Rabu, 26 September 2012

Pijin dan Kreol

Pada awalnya, para linguis sempat beranggapan bahwa pijin dan kreol adalah bahasa yang menyimpang dari standar (Bloomfield dalam Holm, 2000 : 1). Kini, para linguis telah menyadari bahwa pijin dan kreol bukan versi rusak atau versi kacau sebuah bahasa, melainkan merupakan jenis bahasa baru. Kosakata dalam pijin maupun kreol berasal dari bahasa-bahasa yang lebih tua. Namun jika sistem linguistik keduanya diteliti, akan sangat jelas bahwa baik sistem bahasa pijin maupun kreol sangat berbeda dari bahasa yang menjadi sumber kosakatanya. Dalam hal ini, bahasa yang menjadi sumber kosakata itu disebut base language (Holm, 2000: 1).

Menurut Kridalaksana (2011: 194), pijin (pidgin) adalah alat komunikasi sosial dalam kontak yang singkat (seperti dalam perdagangan) antara orang-orang yang berlainan bahasanya dan yang tidak merupakan bahasa ibu para pemakainya. Sementara itu Suhardi (2005: 62) menyebutkan bahwa pijin merupakan ragam bahasa yang tidak memiliki penutur asli. Hal ini disebabkan karena pijin muncul di tengah-tengah dua masyarakat dengan bahasa yang sangat berbeda. Untuk kepentingan komunikasi, alih-alih menggunakan menggunakan bahasa ketiga sebagai perantara, mereka menggabungkan kedua bahasa mereka itu. Bahasa gabungan mereka itulah yang disebut sebagai pijin. Salah satu hal yang dapat menyebabkan kemunculan pijin adalah reaksi atau respons masyarakat terhadap situasi sosial politik yang berubah di daerah mereka.

Biasanya pijin ditemukan di negara-negara dunia ketiga yang merupakan bekas daerah jajahan atau koloni. Karena itulah, kebanyakan pijin dipengaruhi oleh bahasa-bahasa bangsa Eropa seperti Inggris dan Portugis yang pernah menjajah negara lain. Dengan kata lain, bahasa-bahasa Eropa inilah yang menjadi base language bagi pijin pada umumnya. Dalam Holm (2000: 5) pun dijelaskan bahwa biasanya pihak yang dengan kekuasaan yang lebih lemah dalam masyarakat yang memunculkan pijin menggunakan kata-kata dari bahasa pihak yang lebih berkuasa. Namun, makna, bentuk, dan penggunaan kata-kata dipengaruhi oleh bahasa pihak yang mengakomodasi kata-kata tersebut (substrate language).

Suhardi (2005: 63) menjelaskan bahwa secara historis, pijin yang dipakai dari waktu ke waktu dan dari satu generasi ke generasi berikutnya pada suatu saat dapat menjelma menjadi jenis kreol. Setelah satu generasi menggunakan pijin tertentu sebagai bahasa perantara kemudian anak-anak mereka mulai menggunakannya sebagai bahasa pertama atau bahasa ibu, pijin tersebut telah berubah menjadi kreol. Karena itulah, kreol sering diartikan sebagai pijin yang memiliki penutur asli. Hal ini sejalan dengan definisi kreol (creole) yang dipaparkan oleh Kridalaksana (2011: 137), yaitu pijin yang dalam perkembangannya menjadi bahasa ibu dari suatu masyarakat bahasa.

Menurut Holm (2000: 6), biasanya leluhur dalam suatu masyarakat yang menggunakan kreol mengalami perpindahan secara geografis sehingga hubungan dengan bahasa asli dan identitas sosiokultural mereka rusak. Kondisi sosial seperti ini seringkali merupakan akibat dari perbudakan. Salah satu contohnya adalah apa yang terjadi pada bangsa Afrika dari beragam kelompok etnolinguistik yang dibawa oleh bangsa Eropa ke koloni-koloni di New World untuk bekerjasama sebagai budak di perkebunan-perkebunan.

