Sabtu, 29 Desember 2007

the SOUVENIR : sebuah berkah

Buat yg datang ke pernikahan saya dan Hamdan, pasti inget dong apa souvenirnya? Masih disimpen kan ;)

Nah, itu souvenir ceritanya emang luar biasa.
Orang paling berjasa dalam terwujudnya rencana itu adalah,
1. Papa,
2. Mas Budi Warsito, salah seorang teman kami sejak zaman kuliah (a film curator, scriptwriter, & editor)

Kalo bukan karena kengototan, keoptimisan, dan kegigihan mereka dalam menumbuhkan kepercayaan diri saya, bisa dijamin itu souvenir takkan ada.

Papa tentunya bersikap demikian karena cintanya yang luarbiasa terhadap putri sulungnya ini. Menggunakan ketegasan & wibawanya, saya tidak punya kesempatan untuk menolak, tidak sanggup memberikan opsi lain untuk menandingi kebrilianan idenya.

Sementara Mas Budi, nah...ini hebat juga mendoktrin eh mempengaruhi saya.
Karna dia, saya pun setuju, memperbanyak novel DIARY GIGI GUE alias melakukan self publishing terhadap karya tersebut.

Tujuan Papa yang punya ide gila ini, tentunya tak lain tak bukan adalah utk menyebarluaskan karya saya, mengenalkan nama saya sebagai penulis.
Tentunya, tersebarluasnya karya itu pun dicita-citakan Papa tidak sebatas sampai ke para undangan, melainkan juga sampai ke penerbit.

Sebenarnya, DIARY GIGI GUE bukannya belum pernah saya kirimkan ke penerbit.
Dengan modal pas-pasan, waktu itu satu-satunya hardcopy yang saya punya saya kirimkan ke sebuah penerbit. Sebuah penerbit, yang saya pilih dengan sangat berhati-hati, mengingat ide&topik karya saya sangat tidak biasa. Bukan soal cinta, romantika dkk, jadi saya tidak memilih penerbit-penerbit yang banyak menerbitkan karya-karya yang demikian. Hanya satu nama penerbit yg saya perkirakan mungkin tertarik.

Maka, saya kirimkan naskah DIARY GIGI GUE ke penerbit tersebut, pada kira-kira Juni 2006, setahun yang lalu. Beberapa bulan kemudian, saya mendapatkan hasilnya.
Cara mereka menyampaikannya oke berat! Disertakan dengan sinopsis, komentar (positif maupun negatif), juga penilaian yg tidak hanya deskriptif, tapi juga dilengkapi angka!

Saya sampai terncengang-cengang waktu mengeluarkan berlembar-lembar kertas dari amplop yang mereka kirimkan. Selain itu, saya juga sempat tersanjung dgn apresiasi mereka yang bertubi-tubi. Dari penilaian secara angka, semuanya sangat memuaskan...kecuali dalam satu poin penilaian : TREND.

DIARY GIGI GUE tidak sesuai dengan TREND pasaran, sehingga mereka pesimis jika diterbitkan.

Hhh. Begitulah.
Satu-satunya penerbit yang saya harapkan ternyata juga memikirkan TREND.
Penerbit yg, saya pikir, "klo bukan itu, mana lagi yg mau?"
Itulah kenapa saya malas berusaha untuk mengirimkannya ke penerbit-penerbit lainnya lagi. Untuk mencetak 1 buku saja, bukan tidak keluar banyak duit loh.
Jadi..tidak, terimakasih....mending saya lanjut menulis buku-buku lainnya!

Tapi, rencana Papa memperbanyak karya saya yg satu itu emang brilian.
Siapa sangka, dalam waktu yang tidak lama, apresiasi datang mengalir dari berbagai penjuru. Yeah, berbagai penjuru, saya tidak berlebihan karna emang pembaacanya kan semua tamu resepsi pernikahan saya: dari anak SD sampai nenek-kakek!

Dan selain itu juga, dari penerbit-penerbit yang saya kirimkan!
Karena punya banyak cetakan (sisa souvenir), saya pun hampir tidak berpikir lagi saat mengirimkannya ke banyak penerbit sekaligus (tidak lagi berpikir soal biaya nge-print). Tak tanggung-tanggung, saya kirim ke enam penerbit sekaligus!

