Minggu, 11 November 2012

nikmat vs ujian dan kebahagiaan sejati

Lazimnya, seseorang berduka saat mengalami hal yang buruk dari kacamata duniawi: kehilangan anggota keluarga, harta benda, pekerjaan, jabatan, nama baik, martabat, dan lain sebagainya. Lazimnya pula, seseorang bersenang hati ketika mendapatkan hal-hal yang terasa nikmatnya di dunia: mendapatkan kemudahan dalam berbagai urusan duniawi, memperoleh pekerjaan, dilimpahi kekayaan, dikaruniai anak dan pasangan hidup, dihormati orang lain, dan seterusnya.

Sementara itu, yang lebih jarang terjadi adalah berbahagia saat mengalami kesulitan dalam hidup dan sebaliknya, prihatin dan takut saat memperoleh begitu banyak nikmat duniawi. Manusiawi sekali, tentu. Begitu menyengsarakannya sebuah penyakit atau musibah di dunia, hingga yang otomatis terucap mungkin berupa keluhan, ratapan, bahkan pertanyaan pada Tuhan: mengapa Engkau menimpakan cobaan seperti ini kepadaku? Begitu memabukkannya segala nikmat di dunia, hingga terlupakan sama sekali bahwa sesungguhnya itulah ujian yang sebenarnya dari Tuhan, apakah kita akan larut dalam kesenangan hingga melupakanNya.

Masih kuingat momen saat lulus sidang sarjana sekitar tujuh tahun yang lalu. Setelah berbulan-bulan mengerjakan tugas akhir dengan 'penuh darah dan airmata',  hari itu aku menyampaikan kabar baik tersebut dengan sukacita pada Mama. Namun ternyata Mama justru seolah kuat-kuat menarikku agar tidak terbang atau melambung tinggi. Meskipun Mama tahu betul perjuanganku saat menulis skripsi, tanggapannya di akhir sangat kalem dan mengajakku untuk bersikap serupa. Aku sama sekali masih tak mengerti saat itu.  Bukankah wajar seseorang bersukacita di saat-saat tertentu? Apalagi setelah melewati dan mengalami begitu banyak kesusahan! Karena itulah, waktu itu aku hanya menganggap Mamaku orangtua yang 'nggak seru'. Astaghfirullah...maaf ya Maa..

Pertama kali aku mulai belajar tentang hal ini kira-kira enam tahun yang lalu, ketika aku jatuh sakit dan harus diopname di rumah sakit. Sebagai seseorang yang tak kuat menahan sakit, kegelisahan, kekesalan, kesedihan sekaligus ketakutan terus terungkap dari sikapku. Mama yang mendampingikulah yang mengingatkanku untuk tidak memikirkan dan melakukan apapun dalam segala ketidakberdayaanku saat itu selain bersyukur. Haa, bersyukur? Aku bingung sekali waktu itu. Memangnya apa yang dapat kusyukuri dalam kondisi yang demikian? Aku lupa sama sekali bahwa seseorang yang sabar dalam sakitnya dapat menjadi sangat dekat dengan Tuhannya dan kemudian dilunturkan dosa-dosanya. Pantas saja ada orang-orang yang dapat 'berdamai' dan begitu berbahagia saat jatuh sakit. Ia melihat limpahan berkah di sana, dan seperti itulah yang sikap yang diharapkan Mama dariku.

Setelah itu, aku semakin rajin 'diajak belajar' oleh Mama dari berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan keluarga kami maupun sekitar kami. Subhanallah, semakin nyata kebesaran Allah yang kusaksikan begitu aku mencoba mengubah cara pandangku terhadap satu demi satu hal. Betapa seseorang yang kehilangan jabatan dalam pekerjaan justru telah diselamatkan dan mendapat perlindungan Allah dari segala keburukan yang mengintai, betapa seseorang yang kehilangan harta bendanya sesungguhnya sedang disucikan dan dibantu untuk menuju kebaikan dunia akhirat.