Generasi pertama budak dari Afrika itu menciptakan pijin karena mereka tidak memiliki bahasa yang sama dan akses mereka untuk mempelajari bahasa Eropa sangat terbatas. Karena pijin tersebut pada dasarnya merupakan bahasa asing bagi mereka sendiri, kemahiran mereka menggunakan bahasa tersebut masih kalah dibandingkan bahasa asli mereka. Alternatif sintaksis dan kosakata yang mereka miliki pun lebih terbatas. Selain itu, karena bahasa ibu mereka berbeda-beda, maka diperkirakan terjadi variasi bahasa besar-besaran dalam masa ini.

Generasi berikutnya yang lahir di New World kemudian lebih terpapar pada pijin yang diciptakan orangtua mereka dan menganggap bahasa tersebut lebih bermanfaat ketimbang bahasa asli orangtua mereka dulu. Meskipun mereka memperoleh bahasa yang sangat bervariasi, kacau, dan tidak mendapat input linguistik yang lengkap, mereka tetap dapat mengaturnya sedemikian rupa menjadi kreol yang merupakan bahasa asli mereka. Kemampuan ini memang merupakan karakteristik bawaan setiap manusia.

Proses kreolisasi yang terjadi pada generasi kedua bangsa Afrika di New World merupakan proses yang berlawanan dengan pijinisasi yang terjadi pada generasi orang tua mereka. Dalam pijinisasi, proses yang terjadi cenderung berupa proses reduksi, pengurangan atau pemotongan dari base language. Sementara itu dalam kreolisasi, proses yang terjadi merupakan proses perluasan atau penguraian. Salah satu contohnya adalah aturan fonologis seperti asimilasi yang terdapat dalam kreol dan tidak ditemukan pada pijinnya. Selain itu, penutur kreol juga membutuhkan kosa kata yang mencakup segala aspek kehidupan mereka, berbeda dengan penutur pijin yang mungkin hanya menggunakannya dalam salah satu kegiatan seperti perdagangan. Karena itulah, proses pengorganisasian tatabahasa, perubahan dari sistem verbal yang koheren menjadi struktur-struktur level frase yang kompleks terjadi baru terjadi dalam kreol.

Terdapat lebih dari seratus kreol di dunia. Salah satu contohnya adalah Papiamentu di Aruba, Venezuela Selatan, Curacao, dan Bonaire – Kepulauan Leeward di Netherlands Antilles. Kreol ini dipengaruhi oleh tiga bahasa: Portugis, Inggris, dan Spanyol. Contoh kreol lainnya adalah Kreol Haiti di Karibia, bagian barat pulau Hispaniola. Kreol ini dipengaruhi oleh bahasa Prancis, Afrika, dan Inggris. Jumlah penutur kreol ini mencapai enam juta jiwa dan dapat ditemukan di seluruh Karibia dan komunitas di Amerika Utara (Suhardi, 2005: 63).

 

Daftar Pustaka

Holm, John. 2000. An Introduction to Pidgins and Creoles. Cambridge: Cambridge

University Press.

Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit PT.

Gramedia Pustaka Utama.

Suhardi, B. Dan B. Cornelius Sembiring. 2005. “Aspek Sosial Bahasa”. Dalam Pesona

Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Sabtu, 22 September 2012

Demi Satu Suara

Pada putaran pertama Pemilihan Gubernur DKI tahun ini, saya dapat memberikan suara dengan mudah meski tidak mendapat kartu pemilih dan surat undangan. Hanya dengan berbekal KTP, petugas tempat pengambilan suara (TPS) di RT saya secara ramah mempersilakan saya duduk menunggu mereka mencari nama saya di Daftar Pemilih Sementara (DPS). Ketika beberapa menit kemudian nama saya ditemukan, saya pun diperbolehkan mencoblos. 

Alhamdulillah, kekhawatiran saya beberapa hari sebelumnya karena tidak mendapat kartu pemilih dan surat undangan ternyata tidak beralasan. Asal punya kemauan datang ke TPS di RT tempat kita terdaftar sebagai warga, ternyata apa yang sudah menjadi hak kita ya tidak lari kemana-mana.