Seperti penerbit pertama yg sudah menolak saya DULU, umumnya penerbit mengapresiasi sambil menyatakan ketidakberanian mereka berspekulasi di pasar buku, berhubung topik buku yang saya tulis jelas sangat tidak biasa. Mau dimasukin ke genre apa? Untuk kalangan apa? Semua bingung!

Tapi ada satu penerbit, yang sambil mengakui itu semua, dengan penuh semangat mengajak saya bergabung. Mereka tidak berani menerbitkan buku yang itu sekarang, tapi meminta karya saya yg lain, yg mungkin bisa didulukan untuk diterbitkan. Selagi saya masih memikirkan kemungkinan itu, penerbit lainnya, menelepon dengan meninggalkan pesan singkat : "Kami tertarik, kapan bisa ke sini?

Subhanallah. TerNYATA, ya.
Betul, memang ada yg namanya "berkah nikah" yg sering dibicarakan orang-orang itu..
Dan ya Allah, sayangilah Papa tercinta, sebagaimana besarnya sayangnya padaku!

So now here I am, working again on DIARY GIGI GUE. They asked me to write more, so I'll have to continue my research to be able to do that. Please wish me luck, wish that i can finish my work soon, wish that it's good enough, so then u can find my book in all those bookstores in Indonesia, amiin...

Sabtu, 08 Desember 2007

AFTER the WEDDING

Setelah hari besar itu, disusul bulan madu (yg tidak seperti namanya, sama sekali tak sampai sebulan! Hmppph!!), lalu juga syukuran yg diadakan mertua, saya dan Hamdan pun sibuk berbenah.

Beres-beres, di antaranya ngeberesin sarang cinta kami berdua, tentu;p
Sementara ini rumah kami beralamat di Bandung, rumah Papa dan Mama yang telah berdiri sejak kira-kira 10 tahun yg lalu.

Karena pekerjaan Hamdan, kami pun tak bisa selalu bersama setiap hari.
Setelah 20 hari kerja, 10 hari ia dapat OFF dan disitulah ia baru kembali padaku:D

FAQ: kenapa saya tidak ikut Hamdan ke Kalimantan sana?
Karena. Dia bukan kerja di kotanya, tapi di lepas pantai!
Naik-turun kapal, yg mana tak pernah ada cerita seorang istri dibawa-bawa!
Bukannya saya tidak mau, tapi nantinya apa kata DUNIA (DUNIA = bosnya Hamdan & teman-teman kerjanya)

Maka, setelah 2 minggu bersenang-senang....
saya sempet shock begitu Hamdan harus beragkat bekerja lagi.
Ampyuuun....ternyataaaaa..... 20 hari itu lammaaaa yaaaa???
Kok saya tidak pernah tahu itu sebelum nikah?

Sepeninggal suami, kesibukan saya hanya mengajar, menulis, belajar masak, mengurus komputer yang rusak, dan mencari-cari lowongan kerjaan baru di Jakarta.
Kalau beruntung, saya dan Hamdan emang ingin bisa sama-sama kerja dan tinggal di kota itu. Not because i love that metro city, of course, tapo salah satunya karena mempertimbangkan jarak dengan kedua orangtua.

Seorang Heidy tidak bisa hidup tanpa kesibukan.
Nah, yg di atas itu buat saya jelas masih jauh dari sibuk.
Belummmm!!! Enggak banget deh pokoknya.
That's why, bisa dibayangkan keadaan saya seperti apa?
Bisa gitu, saya bilang kabar baik kalau ditanya? Apalagi baru kawin!
Masih dicap penganten baru...apa kata dunia klo saya terang-terangan pamer kegundahgulanaan hati ini? Puuhhh.

Tapi, nikah emang luar biasa manfaatnya. Dengan nikah, setidaknya saya tidak lagi merasa sendiri dalam menghadapi apapun. U know the best part in married life? Well, for me: it's about having a life-time partner, to always have someone beside you!. Dalam senang maupun susah.

Segala susah, tidak sesusah waktu saya masih sendiri, karna pasti terBAGI dua karna adanya partner itu. Sedangkan kalaau snang sih bukannya terbagi dua, melainkan malah terKALI dua (note : tapi kedua rumus ini belum tentu berlaku untuk kasus poligami yaa)!

