Selasa, 30 November 2021
Hidupku di Tahun 2021
Senin, 29 November 2021
Sehat vs Produktif
Dalam tulisanku beberapa minggu yang lalu, aku pernah bercerita tentang bagaimana aku memaknai nikmat sehat melalui pengalaman yang tak terlalu menyenangkan: jatuh sakit akibat terlalu sibuk. Jadwal harianku begitu padat oleh berbagai aktivitas. Bukan tak disengaja tentunya, semua kegiatan itu memang telah direncanakan jauh sebelumnya atas dasar satu alasan kuat: aku ingin memaksimalkan produktivitas.
Tak peduli apa pun profesinya, bukankah setiap orang lebih bahagia ketika produktif mengisi hari-harinya? Para pegawai tentu lebih puas saat berhasil menyelesaikan berbagai agenda pekerjaannya. Begitu pula halnya dengan ibu rumah tangga yang lebih bangga saat berhasil menghasilkan lebih banyak tumpukan baju yang tersetrika rapi sembari menuntaskan beragam tugas rumah lainnya. Namun, demi tujuan tersebut, tak jarang batas-batas tertentu terlanggar sehingga terabaikanlah hak utama tubuh kita: hak untuk tetap sehat.
Bukan sekali atau dua kali aku pun lalai akan hal ini: saat mengabaikan jam istirahat demi tuntas membereskan rumah, atau bahkan saat melewatkan jatah makan demi menyelesaikan tumpukan pekerjaan. Dalam waktu singkat setelahnya, kudapatkan "hadiah" yang kuinginkan: aneka tugas yang tuntas. Kelelahan yang ada terbayar kontan oleh perasaan lega, puas, senang, dan bangga.
Sayangnya, nikmat itu tak berumur panjang. Ketika pelanggaran hak tubuhku itu kulakukan berkali-kali, aku pun terpaksa menghadapi konsekuensinya: kesehatan yang terampas. Akhirnya aku "dipaksa beristirahat" oleh kondisi tubuhku yang memang tak memungkinkan untuk berkegiatan seperti biasa. Pada saat itulah mataku seolah terbuka. Sesungguhnya produktivitas yang kucapai dengan mengorbankan kesehatanku hanyalah prestasi semu. Apa artinya jika aku berhasil produktif dalam rentang waktu tertentu tetapi kemudian akibatnya malah "nyaris lumpuh" setelahnya (yang syukur-syukur jika diridai untuk sembuh kembali, tapi bagaimana kalau tidak)?
Ada siang, ada malam. Ada pasang, ada surut. Ada tarikan napas, ada embusannya. Sejatinya, alam sudah mengajarkan bahwa ada ritme yang harus ditaati dalam kehidupan ini. Jika paham dan ingat pada prinsip ini, sudah seharusnya aku lebih tertib dalam menjaga ritme hidupku: ada waktu untuk bekerja, ada waktu untuk beristirahat. Antara sehat dan produktif seharusnya senantiasa seimbang, tidak pernah dipertentangkan.
Senin, 22 November 2021
Saat Jiwa Tak Sehat
Entah sejak kapan, aku menjadi lebih paham tentang kasus orang-orang yang melakukan bunuh diri. Mereka tak tahan dengan berbagai tekanan hidup. Mereka tak tahan lagi dengan hidup yang jadi terasa begitu menyiksa. Kemudian, muncul pikiran untuk mengakhiri semuanya, yakin sekali bahwa hanya ada kedamaian dan kebahagiaan setelah mati.
Aku pernah cukup dekat dengan pemikiran itu. Perih dan hampa (aku tak pernah tahu sebelumnya, dua hal ini dapat dirasakan bersamaan) yang tak tertahankan juga terkadang menuntunku pada ide untuk mengakhiri hidup. Satu-satunya yang menghalangiku adalah kepercayaanku.
Hidup dan mati itu milik Tuhan. Apa yang terjadi saat aku melanggar aturan itu? Aku mungkin tak pernah benar-benar berani mengakhiri hidupku, tetapi tahu betul rasanya tak menjalani hidup dengan baik. Hidup segan, mati tak mau. Mungkin itu ungkapan yang cocok.
Pada masa itu, aku selalu kesulitan menjawab pertanyaan sederhana seperti "Apa kabar? Sehat?"
Sepertinya tubuhku cukup sehat. Tidak ada bagian yang terluka ataupun terserang penyakit. Akan tetapi, aku sadar, aku tidak baik-baik saja pada saat itu. Bukan fisikku yang terganggu, melainkan mentalku.
Sayangnya, dahulu ungkapan "sehat lahir batin" belum selazim saat ini. Opsi untuk pergi berkonsultasi ke psikolog dan psikater juga selalu berat dipertimbangkan, mungkin karena sadar akan kesan yang berkembang di masyarakat tentang pasien dengan gangguan kejiwaan. Berbeda dengan saat fisik kita sakit, pilihan untuk berobat justru dinomorduakan jika mental kita yang sakit. Nomor satunya: bersembunyi dan merahasiakan kondisi tersebut.