Namun, ternyata keyakinan saya itu diuji kembali pada putaran kedua. Lagi-lagi saya tidak mendapat kartu pemilih dan surat undangan. Sempat saya dan suami beberapa kali mendatangi rumah pak RT tetapi tidak berhasil menemuinya karena beliau sedang tidak di rumah (sibuk betul!). Pada beberapa warga sekitar yang kebetulan sedang duduk-duduk di dekat rumah pak RT itu, saya bercerita bahwa saya ingin menanyakan perihal kartu pemilih dan surat undangan yang belum saya terima. 

Alangkah leganya saya ketika beberapa warga lain di RT saya itu menyatakan hal yang sama: "Saya juga nggak dapet kok, Mbak! Emang banyak yang nggak dapet!" Wah, ternyata memang 'kacau beliau' pembagian kartu dan surat itu di RT saya. Ya sudah, berarti memang saya ditakdirkan hanya berbekal KTP lagi saat datang ke TPS pada putaran kedua.

Oya, saya juga sempat terancam tidak dapat menggunakan hak suara saya karena kuliah yang saya ikuti setiap hari Kamis ternyata tidak libur meski kampus sudah menyatakan bahwa itu hari libur. Padahal, dosen saya juga semangat mau mencoblos. Namun, semangatnya mengadakan kuliah juga tidak kalah. Setelah sempat mencari alternatif hari pengganti tetapi tidak berhasil, akhirnya ditetapkanlah kami tetap kuliah di hari putaran kedua Pilkada DKI. Kebijakan yang tersisa adalah memundurkan jam kuliah: yang seharusnya mulai pukul 9 menjadi mulai pukul 10 pagi.

Hari pesta demokrasi yang ditunggu-tunggu tiba. Sampai di TPS, saya langsung mengatakan hal yang sama persis dengan apa yang saya katakan saat ingin memilih di putaran pertama dulu: saya hanya berbekal KTP, tidak dapat kartu pemilih dan surat undangan. 

"Wah, ya tidak bisa, Mbak. Harus ada dua itu kalau mau nyoblos," kata salah satu petugas (Petugas 1) dengan entengnya. 

"Waktu putaran pertama saya juga nggak dapet, tapi tetap bisa nyoblos hanya dengan bawa KTP ini," protes saya. "Waktu itu nama saya tidak ada di DPT (Daftar Pemilih Tetap) tapi ada di DPS,"

"Ya itu kan putaran pertama mbak, sekarang sudah tidak boleh lagi," Petugas 2 menimpali.

"Sekarang sudah tidak ada DPS, mbak. Karena sudah putaran kedua, yang jadi pemilih dianggap sudah fix yang di DPT ini," Petugas 3 menambahi pula. 

Saya mulai kesal. Rasanya seperti dikeroyok ramai-ramai! 

"Lho tapi kan saya datang dan memilih waktu putaran pertama! Memangnya tidak dicatat bahwa saya termasuk pemilih? Kenapa dong nama saya tidak dipindah ke DPT lalu saya diberi undangan??" protes saya bertubi-tubi.

"Nah ... itulah mbak, sepertinya nggak direkap lagi oleh KPUnya," kata entah petugas yang mana.

Saya merasakan pipi, kepala, dada memanas berjamaah. Astaghfirullah .. saya tidak boleh meledak di sini ... tidak boleh! 

"Terus ... jadi saya harus gimana, dong?" Susah payah saya menahan ratusan kata lain yang sebetulnya sudah ada dalam pikiran saya.  

"Yaa nggak bisa milih mbak, kami juga nggak bisa apa-apa di sini. Itu bukan kewenangan kami!" 

"Pokoknya nggak berani ngapa-ngapain deh Mbak, kami ini disumpah!" 

Saya memperhatikan jawaban-jawaban dan raut-raut wajah tak peduli itu. Mereka semua duduk, saya berdiri (dengan culun: memanggul tas ransel, satu tangan menenteng botol minuman dan tangan lain mengewer-ewer KTP). Saya memandang mata mereka, mata mereka semua sibuk terpaku pada berkas-berkas yang ada di meja. Sebuah sopan santun yang luar biasa mengagumkan, bukan?

"Ya kalau emang mau nyoblos coba aja Mbak cari orang KPU di kelurahan, tanya ke mereka," salah satu mengusulkan. Tetap tanpa memandang saya.