Jadi... Alhamdulillah, saya MENIKAH.

Nah, tunggu apa lagi? Menikahlah, wahai yang masih bujangan..hehehe....didoakan semoga mendapat sebaik-baiknya jodoh ya, amiin..

Jumat, 16 November 2007

to prepare the BIGgest day in my life...

Kabar seputar kehidupan saya akhir-akhir ini tidak lepas dari sebuah peristiwa sangat bersejarah, terbesar dalam hidup saya sampai saat ini, yaitu MENIKAH.

Kenapa? Karena ternyata untuk mengurus SATU HARI itu saja, waktu dan tenaga saya sangat terkuras.

Emang sedih deh kalau calon pengantin harus terjun memikirkan macam-macam. Udah pun mau nikah, yang harusnya sibuk bertapa, kalo bisa malah semedi ke gunung deh, malah mesti ngangkat telpon berpuluh kali dlm sehari.

Mending kalau sambil riang gembira. Susah sih, kalau lagi sensitif.
Kalau lawan bicara agak lemot dikit, abis deh saya telan hidup-hidup!

Tidak ada satu pun urusan dalam rangka penyelenggaraan prnikahan itu yang tidak saya tahu. Undangan, perias&pemandu adatm konsumsi, dekorasi, dokumentasi, souvenir, transportasi, listrik.....semuanya, tidak ada celah dimana saya bisa curi-curi tutup mata sekaliiiii saja....ampuuun.

Didn't I enjoy all of that? Hmm. Gampang-gampang susah juga saya menjawabnya.

Rasa enjoy, excited tentunya ada. Saya kan bukan nikah paksa.
The man I was going to marry is the man I love..soo, jelas bahagia dong, menyongsong kebersamaan itu!

Tapi menikah kan tidak cuma satu hari,
tidak cuma saat ijab kabul dinyatakan,
tidak cuma saat sanak saudara, kerabat dan kenalan berdatangan dari segala penjuru!
Menikah, dalam niat sebagian besar orang tentunya, tentu diingini sebagai yang pertama dan yang terakhir! Sejak janji dinyatakan di hadapanNya, hari-hari dalam kehidupan baru yang penuh perjuangan akan dimulai.

Maka, dalam masa-masa menjelang hari tersebut, perasaan seorang anak manusia, apalagi seorang Heidy yg kelabilannya sangat tinggi, jelas perlu lebih diwaspadai.
Saya mau nikah.....masa gadis saya sebentar lagi akan berakhir.....

Dalam masa itu, tidak wajarkah klo saya jadi lebih sensitif? Nyiapin sebuah acara besar, dengan menyatukan keinginan berbagai pihak, jelas bukan perkara gampang. Tapi rasanya tidak sesulit itu, sepusing itu, jika bukan saya yang sedang akan menikah! Itulah kenapa pada masa-masa tersebut, sering didapati seorang Heidy : nangis berdarah-darah.

Demi menjaga kesehatan jiwa dan raga, salah satu langkah yg saya ambil adalah mengurangi aktifitas lainnya.

Jadwal kerja saya yg tadinya mengajar penuh 6 hari seminggu, berubah jadi tinggal 2 hari seminggu! Setelah sebuah kerjaan paruh waktu saya selesai, praktis ya kerja saya cuma 2 hari mengajar itu saja. Tapi selebihnya, tetap tidak bisa dibilang santai juga sih. Saya menghabiskan hari-hari dengan, misalnya: bolak-balik ke tempat jahit kebaya, perias, nongkrongin perbaikan taman di rumah, daaaaannnn tentu masi banyak lagi lainnyaa.

Seperti yang Mama saya pikir, 2 hari kerja itu pun sebetulnya saya mati-matian memenuhinya. Mama keukeuh menyarankan saya minta libur total, tapi saya ngotot nolak. Gila looo. Wong dua hari itu justru adalah 'break' buat saya!
Ketemu anak-anak, sebandel apapun mereka, saya bahagia karena gimana pun itu seperti refreshing! Tanpa itu, bisa bisa malah saya tak jadi menikah.
Keburu muntah, stres dan eneg ngurusin sgeala persiapan pernikahan itu sndiri.

