Sabtu, 27 Februari 2021

Kembali Ngeblog

Apa kamu ngeblog juga sepertiku? Sejak kapan? Bagaimana perjalanannya? Apakah konsisten? Apakah sempat berhenti? Apakah masih dilakukan sampai sekarang? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi menarik bagiku sejak "Alasan Kembali Ngeblog" ditetapkan sebagai topik tantangan ngeblog pertama tahun ini di komunitas Mamah Gajah Ngeblog, sebuah wadah bagi para perempuan alumni kampus S1-ku dulu yang doyan menulis di blog. Untuk menjawab tantangan tersebut, kutulislah hasil pengembaraan pikiranku ini.

Ketika pertama kali mulai mengenal blog pada tahun 2005, aku memberlakukannya seperti buku harian kedua. Blog tidak kuisi sedetail buku harian, tetapi kujadikan sarana untuk mengekspresikan perasaan-perasaan khusus. Tentu saja, aku sadar bahwa sebenarnya saat ngeblog, aku berharap ada orang lain yang membaca tulisanku.  

Berapa pun komentarnya, siapa pun yang memberikannya, aku bahagia tiap kali ada yang berkunjung ke blog-ku. Rasanya seperti ada tamu yang datang ke rumah! Sebagai orang yang melalui masa kanak-kanak dan remaja sebelum internet cukup terkenal, aku terkagum-kagum pada luasnya interaksi sosial yang terjadi berkat terciptanya rumah-rumah di dunia maya ini. 

Kemunculan berbagai media sosial seperti Friendster dan Facebook (FB) tidak membuat kesenanganku ngeblog teralihkan. Aku bahkan membuat blog kedua saat akan menikah untuk membedakan tema besar tulisan-tulisanku. Detail persiapan lamaran dan pernikahan dulu kuceritakan di 'rumah' yang kurencanakan sebagai blog keluarga itu. Sayang, tak lama kemudian, 'tanah tempat berdirinya rumah' itu tak berumur panjang. Untung, isi rumahnya masih dapat kuselamatkan. Setelah menikah, aku 'membangun rumah bersama' lainnya, tetapi terlalu malas untuk memindahkan 'isi rumah' yang lama. Lagipula, aku sudah punya segudang cerita baru: perjuangan untuk hamil.

Pengalaman infertilitasku dan suami selama tujuh tahun mendominasi blog keluarga kami. Sementara itu, blog pribadi ini agak terlupakan karena aku terlalu asyik bermain di sana. Awalnya, seperti biasa, aku menulis dengan tujuan murni hanya untuk meringankan kepala dan hati. Bertahun-tahun gagal hamil bukan hal yang mudah kuterima. Kalau unek-unek itu tidak kukeluarkan, bisa-bisa penyakitku bertambah parah!

Siapa sangka, ternyata tidak sedikit yang menyambut curhat tersebut. Blog kami dikunjungi mulai dari teman-teman dekat yang ingin tahu sekaligus peduli dan berempati, hingga orang-orang tak dikenal yang berdatangan karena diarahkan oleh mesin pencari. Kebanyakan dari mereka serupa seperti kami, juga mengalami masalah fertilitas, dan mengungkapkan kegembiraannya saat menemukan cerita-cerita kami terkait hal itu (kurang lebih alasannya: karena waktu itu belum banyak orang Indonesia yang dengan senang hati bilang-bilang "Gue mandul, nih!").

Merasa tulisan-tulisanku dicari dan berguna bagi banyak orang, aku pun ketagihan menulis di blog. Tidak hanya blog keluarga tersebut, blog pribadi ini juga kembali kuisi dengan rutin. Kegiatan ini kutekuni lagi sejak aku melanjutkan kuliah tingkat magister di bidang yang jaraknya sejauh bumi dan mars dengan program sarjanaku. Kejutan demi kejutan yang kutemukan sebagai mantan anak IPA yang berkelana di dunia humaniora membuat kepala dan dadaku sering 'panas' ... hahaha. Sekali lagi, kalau yang seperti ini tidak segera dikeluarkan, b-a-h-a-y-a!

Semangatku mengisi blog-blog yang kukelola terus terpelihara hingga ... alhamdulillah, aku dan suami akhirnya diamanahi untuk merawat seorang anak. Kebetulan, anak pertama kami itu lahir bukan dari kandunganku, melainkan dari hati kami. Ya, kami mengadopsinya dari panti asuhan. 

Sama halnya dengan hamil dan melahirkan biasa, adopsi tidak pernah menjadi cerita yang biasa-biasa saja. Jelas ada berjuta kisah yang ingin kuceritakan sejak awal, tetapi aku terpaksa menahan diri. Kupikir, meskipun kami mengadopsinya secara legal dan terbuka (kami bebas membicarakan semuanya sehari-hari, tidak ada yang ditutup-tutupi), aku harus menunggunya hingga cukup dewasa untuk mempertimbangkan dan mengizinkanku berbagi cerita yang menyangkut dirinya. Momen itu pun datang setelah aku melahirkan adiknya. 

Ya, melahirkan. Akhirnya Allah Swt. juga mengamanahi kami seorang anak kandung tak lama setelah kami mengasuh si sulung (tepatnya, setelah ia minta 'adik tapi bukan dari panti, dari perut Bunda aja'). Ada jutaan bahan cerita lainnya yang siap kubagikan pada dunia setiap harinya, mulai dari tips memlih clodi sampai kisah sukses toilet training dalam dua hari. Namun, hingga detik ini, sebagian besar di antaranya masih tetap bertahan sebagai draf, belum berhasil diselesaikan dan dipublikasikan. 

Sama dengan mendambakannya, mengasuh anak ternyata bukan hal yang sederhana bagiku. Bahkan, di antara seluruh perjalananku sebelumnya, masa-masa sejak menjadi ibulah masa yang paling menantang. Tidak terbayang olehku sebelumnya, bahwa menjadi ibu itu sebegininya. Masalah alergi (aku dan si bungsu) yang tidak selesai-selesai sejak melahirkan lima tahun yang lalu, masalah penyesuaian dengan si sulung yang juga entah kapan beresnya, hingga masalah nafsu pribadiku untuk aktif di banyak tempat membuatku melupakan ngeblog, aktivitas yang sebenarnya selalu kucintai dan kurindukan.

Aku tidak pernah berhenti menulis, tentu, karena masih rutin menjurnal untuk diri sendiri. Selain sangat penting, kegiatan itu amat mudah bagiku karena aku tidak perlu banyak berpikir saat melakukannya. Tidak ada orang lain yang ikut membacanya, bahkan aku sendiri pun jarang membaca ulang setelah selesai menuliskannya. Ini tentu berbeda dengan menulis di blog yang memang 'minta dibaca' orang lain. Dengan begitu banyak pertimbangan saat menulis dan menyuntingnya, tidak heran jika menulis di blog membutuhkan waktu lima hingga sepuluh kali lipat lebih banyak. 

Ah, tidak ada waktu .... begitu pikirku selama bertahun-tahun, hingga tak terasa ... enam tahun berlalu tanpa sama sekali ada tulisan baru di blog pribadi ini (nasib blog keluarga pun setali tiga uang, meski masih lebih ramai pengunjung). Sesekali ada perasaan ingin 'membersihkan debu dan jaring laba-laba' dari rumah-rumah dunia maya ini, tetapi munculnya bersamaan dengan rasa malu. Jika diumpamakan, ini seperti perasaan sungkan untuk mulai bicara lagi setelah sekian lama bermusuhan dengan seseorang. 

Karena itulah, rasanya bagaikan mendapat hadiah kejutan begitu aku menemukan komunitas Mamah Gajah Ngeblog. Bak sahabat yang muncul dan menawarkan peran sebagai penengah, Mamah Gajah Ngeblog berhasil membuatku membuang semua gengsi dan akhirnya berdamai dengan lancar dengan blog-ku ini. Tidak hanya membuatku sekadar mengisi blog lagi, grup ini juga mulai membukakan mataku tentang seluk beluk ngeblog. Enam belas tahun sejak pertama kali membuat blog, baru sekarang aku tahu bahwa ngeblog itu lebih dari sekadar menulis. 


Jadi, itulah kenapa selama ini ada komunitas-komunitas blogger, yang berbeda dari komunitas menulis biasa? Jadi, itulah kenapa ada banyak sayembara blog, yang berbeda dari lomba menulis lainnya? Jadi, itulah kenapa blogger juga termasuk profesi, dengan umur yang jauh lebih senior (dan semoga panjang) daripada youtuber, selebgram, dan lainnya? Ke mana saja ya, aku selama ini?

Menyadari semua itu, motivasiku untuk kembali ngeblog seolah mendapat siraman bensin. Begitu banyak teman baru yang keren-keren dan menginspirasiku untuk turut berkarya, meramaikan dunia persilatan ... eh, kancah blog ini. Mungkin takkan terhitung jumlah alasan yang tepat di baliknya. Namun, mari setidaknya mulai dari alasan yang terkecil dan paling sederhana: karena aku menulis untuk hidup, dan hidup untuk menulis.

 pada suatu hari nanti

jasadku tak ada lagi

tapi dalam bait-bait sajak ini

kau tak kan kurelakan sendiri

("Pada Suatu Hari Nanti", puisi karya alm. Sapardi Djoko Damono)


Salam ngeblog,

- H e i D Y -


Hore! Artikel ini menjadi artikel juara keempat dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Februari 2021


 



Minggu, 21 Februari 2021

SAMPAH KITA, TANGGUNG JAWAB KITA

Pelajaran dari TPA

Enam belas tahun yang lalu, tepat pada tanggal ini, 21 Februari, terjadi bencana besar di Cimahi, Jawa Barat, tepatnya di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Leuwigajah. Tempat yang selama delapan belas tahun menjadi tujuan akhir pembuangan sampah warga Cimahi dan Bandung itu meledak dan longsor. Ledakan dan longsoran gunung sampah yang tingginya kira-kira sebanding dengan ketinggian gedung dua puluh lantai itu pun menewaskan ratusan jiwa penduduk yang tinggal di sekitarnya.

Waktu itu, saya masih berdomisili di Bandung. Saya ingat betul, berbulan-bulan setelah musibah itu terjadi, tempat penampungan sementara (TPS) di banyak titik masih sering penuh. Tumpukan sampah lama tidak terangkut dan berserakan hingga ke jalan-jalan raya. Kota kembangku menjelma menjadi kota sampah.

Tidak ada yang menikmati fenomena itu. Namun, hanya sedikit orang yang menyadari bahwa semua itu akibat dari ulah kita sendiri. Kebanyakan dari kita mungkin merasa telah cukup bertanggung jawab hanya dengan membuang sampah ke tong terdekat. Bukankah nasihat yang sering kita dengar  hanya sebatas “Buanglah sampah pada tempatnya”?

Tidak banyak orang yang tahu, masalah sebenarnya justru baru dimulai begitu petugas kebersihan mengosongkan bak sampah kita. Berkat ‘input rutin’ dari hunian, sekolah, kantor, atau beragam komunitas lainnya, tinggi tumpukan sampah di TPA-TPA terus bertambah dengan sangat cepat. Karena itulah, misi pengelolaan sampah di sana nyaris mustahil terwujud. Tidak hanya itu, berbagai masalah juga timbul akibat kondisi sampah yang biasanya bercampur antara ‘sampah kering’ dan ‘sampah basah’ saat memasuki TPA.

Bau busuk yang menyengat hanya satu efek kecil yang dapat langsung kita temukan di sana. Dampak yang lebih besar adalah musibah seperti yang terjadi di TPA Leuwigajah. Kebakaran atau bahkan ledakan di TPA dapat dengan mudah terjadi akibat terkumpulnya gas metana (CH4) hasil pembusukan sampah di sana.

“Ah, TPA-nya jauh dari rumahku,” tutur siapa saja yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan tidak mampu berempati pada orang lain. Apakah mungkin sebenarnya mereka semacam alien, bukan penduduk asli bumi? Kalau begitu, wajarlah jika tidak ada rasa peduli akan keselamatan anak cucunya di masa depan maupun terhadap keberlangsungan planet ini.

Kalau betul manusia sejati, seharusnya rasa khawatir itu ada. Bukankah kini gejala kerusakan bumi sudah jelas terasa? Kemarin panas gerah dan terik menyengat, hari ini hujan badai dan dingin menusuk. Satu tempat kekeringan parah, sementara tetangganya banjir besar. Cuaca menjadi ekstrem, tidak terprediksi. Temperatur bumi terus bertambah hingga lempengan es di kutub mulai mencair. Permukaan laut di seluruh dunia pun naik dan mulai menenggelamkan beberapa pulau di dunia.

Ternyata bukan hanya peternakan serta asap kendaraan pabrik yang mendalangi perubahan iklim bumi. Menurut penelitian Zhang, Xu, Feng, dan Chen (dalam Hartono, dkk., 2020), setengah dari total emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global berasal dari gas metana di TPA. Dengan kata lain, meskipun seandainya kita tidak makan daging sapi, tidak naik kendaraan bermotor maupun berbelanja (wow), kita tetap memiliki andil dalam perubahan iklim selama masih belum mengelola sampah secara bertanggung jawab.

 

Peran Kita

Karena dahsyatnya musibah TPA Leuwigajah, tanggal 21 Februari akhirnya ditetapkan menjadi Hari Peduli Sampah Nasional. Harapannya mungkin agar momen pahit itu menyadarkan kita semua. Dapatkah kita lebih bertanggung jawab terhadap sampah yang kita timbulkan?

Hal pertama yang perlu kita lakukan adalah mengubah pola pikir. Dulu, mungkin kita baru berpikir tentang mengolah dan mengurangi sampah setelah tempat-tempat penampungan sampah penuh. Sekarang, mari laksanakan sebaliknya. Ingat prinsip 3R: reduce (kurangi sampahnya) dulu, baru reuse (gunakan ulang sampahnya), dan terakhir recycle (daur ulang sampahnya). 

Reduce atau kurangi sampah harus menjadi langkah pertama yang diprioritaskan. Marilah sekuat tenaga menghindari produksi sampah dari berbagai kegiatan kita sehari-hari. Dalam hal makan, misalnya. Ambil makanan secukupnya, habiskan, cegah timbulnya sampah sisa makanan semaksimal mungkin. Dalam misi mengurangi sampah ini, kita dapat menerapkan ‘beberapa R’ lainnya: refuse (tolak), replace (ganti), dan repair (perbaiki). Tolak tawaran kantong plastik saat berbelanja demi mencegah timbulnya sampah keresek. Ganti opsi penggunaan wadah styrofoam saat jajan dengan kotak kosong yang kita bawa sendiri. Perbaiki lubang pada pakaian lama, jangan buru-buru membuangnya dan membeli pakaian baru.

membawa kantong sendiri untuk berbelanja

Ada kalanya, kita telanjur menghasilkan ‘calon sampah kemasan’. Botol-botol vitamin dan obat, kotak sepatu, atau sikat gigi, misalnya. Jangan langsung membuangnya. Lakukan langkah kedua dalam 3R: reuse atau guna ulang. Tanpa mengubah bentuknya, kita dapat menggunakan kembali kemasan-kemasan tersebut. Botol plastik dapat dijadikan wadah cairan pembersih, sikat gigi bekas dapat dipakai untuk menyikat wastafel, dan sebagainya.

botol bekas yang digunakan kembali

Langkah daur ulang atau recycle ibarat benteng pertahanan terakhir dalam ‘perang melawan sampah’ ini. Ini adalah langkah yang terpaksa kita lakukan setelah dua langkah sebelumnya gagal terlaksana mengingat ada sampah yang memang tidak dapat kita kurangi atau pakai ulang. Kulit buah, misalnya. Karena penting bagi kesehatan, makan buah tidak boleh kita kurangi. Kulitnya pun sulit digunakan kembali (dalam bentuk aslinya). Maka, upaya terakhir kita adalah mengubahnya menjadi produk baru (mendaur ulang).

              

Eco Enzyme

Kulit buah sebagai sampah yang mudah terurai dapat kita daur ulang menjadi eco enzyme, sebuah produk fermentasi yang memiliki berbagai kegunaan, mulai dari membersihkan kompor hingga merawat luka. Jenis sampah mudah terurai lainnya seperti sisa sayur, rambut, dan ranting dapat didaur ulang menjadi kompos. Ada beragam metode yang dapat ditempuh untuk melakukan pengomposan, seperti biopori, drum komposter, atau komposter gerabah.    

sampah sisa makanan dimasukkan ke lubang biopori

Daur ulang juga dapat kita lakukan terhadap sampah sulit terurai. Contoh paling sederhana dalam skala kecil atau rumah tangga adalah membuat prakarya dari sampah. Tidak sanggup melakukan semuanya sendiri? Tenang, Anda tidak sendiri!


Kita juga dapat memanfaatkan jasa pihak ketiga. Salah satunya adalah Waste4Change, sebuah perusahaan yang menyediakan solusi pengelolaan sampah yang bertanggung jawab. Tidak hanya membantu manajemen sampah di perusahaan-perusahaan besar, Waste4Change juga melayani pengangkutan sampah sulit terurai di tingkat rumah tangga.  Kita hanya perlu memilah sampah dan duduk manis menunggu sampah kita dijemput. Mudah, kan?

Sekali lagi, selamat Hari Peduli Sampah Nasional. Mari mulai langkah terkecil dan berfokus pada peran setiap individu: bertanggung jawab atas sampah masing-masing. Sampah kita, tanggung jawab kita.

 

21 Februari 2021

Heidyanne R. Kaeni

(Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Blog Waste4Change Sebarkan Semangat Bijak Kelola Sampah 2021)

 

 

Referensi:

Hartono, Djoko, dkk. 2020. Sampahku, Tanggung Jawabku: Buku Pengayaan Pembelajaran tentang Pengelolaan Sampah untuk Guru Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan & Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Sabtu, 13 Februari 2021

Jurus Sehat Rasulullah

Siapa yang tidak pernah sakit? Kenalan, dong. Ini salah satu impianku sejak kecil (berkenalan dengan orang yang tidak pernah sakit), mengingat masalah kesehatan memang telah lama akrab denganku. Saat pertama kali menjadi mahasiswa, tepatnya saat aku terpapar dengan lebih banyak bacaan dan sumber informasi lainnya, kusadari bahwa cita-citaku itu ternyata tidak mustahil. Ada Rasulullah, sosok teladan sepanjang masa bagi semua umat muslim, yang ternyata merupakan manusia tersehat di dunia.

Pucuk dicinta, ulam tiba, meskipun tibanya beberapa dasawarsa kemudian ... hahaha. Kira-kira peribahasa inilah yang tepat menggambarkan perasaanku saat buku "Jurus Sehat Rasulullah" terbit tahun 2020 lalu. Dari judulnya saja, dapat kutebak seperti apa isinya, yang memang sesuai dengan kebutuhan kami sekeluarga (mengingat kini aku sudah berperan menjadi ratu rumah tangga sehingga bukan kesehatan diri sendiri saja yang perlu diatur).

Buku "Jurus Sehat Rasulullah" karya dr. Zaidul Akbar

Penulis buku ini adalah dr. Zaidul Akbar, seorang dokter alumnus Undip, Semarang. Dalam biodata di akhir buku, dikatakan bahwa salah satu latar belakang penulisan buku ini adalah kegelisahannya terkait konsep pengobatan modern yang selalu memiliki efek samping. Ini mengingatkanku pada ibuku sendiri. Mama, yang juga seorang dokter, kini lebih gencar mendorong seluruh keluarganya untuk terus berikhtiar dalam mengusahakan kesehatan yang sifatnya menyeluruh. Berbeda dengan pendekatannya zaman dulu saat aku kecil, sahabatnya bukan lagi obat-obat pereda gejala sakit atau antibiotik. Bukan hanya jenis asupan makanan kami yang dianjurkan dan dikritisi Mama, melainkan juga 'asupan kalbu'.

Buku terbitan PT Sygma Media Inovasi ini diuraikan dalam beberapa bagian besar yang kemudian terdiri atas beberapa subbagian lagi. Setelah mengawali tulisannya dengan pemicu masalah kesehatan kita saat ini (yang rasanya memang masalah semua orang), dr. Zaidul memberikan suntikan motivasi berupa profil generasi terbaik pada zaman Rasulullah. Selanjutnya, dipaparkannya jurus-jurus Rasulullah demi mencapai kesehatan yang paripurna: lahir maupun batin.

Karena itulah, membaca karya dr. Zaidul ini sebenarnya bukan pengalaman yang luar biasa bagiku. Tidak banyak ilmu yang benar-benar baru kutahu karena kebanyakan sudah 'dikhatamkan' oleh Mama. Namun, bukankah mengerti dan mahir adalah cerita yang berbeda? Walaupun teorinya sudah kupahami, praktiknya belum kulaksanakan secara konsisten. Lupanya masih lebih banyak daripada ingatnya. Lalai masih lebih sering daripada tertib. Mungkin karena itu, aku masih membutuhkan buku ini.

Buku "Jurus Sehat Rasulullah" juga mengingatkanku lagi pada berbagai contekan yang pernah kuintip untuk urusan kesehatan. Mulai dari probiotik, aromaterapi, hingga teori warna dan bentuk dalam pengobatan diulas di sini. Kurasa seluruh gambaran besar teori kesehatan holistik telah tercakup dalam buku dengan tata letak yang ciamik ini. Meskipun demikian, jangan berharap buku bersampul keras yang 'hanya' setebal 315 halaman ini sudah lengkap memuat beragam resep makanan atau minuman yang menyehatkan.

Rupanya, sang penulis memang sudah menyiapkan topik itu secara terpisah sebanyak 524 halaman (!!) dalam "Buku Resep Sehat JSR" yang akan terbit bulan depan. Di sela-sela kebutuhan lain, sepertinya harus kusiapkan anggaran khusus demi mengoleksi buku itu juga. Ada yang mau ikut pesan? Bareng, yuk (tinggalkan komentar jika tertarik, ya)!

Buku "Resep Sehat JSR" yang akan terbit bulan depan

Salam,

-H e i D Y-