Alhamdulillah, gara-gara tantangan menulis Mamah Gajah Bercerita, blog
ini kembali dilap, disapu, lalu dipel. Kemudian, gara-gara tema
"Aku" dan topik khusus "Masa Lalu" yang ditetapkan untuk
tulisan minggu ini, aku jadi bongkar-bongkar diari dan surat-surat lama. Lebih
tepatnya lagi, ini gara-gara aku terlalu yakin bahwa aku masih ingat seluruh
masa laluku sehingga menurutku topik ini sangat mudah untuk ditulis.
Ternyata aku salah. Berawal dari kebingunganku memilih pengalaman dari masa
mana yang enak untuk ditulis, pelan-pelan kusadari bahwa bagian hidup di masa
lalu yang kuingat kebanyakan hanyalah berupa potongan fakta dan data peristiwa (yang sekarang rasanya tak cukup menggugah diriku sendiri untuk menceritakannya).
Termasuk di antaranya kapan dan di mana aku bersekolah, apa makanan yang
kuhindari, bagaimana aku sering terjatuh, siapa manusia lawan jenis yang
kusukai, dan lainnya. Ternyata, aku tidak dengan rapi menyimpan memori
tentang apa dan bagaimana caraku berpikir dan berpendapat, misalnya.
Kesadaran itu makin jelas ketika menemukan tulisan-tulisan rahasiaku puluhan
tahun yang lalu. Sibuklah aku tersenyum-senyum geli dan menggeleng-gelengkan
kepala selama membaca semuanya. Rasanya tak habis pikir karena begitu berbeda
dengan diriku saat ini.
Bagaimana mungkin, misalnya, dulu aku bisa ikut campur dalam urusan
percintaan orang lain? Kenapa aku harus sampai ikut heboh sekali saat seorang
temanku memutuskan pacarnya? Untuk apa sih, aku menulis panjang lebar tentang gagasan
jodoh ideal bagiku berdasarkan pengalaman percintaan teman-teman dekatku? Oh,
aku bahkan juga menuliskan teori dan analisis “masalah hubungan pertemanan”
dalam berlembar-lembar draf surat ke salah satu sahabatku.
Wow. Apakah waktu luangku dulu sebanyak itu? Kurasa tidak, meskipun aku yakin
bahwa memang masa-masa itu tak mungkin dibandingkan dengan kondisiku kini, saat
sudah menjadi ibu dengan dua anak.
Di akhir “perjalanan singkat ke masa lalu”, kusimpan kembali teks-teks pribadi
yang menggelikan itu. Sebagaimanapun memalukannya perilakuku di masa lalu, itu
semua tetap bagian dari kehidupanku, pengalamanku yang berharga. Sebesar apa
pun rasa malu itu, kuputuskan untuk tidak membuang atau melenyapkannya. Bukankah
hanya berkat masa lalu yang seperti apa pun, aku menjadi aku yang sekarang ini?
Wahai, aku ... yang di masa lalu, di masa kini, ataupun di masa depan ...
terima kasih.