Kurasa aku cukup beruntung karena saat mengalaminya, aku masih sanggup mencapai tingkat "sadar". Aku sadar sepenuhnya waktu itu, mentalku tidak dalam keadaan sehat. Mungkin karena sejak kecil, aku telah terbiasa menyaksikan ibuku yang selalu terang-terangan menyatakan apa yang dirasakannya, termasuk saat mentalnya sedang terganggu: "Mama depresi nih."
Benar juga. Jika kita dapat mengeluhkan sakit di badan, mengapa tidak boleh mengungkapkan sakit di jiwa? Bukankah makin cepat kita mengakui ada masalah, akan makin besar peluang untuk menanggulanginya?
Senin, 15 November 2021
Olahraga yang Hebat
Sejak kecil, entah bagaimana aku sudah melihat olahraga sebagai kegiatan hebat. Mungkin itu karena desakan rutin Papa agar seluruh keluarga melaksanakannya atau mungkin juga karena Mama yang selalu menyatakan bagaimana kerennya Papa yang menguasai beragam olahraga. Seingatku, hampir setiap nama olahraga yang kutahu pasti dikuasai Papa: atletik, renang, pingpong, golf, dan lain-lain. Meskipun Papa tidak pernah benar-benar sukses mengajari sendiri anak-anaknya semua olahraga itu, setidaknya ada satu yang diwariskannya terkait olahraga: kami meyakini olahraga itu penting dan menganggap setiap orang sebaiknya menguasai minimal satu jenis olahraga.
Perkenalanku dengan jenis-jenis olahraga dimulai di bangku SD. Tidak sedikit olahraga yang pernah kucoba waktu itu, tetapi aku hanya menggandrungi salah satunya: lari. Berawal dari lari jarak pendek yang selalu menunjukkan keunggulanku di antara teman-teman sekolah, lama-lama aku juga menjajal nomor lari untuk jarak yang lebih jauh. Sebelum berumur 10 tahun, aku pernah merasakan menjadi pelari termuda dalam satu acara lari 10 km untuk umum.
Sayangnya, kesenanganku berlari berkurang ketika aku memasuki masa pubertas. Perubahan fisikku membuatku merasa berlari itu tidak nyaman. Aku masih sempat beralih ke olahraga permainan seperti badminton, tetapi tentu tak bertahan lama karena berlari tetap menjadi salah satu latihan utamanya. Beruntung, setelah itu aku menemukan olahraga favorit baru: renang.
Aku baru bergabung di sebuah klub renang setelah duduk di bangku sekolah menengah. Walaupun sudah tak mungkin mengejar karir sebagai atlet seperti halnya anak-anak yang memulainya sejak usia dini, aku tetap senang dan serius berlatih rutin (empat kali seminggu). Berkat setitik pengalaman menjadi atlet kali itu, aku mendapat beberapa bonus: penyakit asmaku hilang dan tubuhku lebih bugar.
Saat mulai berkuliah, aku bertekad meneruskan hobi renangku. Namun, ada satu masalah baru yang muncul. Aku tinggal di Bandung, kota yang berhawa lebih dingin daripada dua kota tempat tinggalku sebelumnya: Medan dan Jakarta. Berolahraga di dalam air dingin di bawah cuaca dingin sungguh menyiksaku. Aku bukan tidak suka dingin. Lebih tepatnya, aku sangat tidak tahan dingin (yang ternyata berkaitan dengan penyakit autoimmune haemolytic anaemia yang kuidap sejak lahir). Hingga kini, tidak jarang aku mengalami serangan ringan hipotermia yang membuatku berhalusinasi tentang kematian.
Meskipun masih kuanggap sebagai olahraga favorit, akhirnya renang makin jarang kulakukan. Ketika sudah pindah kembali ke Jakarta, masalahku bertambah sejak melahirkan: gejala alergi berkepanjangan di kulit. Yakin akan mutlaknya kebutuhan berolahraga, kucoba melupakan renang dan kutekadkan menekuni olahraga lainnya. Aku pun mendaftar ke sebuah gym dan mencoba beberapa jenis latihan. Di sana, aku jatuh cinta pada olahraga baru lainnya: muay thai.
Akan tetapi, rupanya "jodoh"ku kali ini juga belum berumur panjang. Saat negara api pandemi menyerang, tentu tak terpikir sama sekali olehku untuk memperpanjang keanggotaan di gym. Aku berencana berlari lagi saja di kompleks perumahanku. Setidaknya begitulah pikiranku sebelum internis langgananku mengetahui "petualangan"ku selama ini selagi kondisi penyakit autoimunku belum stabil. Seketika, beliau menegaskan larangan untukku berolahraga dengan intensitas yang sama dengan orang-orang pada umumnya, yang tidak mengidap penyakit yang berhubungan dengan darah dan jantung.