Yang membuat saya bingung, kenapa ya orang lain kayaknya mengurus semua itu dengan tampak tak bermasalah sama sekali? Apa karena urusan saya ini berhubungan dengan keluarga yg perfeksionis? Apa karna sayanya, yang terlalu menganggap semuanya tak begitu penting, jadi seperti tidak rela...(dlm hati : "DEMI SEHARI ITU DOANG"?)

Sampai kapan saya merasa begitu?
U may not believe this.
Kalo orang lain akhirnya rileks begitu seminggu sebelum, atau H-5, H-3dst..
Saya, pada hari ketika upacara adat telah dimulai. Kira-kira dua menit sebelum siraman, tepatnya.

Membaca firman Ilahi, ayat-ayat suci Al Qur'an,
juga menghaturkan pengakuan dosa sekaligus permohonan maaf kepada orangtua,
entah bagaimana memberikan efek yg luar biasa terhadap hati ini.
Anugerah ketenangan batin pun tiba-tiba seperti diturunkankan begitu saja atas saya.
Setelah itu...satu persatu langkah kami lewati, semuanya berjalan begitu cepat.
Dan mulus, setidaknya bagi saya, yang dalam kepala ini sudah tidak ada apapun selain DOA.

Dan, semua itu akhirnya berakhir juga.
Berkat support, sumbangsih dan segenap cinta dari orang-orang di sekitar saya dan keluarga, hari itu pun jadi sebuah hari yg rruarrr biasaaaa!
Sya yang tadinya ogah-ogahan dan tidak bisa melihat dimana pentingnya segala urusan pernikahan itu, pun berubah pikiran. It really was the most beautiful day in my life...!

Jadi, untuk semua yang akan menikah...pesanku : just enjoy!
Tapi mungkin umumnya di antara kalian sebnernya tidak perlu dipesan-kan begini ya.
Mungkin saja cuma sayalah orang yang bisa malas dan stres (padahal bahagia) menghadapi momen semacam itu..ck ck..


p.s
foto-foto ada di http://sepuluhseptember.multiply.com/

Minggu, 12 Agustus 2007

menulis itu banyak resikonya (ternyata)


saat si penulis emosinya lagi meledak-ledak
yang ditulisnya bisa menyakitkan hati orang lain
sarkasme

saat si penulis emosinya stabil,
diya sendiri pun kadang merasa sedikit menyesal akan tulisannya yang terlampau kasar itu

saat si penulis dihadapkan pada bukit kebohongan dan jurang kejujuran
harus pintar memilih
karna gag semua yang jujur itu baik untuk dunia dan ga semua yang bohong itu buruk untuk dunia(ternyata)

saat yang ditulisnya dibaca oleh orang yang sebenarnya tida berhak membacanya
susah, semua orang punya hak untuk baca

saat si penulis butuh privasi

saat si penulis berada sedikit keluar dari batas kewarasan

saat si penulis kehabisan kata-kata untuk dirangkai supaya enak dibaca
kehabisan inspirasi

saat si penulis mengalami perubahan karakter
melakolis, sanguin, riddiculous
tapi tetap satu tubuh, satu manusia

saat si penulis merasa sangat sangat sangat kecewa
apa yang ditulisnya, samasekali tak berwarna, hambar

saat si penulis
enggan menulis lagi...


-------------------------------------------------------------------------------------

saia samasekali tidak ada hasrat untuk menyebut diri sendiri sebagai penulis,
penulis picisan sekalipun
karna tak mau menodai arti harfiah dari kata penulis itu sendiri.
(siapa pula primata yang rela menyebutku sbagai penulis?)
july 13-2007

-------------------------------------------------------------------------------------

Tulisan di atas bukan tulisanku.
Bukan dari tanganku huruf-huruf itu terangkai, bersatu membentuk kata, kalimat dan menyebar makna.

Namun sejak pertama kali membacanya, walau hanya sekilas (mungkin waktu yang diperlukan untuk membacanya tak sampai semenit), makna yang terajut dalam tulisan itu langsung meninggalkan perasaan yang sulit untuk digambarkan.

Nyuss….
seperti tertusuk, menancap dalam, ke hati ini..
Bukan hanya tuk sekali,
namun berkali-kali lama setelahnya
perasaan seperti itu seringkali muncul.