"Tapi belum tentu akhirnya bisa juga, sih. Tapi kalau emang kepingin banget milih, ya coba aja deh." sambar yang lainnya. Sungguh kalimat yang menguatkan dan menentramkan hati, ya? 

"Ya pokoknya terserah Mbak, kalau mau coba ke kelurahan ya sekarang. Jam satu siang kami sudah harus tutup dan menghitung suara,"

Saya melirik jam tangan saya. Masih ada waktu kira-kira satu setengah jam sebelum kuliah dimulai. Perjalanan saya naik angkot ke kampus paling cepat memakan waktu sekitar satu setengah jam juga. Yang saya maksud paling cepat adalah dalam kondisi si angkot tidak lama ngetem dan jalan yang dilalui tidak macet. Sementara itu, kelurahan berjarak sekitar dua kilometer dari TPS. Jika saya naik angkot, mungkin sampai kampus tepat ketika dosen membubarkan kelas. Akhirnya saya memutuskan untuk naik ojek. Tidak hanya untuk pergi ke kelurahan, tapi untuk kemudian kembali ke TPS (jika ternyata memang dapat memilih) dan/atau untuk mencapai terminal Kampung Rambutan agar saya bisa langsung menaiki angkot ke kampus saya di Depok.

Sesungguhnya, para petugas TPS itu sudah berhasil menanamkan rasa pesimis pada saya. Saya mendatangi kantor kelurahan sama sekali tidak dengan semangat membara. Memang masih berharap, tetapi tidak berharap besar. Saya berpikir mungkin saja pada akhirnya saya tetap tidak bisa memilih, tapi setidaknya saya berniat dan berusaha. Kalau saya memang tidak bisa meminta hak saya, setidaknya saya melaporkannya ke petugas KPU. 

Sampai di kantor kelurahan, seorang petugas KPU menyapa saya dengan sangat ramah dan tergopoh-gopoh mencari meja dan kursi untuk melayani saya. Setelah mendapat perlakuan yang tidak enak di TPS, tentu saja saya sama sekali tak menyangka mendapatkan pelayanan seperti itu dan merasa senang sekali. Hati saya langsung terhibur. Saya pun mengutarakan apa yang saya alami. Dan..kembali tidak disangka-sangka pula, sang petugas langsung marah!

Sang petugas KPU bukan marah kepada saya. Begitu saya selesai bercerita, ia langsung mencari nomor telepon ketua RT saya. Ekspresinya tampak penuh napsu marah saat berusaha menelepon si Pak RT...hihihi, lucu sekali. Eh, maaf, harusnya saya tidak senang saat orang dipenuhi amarah, ya? Namun apa boleh buat, saat itu setelah apa yang saya alami, spontan saya merasa terhibur sekali, sih!

Menurut sang petugas KPU, sudah jelas seharusnya saya bisa memilih. Nama saya memang tidak ada di DPT, tetapi bukankah ada di DPS? Apalagi saya sudah memilih saat putaran pertama. Nama-nama pemilih di DPS tidak berubah dan di putaran kedua DPS tetap digunakan, bukan hanya DPT seperti kata petugas TPS tadi. 

Ketua RT saya ternyata susah sekali dihubungi. Akhirnya, sang petugas KPU membuatkan saya surat yang menyatakan bahwa saya diperbolehkan menggunakan hak pilih saya hanya dengan berbekal KTP jika nama saya ada di DPS dan menambahkan dengan tegas bahwa DPS itu ada di salah satu dokumen yang pada hari sebelumnya telah ia berikan pada para petugas di TPS.  

"Saya sudah berikan pada mereka! Di lembar A-5! Harusnya ADA! Haduh, gimana sih...nggak denger atau apa waktu saya kasih pengarahan??" kata sang petugas KPU geram sendiri ketika saya ceritakan bahwa para petugas di TPS menyatakan saat ini sudah tidak ada DPS.

Saya meninggalkan kantor kelurahan diantar dengan ucapan sang petugas KPU yang melegakan: "Pokoknya bisa, Mbak, kalau nama ada di DPS," 

Saya pun minta tukang ojek kembali mengantar saya ke TPS. Setiba di TPS (dengan melewati segerombol warga yang senyum-senyum menyapa dan tertawa melihat saya yang diantar ojek kembali lagi), saya langsung menyerahkan surat pernyataan dari petugas KPU kepada petugas di TPS. Mau tahu bagaimana reaksi mereka?