Akibat penyakit kronisku, otomatis aku "dimudahkan" dalam memilih jenis olahraga yang sesuai dengan kondisiku. Aku kembali melirik jenis-jenis olahraga yang dahulu kuanggap "kurang hebat": jalan kaki, bersepeda, yoga, hingga taichi. Masih kusimpan pandangan kagum pada setiap orang yang melakukan jenis-jenis olahraga yang tampak lebih hebat, termasuk olahraga yang digeluti putri sulungku: panjat tebing.
Sebuah momen pahit menyadarkanku pada pertengahan tahun ini: aku jatuh sakit hingga hampir tak mampu bergerak sama sekali. Jangankan berdiri atau berjalan, kala itu aku bahkan kesulitan untuk sekadar memiringkan tubuh di kasur. Olahraga penting dalam proses pemulihan, tetapi apa yang mungkin kulakukan saat berjalan pun masih tertatih-tatih?
Ternyata tidak ada jenis olahraga yang lebih keren daripada olahraga lainnya. Semua olahraga itu hebat, hanya dengan syarat: sesuai dengan kapasitas dan konsisten dilakukan.
Senin, 08 November 2021
Nikmat Sehat yang Tak Ternilai
“Sekali lagi maaf dan makasih banget ya … semoga lain kali kita
berjodoh lagi.”
Kusudahi percakapanku melalui telepon dengan seorang teman
lama siang itu. Kutarik napas panjang seraya memandangi kalender di hadapanku.
Kembali kurapal zikir yang kutahu sejak kecil, yang katanya—kata Mama, tepatnya—dapat
membantu menenangkan hati yang gelisah.
Tak kuingkari, sesungguhnya ada keraguan besar saat
kusampaikan keputusanku tadi: menolak tawaran sebuah pekerjaan baru. Sebagai
seorang pekerja lepas dan paruh waktu, sebenarnya aku merasa tak pernah tak
tergiur dengan setiap tawaran pekerjaan yang datang. Tambahan pekerjaan berarti
tambahan imbalan. Nah … mungkin kecuali sudah setajir sultan, siapa sih, orang
di dunia ini yang tak ingin terus menambah isi pundi-pundinya?
Namun, waktu itu aku—meskipun bahkan masih di level yang jauh
dari budaknya sultan—harus menjauhi keinginan wajar tersebut. Tawaran itu memang
menggiurkan, aku sangat tertarik dan sangat yakin dapat mengerjakannya dengan
baik, tetapi terpaksa kutolak karena sebuah pertimbangan yang sudah pernah
kusepelekan pada kesempatan-kesempatan sebelumnya: menjaga kesehatan.
Ya, aku sudah merasakannya: mengabaikan ancaman atas
kesehatan hidup demi mengejar proyek-proyek pekerjaan bernilai tinggi. Dua
puluh empat jam sehari dan tujuh hari seminggu terasa kurang. Di sela-sela kesibukan
yang luar biasa saat itu, tak jarang aku merasa bersalah jika memakai waktu
yang terlalu banyak untuk beristirahat (padahal masih di bawah standar kebutuhan
tidur dalam sehari).
Jika waktu itu aku ditanya bagaimana rasanya, tentu akan
kujawab “enak” tanpa pikir panjang. Bagaimana tidak? Saldo rekening di bank
bertambah, aku jalan-jalan dan makan-makan enak terus (jauh sebelum pandemi), dan
ilmu yang kumiliki termanfaatkan dengan baik. Di mana letak tidak enaknya?
Aku lupa sama sekali pada satu hal yang sesungguhnya
bernilai jauh lebih tinggi di atas semua kenikmatan itu: kesehatan. Kesadaran
itu baru kembali begitu aku mengalami berbagai gejala fisik yang awalnya
sedikit dan ringan, tetapi “lama-lama menjadi bukit”. Kurasakan berbagai ketidaknyamanan
di tubuhku, mulai dari kulit kusam dan berjerawat hingga pendarahan di luar
jadwal menstruasi.
Aku telah mengabaikan kebutuhanku yang lebih utama: tubuh
yang sehat. Sama sekali tak terpikir olehku bahwa ketika sakit, harga yang kubayar
sebenarnya berkali-kali lipat lebih mahal daripada penghasilan dari pekerjaan
yang menyita waktu dan tenagaku itu. Perhitungannya bukan hanya dari konsultasi
dokter, laboratorium, atau obat yang harus dikeluarkan (yang mungkin memang
mahal, tetapi kadang-kadang dapat diganti dengan asuransi). Masih ada yang jauh
lebih tak ternilai harganya, yang mungkin saja tak mampu terbayar dengan
pengobatan semahal apa pun: nikmat sehat.