Jumat, 10 Agustus 2012

Menyederhanakan Demi Berbagi

      Seorang guru besar memprotes mahasiswanya yang bicara dan menulis secara tidak sederhana sama sekali. Ratusan istilah sulit dipergunakannya, dirangkai dengan rumit pula.  “Kamu ini ngomong apa, sih?”  kata sang guru pada muridnya itu.
    Sang murid tercengang. Kalau yang mengatakannya itu bukan profesor, ia takkan heran. Bagaimana mungkin gurunya yang jauh lebih berilmu itu tak memahami kata-katanya?
      Sang guru berkata lagi, “Jika tak bisa menyampaikan konsep yang rumit itu secara sederhana, aku tidak bisa meluluskanmu,”
      Sang murid sedih dan kecewa. Ia yakin telah memahami dan menguasai segala materi yang dibutuhkan untuk layak lulus ujian itu dan tak mengerti alasan sang guru tak merestuinya.
    Suatu hari, tak sengaja sang mahasiswa melihat gurunya dikelilingi banyak anak kecil usia sekolah dasar. Beliau tampak sedang asyik bercerita dan anak-anak itu antusias memperhatikan. Tertarik, sang murid datang mendekat.
       Teryata, gurunya yang bergelar profesor itu bukan sedang sekedar mendongeng. Sebenarnya ia sedang mengajarkan konsep FISIKA KUANTUM pada anak-anak kecil itu! Namun sangat mungkin, anak-anak itu bahkan sama sekali tak sadar bahwa mereka sedang belajar.
    Beberapa saat kemudian, sang profesor menyadari keberadaan mahasiswanya. Ia berpaling padanya dan berkata, “Mau melanjutkan ceritaku untuk mereka? Bisa sekaligus menjadi ujian perbaikanmu. Anak-anak ini jurinya. Jika mereka mengerti, maka kau lulus.”
     Anak SD menjadi jurinya? Saat itulah sang mahasiswa sadar. Tak peduli serumit apapun, setiap konsep atau pemikiran harus disampaikan sesederhana mungkin. Itulah level penguasaan tertinggi atas suatu ilmu.

Cerita di atas saya peroleh dari salah seorang dosen saya dulu. Ini hanya satu dari beberapa cerita yang ia gunakan untuk mengajarkan saya dan beberapa teman saya satu konsep penting sebelum kami memperoleh gelar sarjana.

Dulu sekali, saya mengira orang-orang yang cerdas itu tak terjangkau. Dengan perkembangan akal budi yang sempurna, pastilah buah pikir mereka adalah sesuatu yang sangat rumit, bernilai tinggi, sulit dipahami orang lain yang tak secerdas mereka. Cara berpikir ini perlahan berubah, salah satunya karena apa yang diajarkan dosen saya saat berbagi cerita di atas.

Cerita lain yang disampaikan dosen saya adalah tentang para penemu dan penemuan-penemuannya. Serumit apapun proses penemuan atau penciptaan suatu benda, ketika tiba saatnya mengumumkan penemuan itu, harus ada penjelasan sederhana agar benda itu dapat diterima dan bermanfaat bagi banyak orang. Jika gagal dalam memberikan penjelasan sederhana, temuan sebagus apapun dapat menjadi tak berguna.  

Berbagi kerumitan itu ibarat menyajikan makanan mentah yang tak diolah. Bukankah menyakikan makanan mentah jelas jauh lebih mudah dan cepat ketimbang memasak? Karena itu, jangan meremehkan satu penyampaian yang sederhana. Kita tak pernah tahu seperti apa kerumitan di balik itu. Berbagi kerumitan itu mudah. Namun membaginya secara sederhana adalah keterampilan yang sebenarnya.

Oya. Jangan salah. Berbagi kerumitan memang tidak pernah dilarang. Tapi mungkin akan lebih bijaksana jika tak menujukannya pada banyak orang. Cukup pilih satu belahan jiwa atau beberapa orang terdekat untuk diijinkan melihat ‘kemalasan’ kita, yang harus cukup sabar untuk menghadapi kerumitan itu dan menyederhanakannya bersama-sama :D

Setelah hidup dengan segala kerumitannya, saatnya berbagi secara sederhana. Semoga kita dapat memperluas ladang amal kita dan Tuhan meridhoi.