Teorinya sih gampang: bersyukur saat merasa susah. Kenyataannya, saat datang hal yang sama sekali tak enak rasanya dan tak pernah terbayangkan sebelumnya, tetap saja kita dapat bereaksi seperti lazimnya manusia: berduka sedalam-dalamnya. Duka itu bahkan dapat membawa kita pada pertanyaan yang menunjukkan betapa lemahnya iman kita: "Kenapa kau berikan musibah ini, ya Allah??" Bahkan Mama, yang kuanggap sudah mumpuni dalam hal ini, pernah kusaksikan sendiri berada dalam titik ini. Sungguh tak tega melihatnya...

Hal sebaliknya sebenarnya lebih sulit lagi: prihatin, waspada, serta memohon ampunan dan perlindungan Allah justru ketika dihadapkan pada berbagai nikmat di dunia. Lihat saja, bukankah lebih sulit menemukan seorang pejabat negara yang terlihat khawatir ketika menerima sebuah jabatan ketimbang yang tampak begitu senang? Bukankah lebih sulit bagi kita untuk beristighfar ketimbang bersukacita saat dilimpahi kekayaan materi? Padahal sesungguhnya di balik segala nikmat itu, terkandung cobaan yang sebenarnya yang jika tak terjawab dengan baik dapat mendatangkan musibah yang lebih menyengsarakan dunia akhirat!

Namun, ada kabar baik bagi orang-orang yang sudah pernah mengalami kesusahan luar biasa atau musibah yang terasa cukup 'dahsyat' di dunia. Jika pernah berada pada titik terendah, merasa sangat terhinakan, dan tetap selalu mengingat Tuhan hingga saat kondisi itu berbalik, semua hal di atas menjadi sedikit lebih mudah dipahami. Seorang yang pernah dihinakan akan mampu melihat bahwa nikmat dunia dalam bentuk apapun hanya ada karena ridho Allah dan sewaktu-waktu dapat dicabut kembali. Ia juga takkan mampu terbebas sama sekali dari kewaspadaan dalam hati, takkan mampu melambungkan rasa sukacitanya, dan takkan mampu mengabaikan doa mohon ampunan serta lindungan Allah karena tahu betul bahwa nikmat itu sesungguhnya adalah ujian dan suatu saat nanti akan menjadi pengantar musibah jika disalahgunakan. Ah, sekarang aku mengerti mengapa dulu Mama berusaha keras agar aku tak besar kepala dengan kesarjanaanku. Kupahami pula bahwa sebenarnya pelajaran ini sejalan dengan pesan kearifan lokal masyarakat Jawa yang turun temurun diteruskan dari eyang-eyangku: Ngguyu aja keliwat, mengko mundhak nangis ('tertawa jangan berlebihan, nanti menangis'), jroning suka kudu eling lan waspada ('dalam kegembiraan harus tetap ingat dan waspada').

Sampailah aku pada simpulan bahwa sesungguhnya di dunia ini tak ada kesedihan maupun kebahagiaan yang sejati. Bahkan seseorang yang selalu berusaha berbuat kebajikan, berpegang pada ajaran agama dan melangkah lurus di jalan Allah setiap saat pun dapat merugi jika semua itu dirasakannya sebagai kebahagiaan sejati hingga tak mungkin ada keburukan yang 'menjatuhkan'nya. Terlebih jika itu membuatnya besar kepala, tinggi hati dan merasa dirinya telah suci, paling benar dan jauh lebih baik daripada orang lain. Betapa orang seperti itu kelak dapat lebih hina kedudukannya daripada seorang pelacur yang memberi minum seekor anjing bagiku menunjukkan bahwa tak ada celah barang sedikit pun bagi seorang pun untuk sombong dan berhenti mensucikan diri selama masih hidup di dunia. Karena sesungguhnya akhir itu lebih baik daripada permulaan (QS. 93:4), karena kebahagiaan sejati itu hanya di akhirat dan hanya diberikan kepada orang-orang yang diridhoiNya. Semoga kita diridhoi untuk menjumpai akhir waktu kita masing-masing di dunia ini dalam keadaan husnul khotimah. Aamiin yaa Rabb...


Mari belajar bersama.
- H e i D Y -