"Nah, kalau ada surat gini kan enak," komentar salah satu petugas pendek, seraya langsung menyuruh petugas lainnya mengambil lembar A-5 yang disebut-sebut dalam surat. 

Saya terbengong-bengong. Sudah, begitu saja? Katanya tadi DPS tidak ada? Jadi itu bohong? Tadi itu maksudnya saya sedang diplonco atau apa?? Tapi seingin apapun saya mengutuk mengomeli mereka, tentu saja saya tidak mengungkapkan jeritan hati itu. Saya datang untuk mencoblos, titik. Bukan untuk cari musuh. 

Lagipula, saya masih harus menunggu mereka menelusuri kembali nama saya di DPS. Meskipun seharusnya nama saya pasti ada di DPS yang tidak berubah sejak putaran pertama itu, sampai detik saya mengenggam surat suara yang menjadi hak saya, apapun bisa terjadi. Apapun yang membuat saya tetap tidak dapat memberikan suara. Ya sudah, daripada menyalurkan napsu marah-marah, saya putuskan untuk berdoa saja dalam hati agar saya dapat menggunakan hak suara saya. Agar usaha saya ke kantor kelurahan dan bantuan petugas KPU tadi tidak sia-sia. Agar keterlambatan saya pergi kuliah tak terbuang percuma. 

Kira-kira setelah setengah jam yang terasa seperti setengah bulan itu, akhirnya salah satu petugas memberikan surat suara kosong kepada saya. Alhamdulillaah! Saya melangkah masuk ke bilik suara dengan perasaan antara tak percaya, senang dan terharu penuh syukur, juga geli! Geli karena membayangkan siapa tahu ada orang-orang yang membicarakan saya yang semangat sekali ingin mencoblos selembar kertas, sementara beberapa ratus warga DKI lainnya dengan santai memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya.

Di akhir hari itu, sepulang kuliah (Oya. Saya tidak terlambat mengikuti kuliah. Dosen saya yang bule tetapi sudah berKTP DKI dan juga menggunakan hak suaranya itu menunggu saya selama 1,5 jam sebelum memulai kuliahnya! Subhanallah yaa??), saya mendengar kabar yang menggembirakan. Hasil perhitungan cepat menunjukkan bahwa DKI Jakarta akan segera dipimpin gubernur baru. Selain itu, ada pula kabar dari TPS tempat saya memilih: selisih perolehan suara antara kedua calon SANGAT TIPIS. Nah, hayo siapa tadi yang menertawakan saya? Coba, siapa yang bersemboyan "apalah arti sebuah suara"?

Satu suara itu berarti. Dan syukurlah, saya membuat diri saya sendiri berarti.


Semangat Jakarta Baru!
- H e i D Y -

Rabu, 19 September 2012

Selamat memilih, DKI JAKARTA

Pertama-tama saya sampaikan terimakasih banyak kepada  (ehm...udah seperti sambutan resmi, belum?) teman-teman yang bukan warga DKI Jakarta tetapi tetap setia meramaikan dunia nyata maupun dunia maya dengan doa dan dukungan yang tulus untuk kebaikan DKI Jakarta dan kami para warganya. 

Pagi tadi, seorang teman memberikan saran penting di twitter : shalat istikharah dan cari info sebelum memilih calon gubernur DKI pada pilkada besok. Alhamdulillah, saya sudah melakukannya jauh-jauh hari. 

Sejak putaran pertama selesai dan saya mendapati cagub pilihan saya tidak lolos ke putaran kedua, saya langsung giat mencari informasi tentang para cagub yang ikut serta dalam putaran kedua pilkada DKI ini. Yang saya gunakan pertama kali adalah twitter, sarana tercepat bagi saya sekarang ini dalam menjaring informasi. 

