"Selamat yaaa udah luluuus!!"
"Alhamdulillah, makasiih!"
"Lega dan seneng banget yaa pastii udah luluus, apalagi nilainya
baguuus,"
"Alhamdulillah... iya seneng dan lega, lalu berganti dengan ketegangan
dan kekhawatiran lainnya.."
Itulah yang saya rasakan. Saya tidak membantah jika kelulusan saya dari
sekolah terakhir menimbulkan rasa senang dan lega. Namun, di saat yang sama,
muncul ketegangan dan kekhawatiran lainnya berkaitan dengan pemberian
gelar itu sendiri. Ini serupa halnya dengan pengalaman saya sembilan tahun yang lalu.
Dalam ijazah S1, saya melihat tulisan berikut di bawah pernyataan pemberian
gelar kepada saya:
beserta segala hak dan kewajiban yang melekat pada gelar tersebut.
Seperti halnya pada suatu jabatan, posisi, dan sebagainya, ada kewajiban
tertentu yang melekat pada gelar akademik seseorang. Makin tinggi
pendidikannya, makin besar pula porsi kewajiban yang dituntut darinya untuk
dapat berguna bagi dunia. Dengan kata lain, tanggung jawabnya semakin berat.
Hal yang sama berlaku pula di bidang akademik. Beberapa waktu yang lalu,
seorang teman sempat mencurahkan perasaanya tentang nilai kurang memuaskan yang
diperolehnya. Wah, itu sih "keahlian" saya terkait pengalaman lulus pas-pasan di jaman S1 dulu ... hahaha. Saya bilang, itu sebenarnya sebuah nikmat juga
yang harus disyukuri. Mahasiswa yang dapat nilai A dan yang dapat nilai C,
misalnya, bebannya tentu berbeda. Yang nilainya C, kalau bilang banyak lupa
tentang ilmunya, harap maklum. Nah, apa jadinya kalau ‘si A’ yang bilang
begitu?
Itulah mengapa saya tidak dapat sepenuhnya merasa lega begitu dinyatakan
dapat menyandang satu lagi gelar akademik. Saya tidak akan tenang hingga saya dapat mengamalkan
ilmu yang saya peroleh, hingga dapat bermanfaat bagi lingkungan. Begitu pula
dengan perasaan senang yang berlebihan, apalagi ketika orang lain mengaitkannya
dengan nilai yang sangat tinggi di transkrip.
Bohong kalau saya mengaku tidak senang. Tentu saja
saya senang dan bangga karena pencapaian itu diperoleh dengan perjuangan. Akan tetapi, saya juga memiliki perasaan tegang dan khawatir. Dapatkah saya
mempertanggungjawabkannya? Dari sebuah nilai mata kuliah yang baik, saya melihat
adanya pengakuan dosen pengampu terhadap penguasaan saya atas mata kuliah
tersebut. Dengan demikian, diharapkan pula kemudian saya mampu menebar manfaat
yang besar dari perolehan ilmu tersebut.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, pandangan tentang gelar akademik tak
ubahnya cara pandang tentang kenaikan jabatan atau posisi tertentu dalam
pekerjaan. Orang tua saya selalu mengajarkan untuk melihat hal tersebut bukan
sebagai nikmat, melainkan sebagai ujian. Yah, melihatnya memang harus dengan mata
hati, bukan mata duitan. Hanya dengan demikian, orang dengan kekuasaan yang
dipercayakan padanya paham betul bahwa itu berarti ia dipercaya pula untuk
memikul tanggung jawab yang lebih besar. Hanya dengan demikian pula, orang
tersebut tahu, daripada kenaikan jabatan itu sendiri, yang lebih layak menjadi
cita-citanya adalah berhasil mempertanggungjawabkannya dan mengamalkannya untuk
kepentingan orang banyak.
Alhamdulillah, perjuangan berkuliah di jenjang S2 telah menuntun pada
kelulusan dan berbuah gelar magister yang berhak saya sandang. Namun, seperti halnya kenaikan jabatan, rasanya sungguh
berdosa jika saya mematok perolehan gelar akademik tersebut sebagai mimpi atau cita-cita saya. Di balik gelar itu, ada kewajiban
pada masyarakat dan yang menjadi cita-cita saya adalah berhasil menunaikannya, atas ridho
Allah Swt. Mohon doanya, ya!
Oh, mari doakan pula para penyandang "gelar kekuasaan" di negeri kita
ini. Semoga mereka menyadari betul tanggung jawab yang dipercayakan pada mereka dan
dapat menunaikan kewajiban tersebut dengan baik. Aamiin.
Salam,
-
H e i D Y -
2 komentar:
Glek, iya nih, merasa tidak pantas untuk mempertanggungjawabkan gelar S-1 terdahulu, makanya aku pilih untuk menempuh pendidikan lain yang aku rasa mampu untuk mempertanggungjawabkannya. Aamiin.. Agak curang sih, tapi ya nggak apa-apa lah :D
Cit, itu tesismu kan sudah menjadi bukti pertanggungjawabanmu pada dua bidang ilmu sekaligus! Keren gitu, bikin ngiler, kenapa ya aku nggak bikin yang serupa :p
Udah kelamaan kali ya murtadnya..jadi hampir nggak kepikiran..hhahaha
Posting Komentar