Baiklah. Ini kelanjutan dari cerita yang saya publikasikan
sebelumnya: Di Balik Tesis. Di akhir tulisan itu, saya sempat minta didoakan karena
akan menghadapi ujian akhir tesis yang sekaligus menjadi syarat terakhir untuk
lulus dari program magister yang saya ikuti. Rasanya kok ya tidak sopan kalau setelah
itu, saya tidak ‘lapor’.
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT. Minggu lalu,
tepatnya pada hari Rabu, 15 Januari 2014, saya dinyatakan lulus setelah berhasil
mempertahankan tesis saya dalam ujian tesis tersebut. Kenapa ada kata ‘mempertahankan’,
komentar iseng seorang teman. Ya karena memang itulah yang terjadi saat sidang.
Keputusan meluluskan atau tidak meluluskan seorang mahasiswa dari sidang itu didasarkan
pada kemampuannya mempertanggungjawabkan apapun yang ditulisnya dalam tesis.
Apa maksudnya kalimat A dan tabel B, lalu mengapa menggunakan metode C dan
bukan D, dan seterusnya, harus dapat dijelaskan dengan baik. Setelah
argumen-argumen yang diajukan tidak terbantahkan, saat itulah dapat dikatakan
bahwa tesis tersebut berhasil dipertahankan.
Hingga sebelum ujian dimulai, sesungguhnya ada satu kekhawatiran
saya yang sangat sulit disingkirkan terkait tesis yang saya ajukan. Penelitian
saya adalah kajian wacana kritis, sebuah studi yang bersifat interdisipliner.
Meskipun berangkat dari ilmu linguistik yang saya tekuni, dalam perjalanan saya
harus ‘menyebrang’ ke ilmu filsafat dan psikologi. Jadi, apa yang saya hasilkan
bukan sesuatu yang telah ada ‘pedoman standar’nya dalam bidang ilmu tertentu, melainkan hasil menyarikan
beberapa ‘resep’, menyesuaikan dengan bahan-bahan yang saya punya, dan meramu
semuanya hingga menjadi jenis hidangan baru ala saya. Melihat penelitian beberapa
teman lain yang sejak awal sudah jelas ‘rumus’nya, juga mengingat kembali riset
saya sendiri di bidang ilmu eksakta pada tahap sarjana dulu, saya sempat tidak
percaya diri dengan tesis yang saya ajukan.
Saat ujian telah berlangsung, pemahaman atas hal itu baru
saya temukan, bersamaan dengan meluncurnya penjelasan-penjelasan yang saya
berikan pada dewan penguji terkait riset yang saya lakukan. Tidak adanya
pertanyaan penguji yang tidak bisa saya jawab mengingatkan saya pada pesan
seorang sahabat (yang sudah lebih dulu mengalami apa yang namanya sidang tesis)
beberapa hari sebelumnya, “Inget yang paling tahu tentang tesis lo cuma lo,
jadi ga usah grogi ya”. Ternyata terbukti, memang tidak ada alasan untuk grogi
menghadapi sidang tesis jika kita memang mengerjakan sendiri tesis tersebut.
Karena kita sendiri yang mengerjakan, tentu kita tahu paham betul apa isi tesis
itu dan mengapa dilakukan sedemikian rupa. Dengan kata lain, otomatis kita
dapat mempertanggungjawabkannya.
Kelegaan saya semakin bertambah ketika penguji terakhir
berkata, “A hanya punya teori umum tentang B dan tidak merujuk khusus tentang C,
tetapi Anda dapat dengan kreatif membuat jembatan dari teori A ke teori-teori
lainnya hingga berhasil merumuskan mengenai C,” Alhamdulillah, ternyata usaha saya mendapat apresiasi, bukan caci
maki.
Meskipun studi yang saya tempuh kali ini benar-benar tidak
mengecewakan minat saya, melaluinya sama sekali tidak mudah. Lebih-lebih pada
saat mengerjakan tesis. Bukannya tidak pernah, saya disetani nafsu ingin
menyerah dan bersantai-santai dulu. Namun, alhamdulillah, nafsu tersebut
akhirnya dapat dikalahkan oleh motivasi yang kuat (baca: salah satunya yaitu
membayangkan isi rekening yang akan terkuras terus jika tidak segera lulus ... hahaha).
Ketika kesusahan yang dialami tidak juga berkurang, saya segera menguatkan sang
hati dengan berkata padanya, “Kalau nggak susah seperti ini, apa artinya
sekolah, nggak sekolah pun bisa. Kesusahan inilah yang menjadikan kelulusan nanti
terasa indah. Makin pahit usahanya, makin manis hasilnya.” Lalu saya pun
kembali pada nasihat lama, “....bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang
kemudian”, dan selama beberapa waktu menunda segala kesenangan untuk satu
tujuan: segera lulus.
Benarlah. Ketika ketua dewan penguji mengumumkan kelulusan
saya dengan nilai yang tak disangka-sangka, saya hampir tidak bisa berkata-kata.
Mungkin karena melihat reaksi saya, dosen saya itu langsung menambahkan sambil
tersenyum, “Di sinilah terlihat bagaimana sebuah kerja keras terbayar manis,
ya,” Huaaa ... makin manis, makin mau nangis.
Sesungguhnya ada satu hal yang sempat saya sesali, yaitu
saya tidak lulus ramai-ramai dengan semua teman seangkatan yang telah berjuang
bersama selama 2 tahun. Meskipun dalam bentuk yang berbeda-beda, mereka semua
mengalami berbagai cobaan yang tidak ringan dalam mengerjakan tesis
masing-masing. Namun saya kembali teringat pada penghiburan yang saya berikan
pada hati sendiri di atas. Semakin pahit perjuangannya, semakin manis
kesuksesannya. Saya yakin, teman-teman saya yang sekarang masih berjuang sekuat
tenaga mengerjakan tesis mereka kelak akan mendapatkan hadiahnya masing-masing,
dengan keindahan tersendiri, hingga dapat lebih dalam memaknai kelulusannya.
Jadi, ada apa di balik kelulusan? Tentu saja, perjuangan.
Tanpa perjuangan, apakah sebuah kelulusan ada artinya?
Ditulis dengan segenap doa dan cinta untuk teman-temanku yang
terus berjuang, semoga kalian dilimpahi semangat selalu. Semangat lulus!
-
H e i D Y -
2 komentar:
Aamiin.. Terima kasih untuk tulisan yang mengandung doa sekaligus motivasi untuk kami-kami sang pejuang yang tersisa *halah pilihan katanya* :))
Alhamdulillah kalau berhasil memotivasi... SEMANGAT TEMPUR!
*berusaha menyaingi pilihan kata* :D
Posting Komentar