Namun, saya betul-betul kaget dan pusing sekali ketika sebuah akun anonim yang saya ikuti sebelumnya karena sering memberi informasi segar dan terpercaya justru membuat kultwit yang bertolak belakang 180 derajat dengan kultwit-kultwit sebelumnya. Saya menghabiskan beberapa jam memikirkannya karena mendapati informasi-informasi baru yang dahsyat. Sampai pusing tujuh keliling, deh! 

Saya pun membicarakannya dengan suami, keluarga, dan sahabat lalu meneruskan usaha pencarian informasi lagi dari berbagai sumber. Akhirnya dapat. Ada beberapa sumber yang bisa membuktikan bahwa akun anonim yang saya ikuti itu ternyata akun bayaran yang profesional dan punya strategi licik untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. 

Ternyata memang berbahaya jika mempercayai satu pihak saja. Dan ada sebuah pelajaran lainnya bagi saya: perlu lebih tekun mencari informasi dari dunia nyata. Kadang di jaman teknologi informasi sekarang, kita jadi malas. Padahal hanya mengandalkan dunia maya itu berbahaya! Kalau mencari testimoni tentang seseorang, ternyata kita perlu mengusahakan betul-betul untuk mencarinya dari yang kita kenal di dunia nyata dan kenal langsung juga dengan orang tersebut. Kalau tidak ada juga, yah setidaknya yang mengalami langsung kiprahnya. Tapi sekali lagi: orang nyata, bisa dikenali nama aslinya, bertanggungjawab atas kata-katanya. Yang hobi main di twitter, cek juga akun-akun lain yang berseberangan pendapat. Banyak juga kok yang berani tidak anonim dan memberi kesaksian yang terpercaya untuk membantah atau memberi sanggahan dengan bukti-bukti yang masuk akal. 

Memang, yang Maha Tahu Kebenaran hanya Tuhan. Tapi hati-hatilah jika nama Tuhan dibawa-bawa dalam usaha propaganda secara profesional (baca: oleh akun bayaran). Sebagai penulis sekaligus mahasiswa linguistik, saya tahu persis bahwa ada ilmu dan teknik khusus untuk membuat sebuah wacana terpercaya. Ilmu bahasa, sosiologi, psikologi, sampai agama bisa dimanfaatkan demi menarik simpati. Waspadalah!

Bagi muslim, yang paling betul memang shalat istikharah, percaya pada Allah SWT. Doanya adalah memohon agar pikiran dan perasaan dijernihkan dari pengaruh-pengaruh negatif. Lalu gunakan hati yang bening itu untuk bijaksana memilah segala informasi yang terus datang dari segala penjuru. Sekali lagi, BIJAK.

Saya tidak bilang pemilih yang bijak itu pasti memilih calon A dan bukan B atau sebaliknya. Yang bijak itu yang mengakui kelebihan dan kekurangan kedua calon dan memilih dengan sadar. Bukan karena pengaruh sepihak. Saya akan memilih berdasarkan suara hati dan saya sadar segala resiko yang menyertai harapan pada cagub pilihan saya. Semoga yang lain pun begitu.

Pilihan saya juga tidak berhubungan dengan keyakinan bahwa sang cagub tersebut yang menang. Mungkin saja tidak, tapi ini suara saya. Siapapun yang terpilih nanti, semoga perlindunganNya tetap diturunkan untuk DKI Jakarta tercinta. Jika pilihan saya kalah sekarang, mungkin itulah yang terbaik dengan alasan yang tak seorang pun tahu kecuali Tuhan Sang Maha Perencana. Semoga ... semoga, hanya rahmat dan ampunan untuk kita semua, bukan sebentuk azab. Aamiin yaa Rabb...


Selamat memilih bagi yang berhak!
- H e i D Y -

Kamis, 06 September 2012

Budaya dan Kebudayaan


Pada tulisan sebelumnya, saya sempat menyebutkan mata kuliah berjudul Teori Kebudayan yang saya ambil di semester pertama yang telah berlalu. Itu adalah mata kuliah  menarik dan cukup berjasa dalam 'mengantarkan' saya ke gerbang ilmu linguistik sebagai salah satu cabang ilmu humaniora. Nah, pada semester kedua ini, kelas yang pertama saya masuki adalah Bahasa, Kognisi dan Budaya. Judul mata kuliah yang lebih menarik lagi bagi saya (dan dosennya merupakan dosen favorit yang dulu pernah mengajar saya di program matrikulasi)! Semoga saya bisa memaksimalkan kegiatan belajar saya dan ilmu yang saya peroleh dari mata kuliah ini.