Selamat berbagi!
-       H e i D Y -

Rabu, 08 Agustus 2012

Tulis saja!

Seorang sahabat saya berkata bahwa ia tidak punya rasa kepercayaan diri untuk menulis. Waktu itu ia baru tahu bahwa kadang-kadang saya memajang tulisan saya di blog sehingga dapat dibaca semua orang. Sejenak saya termangu memikirkan kata-katanya. Kemudian saya mengerti.

Saya mengerti karena kadang ketidakpercayaan diri itu terjadi pada saya. Dan saya tahu mengapa itu bisa terjadi. Ketidakpercayaan diri berarti meragukan diri sendiri dalam suatu hal. Dulu saya pernah tidak percaya diri mengemudikan mobil di jalan raya. Saat itu saya baru belajar dan masih meragukan kemampuan saya sendiri dalam hal menyetir. Saya juga masih tidak percaya diri jika meluncur sendiri di atas es di tengah arena ice skating.  Tentu saja karena saya tidak pernah secara khusus belajar ice skating dan memang jarang sekali melakukannya. Wajar kan jika kemampuan saya melakukannya masih sangat meragukan?

Lalu bagaimana dengan ketidakpercayaan diri untuk menulis? Setiap orang yang sudah lulus SD dan tidak terisolir dari peradaban pasti bisa menulis. Adalah aneh, jika ada yang meragukan kemampuan diri sendiri untuk menulis. Apa yang ditakutkan? Pensil patah saat menulis? Listrik mati saat mengetik? Lalu?

Saya tidak percaya tentang ketidakpercayaan diri untuk menulis. Yang saya percaya terjadi adalah ketidakpercayaan diri untuk memperlihatkan hasil tulisan kepada orang lain. Tidak percaya diri memamerkan hasil tulisan tangan mungkin berkaitan dengan indah tidaknya tulisan tangan itu sendiri. Tapi saya yakin bukan itu maksud sahabat saya. Yang ia ragukan adalah jalinan makna yang termuat dalam tulisannya. Oya, dalam hal ini yang saya maksud adalah karangan bebas, bukan sejenis karya tulis ilmiah.

Apa yang diragukan dari isi tulisan sendiri? Mungkin keraguan apakah isi tulisan itu dapat diterima orang lain. Atau bahkan, keraguan apakah orang lain akan menilai isi tulisan itu baik atau indah. Keraguan apakah isi tulisan itu dianggap berbobot oleh orang lain. Pokoknya yang berhubungan dengan orang lain, orang lain, dan orang lain. Sekali lagi: ORANG LAIN.  

Maka, bukankah tidak tepat jika masalah ini disebut ketidakpercayaan diri untuk menulis? Kurasa yang sesungguhnya terjadi adalah ketidakpercayaan diri untuk memuaskan orang lain melalui tulisan kita. Mari bertanya lagi pada diri sendiri: memangnya untuk apa kita menulis? Mengapa menjadikan orang lain sebagai kiblat?

Bagi saya, menulis bebas (seperti ini) adalah satu kesempatan membebaskan jiwa. Juga meringankan beban pikiran atau perasaan. Jika menghadapi banyak masalah dalam keseharian, menulis bisa menjadi terapi yang menyehatkan jiwa. Tak perlu membawa-bawa sampah dalam otak atau hati. Cukup tuangkan semuanya dalam tulisan, beres. Nah, jadi, apa hubungannya dengan orang lain?

Mari menulis untuk diri sendiri. Tulis saja! Soal menyiarkan tulisan kepada dunia adalah lain perkara. Siapa bilang semua tulisan harus ditunjukkan? Bukankah itu gunanya buku harian dan fasilitas kata sandi pada komputer?


 Tulis saja!
-       H e i D Y -