Bagai tersuntik virus,
yang menerobos masuk dalam tubuh tanpa dapat dicegah..
tak jarang kudapat serangan itu…
Mulai dari yang menggelitik hingga yang bergejolak liar
seolah mendesakku tuk berpikir kembali dan segera memilih.

Ya, memilih.

Sesuai dengan judul tulisan di atas : “menulis itu banyak resikonya…”
Itulah yang kurasakan selama lebih dari setengah tahun terakhir ini.



Antara menulis atau tidak menulis.
Antara bebas atau memelihara sopan santun
Antara jujur atau memperhatikan perasaan orang lain.
Antara berterus terang atau menjaga kehormatan diri, harkat dan martabat.

Kadang,
walau segala cara telah diupayakan, tak mungkin bagi kita mendapatkan keduanya.
Ada saatnya,
bagaimana pun memang perlu memilih satu di antara dua.

Aku
sedang berada di persimpangan itu sekarang.

Menulis seperti nafasku.
Jika profesi penulis diambil dari ruang kehidupanku,
maka sama saja artinya dengan mengambil nyawaku.

Jantungku berdenyut, aku masih dapat menghitung detaknya.
Ada O2 yang keluar masuk melalui hidungku.
Suhu tubuhku masih seperti biasa, sedikit lebih dingin dari orang pada umumnya.
Tangan dan kakiku hanya berhenti bergerak saat tidur.
Dan yang paling penting : otakku masih bekerja. Tiada hari tanpa membuat rencana dan memikirkan solusi untuk bermacam permasalahan.

Nah. Ilmu pengetahuan bidang apa yang bisa membuktikan bahwa aku MATI?Aku yakin tidak ada.

Apa aku bisa menyebut diriku MATI?
Sungguh aku pasti manusia laknat jika berani berlaku demikian!!!!!

Tapi entah bagaimana, harus kuakui,
itulah rasa, yang ada padaku saat ini!!
itulah pikiran, yang walau kutahu salah,
tetap tak kuasa ku melenyapkannya!!!

Aku ingin HIDUP, benar-benar HIDUP.
Mengalami keHIDUPan,
merasakan keHIDUPan,
mencatat keHIDUPan
dan belajar dari keHIDUPan.

Dan aku butuh MENULIS untuk HIDUP yang kuingin itu…
salahkaH?

Salahkah, jika ada saatnya…
aku memilih bebas daripada sopan santun?
Salahkah, jika ada saatnya…
aku memilih jujur lebih dari perasaan orang lain?
Salahkah, jika ada saatnya…
aku memilih berterus terang ketimbang menjaga kehormatan diri, harkat dan martabat?

Salahkah, jika aku memilih jadi rumput liar daripada burung cantik dalam sangkar emas?

Dunia ini, tampak seperti selembar kertas yang tak hingga luasnya…
dan bagiku disodorkanNya ruang kosong yang tak bisa dibilang kecil,
sementara ada Merah, Oranye, Kuning, Hijau, Biru, Ungu, dan bahkan Hitam, warna krayon dalam genggaman tanganku…

Maafkan aku, wahai saudara dan sahabatku….
Sebutlah aku egois,
Anggaplah aku tak tahu malu,

Tapi jangan larang tanganku,
yang hanya ingin ikut menyumbang warna bagi dunia ini.

jangan hentikan aku,
yang hanya ingin memilih HIDUP ketimbang mati.



Tulisan di atas tadi,
memang bukan buah karya seorang penulis terkenal.
Bukan pula hasil pemikiran seorang penyair, filsuf, atau tokoh masyarakat lainnya.

Walau lahir dari tangan seorang penulis berusia empat belas tahun yang baru saja menyelesaikan sekolah menengah pertamanya (jika memang belum ada, izinkan aku menjadi primata pertama yang menyebutmu penulis!), itulah tulisan paling berharga yang pernah kubaca.

Terimakasih, adikku.
Walau tak mengalir darah yang sama dalam tubuh kita, biarkanlah aku terus menyayangimu…

- h e i D Y -

Rabu, 24 Januari 2007

Bergadang lagi..

udah lama nggak bergadang.

