikan). Ini menunjukkan bahwa tingkatan kemahiran dalam bahasa dan dialek tertentu juga merupakan cerminan dari dorongan dan kesempatan.

Referensi
Goodenough, Ward H., ed. 1981. Culture, Language, and Society. California: The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. 
Spradley, James P., ed. 1971. Culture and Cognition:Rules, Maps, and Plans. San Fransisco: Chandler Publ. Co 

Tidak ada komentar: