Selasa, 30 November 2021

Hidupku di Tahun 2021

Rasanya baru kemarin kita menutup tahun 2020 dan menyambut tahun 2021. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, mungkin rasa cemas, gelisah, pesimis, dan kurang bersemangat hinggap di hati banyak orang awal tahun ini. Mungkin semuanya bermuara pada satu pertanyaan besar: akankah pandemi ini berakhir?

Ada begitu banyak perubahan yang terjadi sejak wabah Covid-19 mulai menyebar di awal tahun 2020. Semua orang tak lagi bebas melakukan kontak fisik (bersalaman, berpelukan, dan sebagainya), bertemu dan berkumpul, atau sekadar memamerkan seluruh wajah tanpa ada yang tertutup masker. Bepergian, bahkan ke tempat umum terdekat, bahkan menjadi hal yang teramat sulit dan langka bagi sebagian besar dari masyarakat.

Destinasi Andalan Selama Pandemi: Taman dalam Kompleks Rumah

Jumlah penderita Covid-19 juga terus bertambah. Berita saudara, sahabat, dan kerabat yang tertular virus ini hingga jatuh sakit dan bahkan meninggal dunia berseliweran di sekitar kita. Maka, kurasa wajarlah jika kebanyakan dari kita sulit merasa optimis saat menyongsong tahun 2021. Mungkinkah kondisi membaik di tahun baru ini? Mungkinkah kita bangun dari mimpi buruk ini?

Aku selalu percaya bahwa membakar semangat di awal tahun itu sangat penting. Mungkin karena keyakinan dan kebiasaan yang terus kupelihara sejak dahulu ini, masih ada bagian dari diriku yang tak terlalu dikuasai oleh rasa pesimis itu. Masih kuupayakan dengan gigih menyapa awal tahun dengan berdiri tegak dan tersenyum. Dalam hati, terpatri sebuah tekad: apa pun yang terjadi, tahun ini pun harus lebih baik daripada tahun kemarin. Kemudian, kuikrarkan misi besarku tahun ini: aku ingin lebih banyak berkarya.

Dalam agamaku, niat dipandang sebagai unsur terpenting dalam tindakan apa pun. Dahsyatnya kekuatan niat akan dapat terlihat pada setiap akhir perbuatan. Tanpa niat yang kuat, mustahil sebuah usaha akan berhasil. Begitu pula sebaliknya: keberhasilan sebuah usaha pasti dilatari niat yang kuat. Kurasa tahun ini, aku kembali melihat bukti kebenaran teori tersebut dari pengalamanku sendiri: bagaimana niatku sejak awal tahun untuk banyak berkarya benar-benar menuntunku pada hasil yang nyata, yaitu aneka karya yang kutelurkan. Masyaa Allah Tabarakallah.

Tak terasa, bulan terakhir tahun 2021 telah tiba dan kita akan segera menyapa tahun 2022. Seperti tahun-tahun sebelumnya, aku pun berencana membuat resolusi-resolusi tahun baru. Namun, sebelumnya, izinkanlah aku mengenang kembali kehidupanku sepanjang tahun ini. Atas izin Allah Swt., kuperoleh berbagai rezeki, ujian, dan pencapaian di tahun ini. Di antaranya adalah sebagai berikut. 

Berkarya Lewat Tulisan


Mungkin bahkan teman-teman yang belum pernah bertatap muka denganku dapat dengan mudah menebak salah satu hobiku yang satu ini: menulis. Aku sudah gemar menulis sejak masih di bangku sekolah dasar. Tiga draf novel pertamaku kuselesaikan di bangku SMA dan novelet pertamaku diterbitkan di sebuah penerbit mayor sesaat setelah aku menyelesaikan S1. Menulis selalu mengambil bagian besar dalam kehidupanku hingga tak terbayang olehku bagaimana aku dapat hidup dengan baik-baik saja tanpa menulis. Meskipun demikian, pernah ada waktu-waktu aku tak mampu menulis untuk hal atau tujuan tertentu. Ada tahun-tahun aku meninggalkan dunia menulis fiksi. Di waktu lain, ada pula masa saat aku tak sanggup membuat tulisan apa pun yang dapat dibaca oleh orang lain.

Berbekal niat yang kutekadkan akhir tahun lalu, rupanya pada tahun ini aku berkesempatan untuk melakukan semuanya. Berkat tantangan rutin di grup Mamah Gajah Ngeblog (Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog) dan Mamah Gajah Bercerita (Tantangan MaGaTa), aku berhasil kembali menghidupkan "rumah-rumah"ku di dunia maya. Dapat terlihat jumlah tulisanku tahun ini yang telah mencapai 24 judul di blog pribadi ini dan 27 judul di blog keluarga. Sempat pula aku beberapa kali mendapat kesempatan untuk menulis di Mamah Gajah Ngeblog. 

Tak hanya untuk tulisan nonfiksi, aku juga kembali "bangun dari mati suri" di dunia fiksi. Kuikuti sayembara menulis cerita anak untuk Gerakan Literasi Nasional (GLN) 2021 dan cerita remaja dalam Gramedia Writing Project (GWP) 2021. Alhamdulillah, salah satu naskahku lolos dalam sayembara GLN untuk diterbitkan oleh Kemdikbud. Naskah novelku untuk GWP kali ini belum menang, tetapi aku merasakan pencapaian yang luar biasa bahkan sebelum pengumumannya keluar: aku berhasil menyelesaikan sebuah naskah novel yang telah tertunda bertahun-tahun! Dari pengalaman ini, aku kembali diingatkan tentang makna sesungguhnya kemenangan, yaitu ketika kita berhasil mengalahkan sang musuh terbesar: diri sendiri.

Jejak Pengalaman Pertama Lolos Sebagai Penulis GLN 2021


Belajar dan Mengajar

Di bangku sekolah dahulu, kurasa aku tidak termasuk ke dalam golongan siswa yang berprestasi. Meskipun selalu menembus sekolah-sekolah negeri unggulan, aku tidak pernah menyabet gelar juara kelas, apalagi juara umum sekolah atau gelar juara bergengsi lainnya. Aku mungkin tidak memiliki kendala yang begitu besar dalam belajar, tetapi aku juga bukan anak jenius yang dengan mudah menguasai berbagai pelajaran. Daripada bakat, keberhasilanku lulus dalam setiap ujian murni lebih didalangi oleh kerja keras. 

Mungkin karena pengalaman itulah, aku langsung jatuh cinta pada profesi guru begitu pertama kali mencobanya. Aku tahu betul rasanya bagaimana harus berusaha keras belajar untuk mengatasi ketidakmampuan. Aku merasa dapat memahami perasaan siapa pun yang sedang sungguh-sungguh berjuang mempelajari sesuatu. Menjadi guru atau fasilitator yang mendampingi para pembelajar pun kupandang sebagai suatu anugerah yang tak ternilai. Mungkin atas dasar alasan ini pulalah, aku sangat bersemangat ketika bersama suamiku akhirnya memutuskan untuk memilihkan jalur pendidikan homeschooling bagi anak-anak kami. 

Sekarang anak sulungku sudah hampir empat tahun menjalani homeschooling setelah sebelumnya sempat bersekolah sampai kelas 4 SD. Sementara itu, anak bungsuku yang kini berusia hampir enam tahun sama sekali belum pernah bersekolah formal. Demi dapat memaksimalkan upayaku dalam membersamai pendidikan mereka sepenuhnya, aku pun bertekad untuk serius menimba ilmu di bidang parenting dan pendidikan.

Aku sudah mengikuti berbagai kursus dan pelatihan di bidang parenting dan pendidikan sejak sebelum menarik keluar anakku dari sekolahnya dan sebelum anak keduaku lahir ke dunia. Tahun ini, ada dua program yang kuselesaikan. Yang pertama adalah program Diploma Montessori untuk anak usia dini. Pada bulan Februari tahun ini, aku berhasil menyelesaikan program pelatihan yang telah kumulai sejak beberapa tahun sebelumnya ini.  Program berikutnya adalah kelas fondasi dan akademis metode pendidikan Charlotte Mason yang dimulai sejak bulan lalu dan insyaAllah akan selesai dua minggu lagi. 

Secuil Contoh Hasil Belajar dari Sekolah Diploma Montessori
 
Menyelesaikan program pendidikan jangka pendek itu mungkin tidak sesulit menyelesaikan program pendidikan formal tingkat sarjana dan magister yang sudah pernah kulalui, tetapi juga tidak semudah yang kubayangkan pada mulanya. Ada banyak faktor baru yang menjadi ujian kali ini, termasuk di antaranya kesibukan sebagai seorang ibu bekerja. Lagi-lagi, aku belajar hal yang sama meskipun dari jalur yang berbeda: maju terus pantang mundur dan menyelesaikan apa yang sudah kumulai.

Selain menimba ilmu yang tiada habisnya, kuusahakan pula selalu menyisihkan waktu untuk terus membagikan yang pernah kuperoleh. Setelah mengambil peran pengajar bagi anak sendiri dan mahasiswa di kampus, tahun ini aku juga memberanikan diri untuk menekuni peran relawan fasilitator pelatihan di bawah Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika dan Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Membaca. Sesuai judulnya, aku mungkin tak mendapat keuntungan material apa pun dari keterlibatanku di sini. Akan tetapi, kurasa ini justru menjadi salah satu jalan yang menuntun pada keberuntungan terbesarku: menjadi manusia dengan sebaik-baiknya manfaat, selagi masih dikaruniai umur dan kesehatan. 

Satu Caraku dalam Memanfaatkan Jatah Umur: Menjadi Bagian dari Gerakan Nasional

Hikmah


Beberapa teman terkadang memprotesku jika bicara tentang umur dan kematian. Tentu, aku pun sepakat bahwa topik ini bukan topik yang menyenangkan. Namun, kurasa memikirkan dan membicarakannya justru dapat mendatangkan manfaat. Bukankah sadar akan usia yang terbatas menjadikan kita orang-orang yang lebih menghargai kehidupan yang tak kekal ini? Jika bersungguh-sungguh dalam menyikapi "jatah waktu" ini, kupikir sudah sewajarnya jika siapa pun mengutamakan kebaikan. 

Seperti halnya 2020, tahun 2021 ternyata begitu penuh tantangan. Bagiku pribadi, tahun ini justru menjadi momen yang menyadarkanku akan nilai sebuah kehidupan. Ketika akhirnya jatuh sakit setelah sekian lama baik-baik saja atau ketika begitu sulit untuk bangun dan bergerak seperti biasa, kusadari betul nikmat sehat yang pernah kuabaikan dan tak kusyukuri. Saat itulah, aku seolah-olah diingatkan tentang apa yang benar-benar harus dianggap penting dalam hidup ini. Kita lebih membutuhkan ketulusan daripada kedengkian, kerja sama daripada kompetisi, dan--tentunya--kebaikan di atas kejayaan. Semoga saja aku dapat terus membawa kesadaran ini saat menjalani tahun 2022 yang sebentar lagi segera datang ... aamiin!
















  

Senin, 29 November 2021

Sehat vs Produktif

Dalam tulisanku beberapa minggu yang lalu, aku pernah bercerita tentang bagaimana aku memaknai nikmat sehat melalui pengalaman yang tak terlalu menyenangkan: jatuh sakit akibat terlalu sibuk. Jadwal harianku begitu padat oleh berbagai aktivitas. Bukan tak disengaja tentunya, semua kegiatan itu memang telah direncanakan jauh sebelumnya atas dasar satu alasan kuat: aku ingin memaksimalkan produktivitas.

Tak peduli apa pun profesinya, bukankah setiap orang lebih bahagia ketika produktif mengisi hari-harinya? Para pegawai tentu lebih puas saat berhasil menyelesaikan berbagai agenda pekerjaannya. Begitu pula halnya dengan ibu rumah tangga yang lebih bangga saat berhasil menghasilkan lebih banyak tumpukan baju yang tersetrika rapi sembari menuntaskan beragam tugas rumah lainnya. Namun, demi tujuan tersebut, tak jarang batas-batas tertentu terlanggar sehingga terabaikanlah hak utama tubuh kita: hak untuk tetap sehat. 

Bukan sekali atau dua kali aku pun lalai akan hal ini: saat mengabaikan jam istirahat demi tuntas membereskan rumah, atau bahkan saat melewatkan jatah makan demi menyelesaikan tumpukan pekerjaan. Dalam waktu singkat setelahnya, kudapatkan "hadiah" yang kuinginkan: aneka tugas yang tuntas. Kelelahan yang ada terbayar kontan oleh perasaan lega, puas, senang, dan bangga. 

Sayangnya, nikmat itu tak berumur panjang. Ketika pelanggaran hak tubuhku itu kulakukan berkali-kali, aku pun terpaksa menghadapi konsekuensinya: kesehatan yang terampas. Akhirnya aku "dipaksa beristirahat" oleh kondisi tubuhku yang memang tak memungkinkan untuk berkegiatan seperti biasa. Pada saat itulah mataku seolah terbuka. Sesungguhnya produktivitas yang kucapai dengan mengorbankan kesehatanku hanyalah prestasi semu. Apa artinya jika aku berhasil produktif dalam rentang waktu tertentu tetapi kemudian akibatnya malah "nyaris lumpuh" setelahnya (yang syukur-syukur jika diridai untuk sembuh kembali, tapi bagaimana kalau tidak)?

Ada siang, ada malam. Ada pasang, ada surut. Ada tarikan napas, ada embusannya. Sejatinya, alam sudah mengajarkan bahwa ada ritme yang harus ditaati dalam kehidupan ini. Jika paham dan ingat pada prinsip ini, sudah seharusnya aku lebih tertib dalam menjaga ritme hidupku: ada waktu untuk bekerja, ada waktu untuk beristirahat. Antara sehat dan produktif seharusnya senantiasa seimbang, tidak pernah dipertentangkan.



Senin, 22 November 2021

Saat Jiwa Tak Sehat

Entah sejak kapan, aku menjadi lebih paham tentang kasus orang-orang yang melakukan bunuh diri. Mereka tak tahan dengan berbagai tekanan hidup. Mereka tak tahan lagi dengan hidup yang jadi terasa begitu menyiksa. Kemudian, muncul pikiran untuk mengakhiri semuanya, yakin sekali bahwa hanya ada kedamaian dan kebahagiaan setelah mati.

Aku pernah cukup dekat dengan pemikiran itu. Perih dan hampa (aku tak pernah tahu sebelumnya, dua hal ini dapat dirasakan bersamaan) yang tak tertahankan juga terkadang menuntunku pada ide untuk mengakhiri hidup. Satu-satunya yang menghalangiku adalah kepercayaanku.

Hidup dan mati itu milik Tuhan. Apa yang terjadi saat aku melanggar aturan itu? Aku mungkin tak pernah benar-benar berani mengakhiri hidupku, tetapi tahu betul rasanya tak menjalani hidup dengan baik. Hidup segan, mati tak mau. Mungkin itu ungkapan yang cocok.

Pada masa itu, aku selalu kesulitan menjawab pertanyaan sederhana seperti "Apa kabar? Sehat?"

Sepertinya tubuhku cukup sehat. Tidak ada bagian yang terluka ataupun terserang penyakit. Akan tetapi, aku sadar, aku tidak baik-baik saja pada saat itu. Bukan fisikku yang terganggu, melainkan mentalku.

Sayangnya, dahulu ungkapan "sehat lahir batin" belum selazim saat ini. Opsi untuk pergi berkonsultasi ke psikolog dan psikater juga selalu berat dipertimbangkan, mungkin karena sadar akan kesan yang berkembang di masyarakat tentang pasien dengan gangguan kejiwaan. Berbeda dengan saat fisik kita sakit, pilihan untuk berobat justru dinomorduakan jika mental kita yang sakit. Nomor satunya: bersembunyi dan merahasiakan kondisi tersebut.

Kurasa aku cukup beruntung karena saat mengalaminya, aku masih sanggup mencapai tingkat "sadar". Aku sadar sepenuhnya waktu itu, mentalku tidak dalam keadaan sehat. Mungkin karena sejak kecil, aku telah terbiasa menyaksikan ibuku yang selalu terang-terangan menyatakan apa yang dirasakannya, termasuk saat mentalnya sedang terganggu: "Mama depresi nih."

Benar juga. Jika kita dapat mengeluhkan sakit di badan, mengapa tidak boleh mengungkapkan sakit di jiwa? Bukankah makin cepat kita mengakui ada masalah, akan makin besar peluang untuk menanggulanginya?

Senin, 15 November 2021

Olahraga yang Hebat

Sejak kecil, entah bagaimana aku sudah melihat olahraga sebagai kegiatan hebat. Mungkin itu karena desakan rutin Papa agar seluruh keluarga melaksanakannya atau mungkin juga karena Mama yang selalu menyatakan bagaimana kerennya Papa yang menguasai beragam olahraga. Seingatku, hampir setiap nama olahraga yang kutahu pasti dikuasai Papa: atletik, renang, pingpong, golf, dan lain-lain. Meskipun Papa tidak pernah benar-benar sukses mengajari sendiri anak-anaknya semua olahraga itu, setidaknya ada satu yang diwariskannya terkait olahraga: kami meyakini olahraga itu penting dan menganggap setiap orang sebaiknya menguasai minimal satu jenis olahraga.

Perkenalanku dengan jenis-jenis olahraga dimulai di bangku SD. Tidak sedikit olahraga yang pernah kucoba waktu itu, tetapi aku hanya menggandrungi salah satunya: lari. Berawal dari lari jarak pendek yang selalu menunjukkan keunggulanku di antara teman-teman sekolah, lama-lama aku juga menjajal nomor lari untuk jarak yang lebih jauh. Sebelum berumur 10 tahun, aku pernah merasakan menjadi pelari termuda dalam satu acara lari 10 km untuk umum.

Sayangnya, kesenanganku berlari berkurang ketika aku memasuki masa pubertas. Perubahan fisikku membuatku merasa berlari itu tidak nyaman. Aku masih sempat beralih ke olahraga permainan seperti badminton, tetapi tentu tak bertahan lama karena berlari tetap menjadi salah satu latihan utamanya. Beruntung, setelah itu aku menemukan olahraga favorit baru: renang.

Aku baru bergabung di sebuah klub renang setelah duduk di bangku sekolah menengah. Walaupun sudah tak mungkin mengejar karir sebagai atlet seperti halnya anak-anak yang memulainya sejak usia dini, aku tetap senang dan serius berlatih rutin (empat kali seminggu). Berkat setitik pengalaman menjadi atlet kali itu, aku mendapat beberapa bonus: penyakit asmaku hilang dan tubuhku lebih bugar.

Saat mulai berkuliah, aku bertekad meneruskan hobi renangku. Namun, ada satu masalah baru yang muncul. Aku tinggal di Bandung, kota yang berhawa lebih dingin daripada dua kota tempat tinggalku sebelumnya: Medan dan Jakarta. Berolahraga di dalam air dingin di bawah cuaca dingin sungguh menyiksaku. Aku bukan tidak suka dingin. Lebih tepatnya, aku sangat tidak tahan dingin (yang ternyata berkaitan dengan penyakit autoimmune haemolytic anaemia yang kuidap sejak lahir). Hingga kini, tidak jarang aku mengalami serangan ringan hipotermia yang membuatku berhalusinasi tentang kematian.

Meskipun masih kuanggap sebagai olahraga favorit, akhirnya renang makin jarang kulakukan. Ketika sudah pindah kembali ke Jakarta, masalahku bertambah sejak melahirkan: gejala alergi berkepanjangan di kulit. Yakin akan mutlaknya kebutuhan berolahraga, kucoba melupakan renang dan kutekadkan menekuni olahraga lainnya. Aku pun mendaftar ke sebuah gym dan mencoba beberapa jenis latihan. Di sana, aku jatuh cinta pada olahraga baru lainnya: muay thai.

Akan tetapi, rupanya "jodoh"ku kali ini juga belum berumur panjang. Saat negara api pandemi menyerang, tentu tak terpikir sama sekali olehku untuk memperpanjang keanggotaan di gym. Aku berencana berlari lagi saja di kompleks perumahanku. Setidaknya begitulah pikiranku sebelum internis langgananku mengetahui "petualangan"ku selama ini selagi kondisi penyakit autoimunku belum stabil. Seketika, beliau menegaskan larangan untukku berolahraga dengan intensitas yang sama dengan orang-orang pada umumnya, yang tidak mengidap penyakit yang berhubungan dengan darah dan jantung.

Akibat penyakit kronisku, otomatis aku "dimudahkan" dalam memilih jenis olahraga yang sesuai dengan kondisiku. Aku kembali melirik jenis-jenis olahraga yang dahulu kuanggap "kurang hebat": jalan kaki, bersepeda, yoga, hingga taichi. Masih kusimpan pandangan kagum pada setiap orang yang melakukan jenis-jenis olahraga yang tampak lebih hebat, termasuk olahraga yang digeluti putri sulungku: panjat tebing.

Sebuah momen pahit menyadarkanku pada pertengahan tahun ini: aku jatuh sakit hingga hampir tak mampu bergerak sama sekali. Jangankan berdiri atau berjalan, kala itu aku bahkan kesulitan untuk sekadar memiringkan tubuh di kasur. Olahraga penting dalam proses pemulihan, tetapi apa yang mungkin kulakukan saat berjalan pun masih tertatih-tatih?

Ternyata tidak ada jenis olahraga yang lebih keren daripada olahraga lainnya. Semua olahraga itu hebat, hanya dengan syarat: sesuai dengan kapasitas dan konsisten dilakukan.

Senin, 08 November 2021

Nikmat Sehat yang Tak Ternilai

 

“Sekali lagi maaf dan makasih banget ya … semoga lain kali kita berjodoh lagi.”

Kusudahi percakapanku melalui telepon dengan seorang teman lama siang itu. Kutarik napas panjang seraya memandangi kalender di hadapanku. Kembali kurapal zikir yang kutahu sejak kecil, yang katanya—kata Mama, tepatnya—dapat membantu menenangkan hati yang gelisah.

Tak kuingkari, sesungguhnya ada keraguan besar saat kusampaikan keputusanku tadi: menolak tawaran sebuah pekerjaan baru. Sebagai seorang pekerja lepas dan paruh waktu, sebenarnya aku merasa tak pernah tak tergiur dengan setiap tawaran pekerjaan yang datang. Tambahan pekerjaan berarti tambahan imbalan. Nah … mungkin kecuali sudah setajir sultan, siapa sih, orang di dunia ini yang tak ingin terus menambah isi pundi-pundinya?

Namun, waktu itu aku—meskipun bahkan masih di level yang jauh dari budaknya sultan—harus menjauhi keinginan wajar tersebut. Tawaran itu memang menggiurkan, aku sangat tertarik dan sangat yakin dapat mengerjakannya dengan baik, tetapi terpaksa kutolak karena sebuah pertimbangan yang sudah pernah kusepelekan pada kesempatan-kesempatan sebelumnya: menjaga kesehatan.

Ya, aku sudah merasakannya: mengabaikan ancaman atas kesehatan hidup demi mengejar proyek-proyek pekerjaan bernilai tinggi. Dua puluh empat jam sehari dan tujuh hari seminggu terasa kurang. Di sela-sela kesibukan yang luar biasa saat itu, tak jarang aku merasa bersalah jika memakai waktu yang terlalu banyak untuk beristirahat (padahal masih di bawah standar kebutuhan tidur dalam sehari).

Jika waktu itu aku ditanya bagaimana rasanya, tentu akan kujawab “enak” tanpa pikir panjang. Bagaimana tidak? Saldo rekening di bank bertambah, aku jalan-jalan dan makan-makan enak terus (jauh sebelum pandemi), dan ilmu yang kumiliki termanfaatkan dengan baik. Di mana letak tidak enaknya?  

Aku lupa sama sekali pada satu hal yang sesungguhnya bernilai jauh lebih tinggi di atas semua kenikmatan itu: kesehatan. Kesadaran itu baru kembali begitu aku mengalami berbagai gejala fisik yang awalnya sedikit dan ringan, tetapi “lama-lama menjadi bukit”. Kurasakan berbagai ketidaknyamanan di tubuhku, mulai dari kulit kusam dan berjerawat hingga pendarahan di luar jadwal menstruasi.

Aku telah mengabaikan kebutuhanku yang lebih utama: tubuh yang sehat. Sama sekali tak terpikir olehku bahwa ketika sakit, harga yang kubayar sebenarnya berkali-kali lipat lebih mahal daripada penghasilan dari pekerjaan yang menyita waktu dan tenagaku itu. Perhitungannya bukan hanya dari konsultasi dokter, laboratorium, atau obat yang harus dikeluarkan (yang mungkin memang mahal, tetapi kadang-kadang dapat diganti dengan asuransi). Masih ada yang jauh lebih tak ternilai harganya, yang mungkin saja tak mampu terbayar dengan pengobatan semahal apa pun: nikmat sehat.