Sejak kehilangan status sebagai mahasiswa?
Mmm...neaaah, not really...
Sejak jatuh sakit? Yeah, rasanya itu lebih tepat.

Jujur, saya kangen kegiatan itu.
Bekerja di depan komputer hingga larut, hanya ditemani secangkir kopi instan, gerakan konsisten dari para penunjuk waktudan alunan musik para jangkrik di rerumputan...

Mungkin sudah ada ribuan artikel dan jutaan nasehat tentang tidak-baiknya-bergadang, yang pastinya belum sampai sepuluh artikel diantaranya yang udah gue baca,dan entah ada atau tidak, satuuu, saja, dari jutaan nasehat itu yang sempat nempel di kepala ini.

Jadi. Walau artikel tentang keburukan bergadang telah menumpuk di sekeliling saya,walau orang-orang terkasih sudah menasehati saya untuk tidak bergadang hingga mulut mereka berbusa, tetap saja pada akhirnya saya nggak akan pernah benar-benar menghentikan kebiasaan bergadang... jikalau saja saya nggak jatuh sakit kemarin itu.
Emang betul kata orang tua: pengalaman adalah guru yang terbaik.

Tapi saya tetap kangen bergadang.

Aku kangen...terjaga sendiri di antara sepinya malam, saat jutaan jiwa lain tengah merengguk kebebasan mereka di alam mimpi.
Rasanya seperti diberi kesempatan untuk mewujudkan secuil hasrat terpendam itu, sesaat, saja, menikmati dunia sendiri..seolah dunia ini diciptakan hanya untukku.
Aku bisa terbang dengan imajinasi seliar apapun, tak ada siapapun, atau apapun, yang menjadi alasan mengapa aku harus menjaga kakiku tetap menjejak tanah.

Nah, mungkin karena itulah saya merasa bisa bekerja lebih baik di malam hari.
Tak ada yang menjadi perhatian selain diri saya sendiri dan apapun itu yang sedang saya kerjakan.

Maka, saat muncul keinginan untuk mencicipi lagi seteguk kenikmatan bergadang itu..
Berbekal pengalaman jatuh sakit kemarin yang diikuti dengan segenap pengetahuan dan kesadaranuntuk bergaya hidup sehat, saya memutuskan untuk melakukannya dengan hati-hati.

Bagaimana caranya?
Pertama-tama yang mutlak harus diketahui, dipahami dan diresapi adalah bahwa bergadang itu dosa. Dosa besar kalau boleh saya bilang, dalam hal kesehatan yang beradab.

Oleh karena itu...

Satu.
Layaknya dosa, usahakan untuk mencegahnya. Jadi kalau dalam kasus saya (baca : kepepet napsu), ya diminimasi. Jangan sering-sering bikin dosa ini. Sekali seminggu udah pol banget dah.

Dua. Adalah sangat tidak bijaksana, menggabung-gabungkan atau menumpuk dosa. Lebih baik mengimbanginya dengan amal kebaikan. Kalau diterapkan pada masalah bergadang ini: saya mengimbangi dosa bergadang yang saya lakukan dengan amal tidur yang baik dan benar di hari sebelum dan sesudahnya. Bergadang juga sangat mungkin ditunggangi dosa yang lain. Misalnya, mengkonsumsi berbagai jenis asupan yang tidak baik bagi kesehatan tubuh. Lebih baik mengurangi bercangkir-cangkir kopi itu dan menggantinya dengan bergelas-gelas air putih, teh hijau, atau jus buah.

Tiga. Walau kedengarannya konyol, tapi mengakui dosa itu ternyata penting. Terutama terhadap orang-orang yang terdekat dengan kita. Dengan tahu apa yang akan kita lakukan, mereka bisa menjaga kita agar 'still on the track'.

Nah. Sudah, cukup itu saja.
Strategi sudah disusun, sekarang saya siap nyobain bikin dosa lagi.
Kawan, bantu saya ya. Bantu jaga diri, eh jaga dosa ini, maksudnya.

Kini aku kembali sendiri hidup di tengah keheningan, di antara irama napas orang-orang terkasih yang sedang 'mati'. Kembali aku duduk di bawah benderang lampu di satu langit-langit sementara langit yang lain sedang mengenakan jubah kegelapannya. Ah, nikmatnya...