Bahasa, Kognisi, dan Budaya. Berdasarkan rancangan silabus, kami akan membahas tentang konsep teori kebudayaan pada pertemuan-pertemuan awal di kelas ini. Hitung-hitung sebagai pemanasan untuk saya sendiri, saya akan berbagi sekilas pendahuluan tentang definisi dari kebudayaan itu sendiri. Pengetahuan ini saya peroleh dari kuliah Prof. Benny Hoedoro Hoed, salah satu pengampu mata kuliah Teori Kebudayaan yang saya sebut sebelumnya.  

Dari berbagai definisi, kita dapat melihat kebudayaan dalam sebuah continuum yang menonjolkan kebudayaan sebagai pandangan antara idealistic view (gagasan) dan materialistic view (entitas fisik). Ada berbagai teori yang dikenal dalam ruang lingkup Ilmu Pengetahuan Budaya, seperti filsafat, susastra, kajian teks, sejarah, psikolinguistik, linguistik kognitif, semiotik, pragmatik, sosiolinguistik, antropologi linguistik, antropologi, arkeologi, dan teori adaptasi. Yang lebih dulu disebutkan (filsafat, susastra, …) lebih dekat pada padangan idealistik, sementara yang disebutkan belakangan lebih mendekati pandangan materialistik (…., arkeologi, teori adaptasi).

Istilah kebudayaan sendiri dapat dibedakan dari peradaban dan budaya. Kata kebudayaan yang merupakan kata benda berpadanan dengan culture dalam Bahasa Inggris. Kata budaya dapat berstatus sebagai kata benda yang berpadanan dengan custom atau kata sifat yang berpadanan dengan kata cultural. Baik custom maupun cultural merupakan bagian dari culture, dan di dalamnya termasuk pula apa yang kita kenal dengan habit (kebiasaan). Sementara itu, istilah peradaban erat kaitannya dengan adab  (civilization) dan beradab (civilized). Peradaban biasanya dihubungkan dengan pendidikan dan merupakan pandangan yang subjektif, bukan objektif.

Kemarin di pertemuan pertama kelas Bahasa, Kognisi dan Budaya, dosen saya, Dr. Felicia N. Utorodewo, menyinggung kembali istilah budaya dan kebudayaan. "Segala sesuatu yang dipelajari dan diberi arti itu kan budaya," katanya. Kemudian ia memberi contoh kecil : sebuah kedipan mata.  

Mengapa kita mengedipkan mata? Jawaban menurut ilmu biologi adalah agar mata kita basah sehingga tidak terasa perih. Subhanallah, yaa. Pernah membayangkan jika kita tidak bisa berkedip sekali pun? Lalu sudahkah kita mensyukuri hal sekecil ini? 

Kedipan mata bisa terjadi kapan saja. Entah sudah berapa kali saya mengedipkan mata secara otomatis saat mengetik tulisan ini untuk tujuan yang telah disebutkan di atas. Namun, kedipan mata juga bisa terjadi pada kesempatan lain untuk tujuan yang sama sekali berbeda. Misalnya saat sepasang suami istri ingin meninggalkan suatu acara di tengah orang banyak. Kedipan mata yang diberikan sang suami atau istri pada pasangannya menjadi kode dengan makna tersendiri. Saat itulah, kedipan mata telah menjadi sebuah budaya. Saat ia menjadi kode. Saat ia diberi arti tertentu. 

Jadi, segala sesuatu yang dipelajari dan diberi arti itu adalah budaya. Semoga ini dapat menjadi jawaban bagi siapa saja yang bertanya apakah dan mengapa bahasa merupakan bagian dari budaya. 

Lain lagi dengan kebudayaan. Mari mengingat suara adzan. Apa yang dirasakan oleh kelompok muslim yang berkewajiban untuk shalat setelah mendengar suara itu? Ada perasaan terpanggil untuk shalat. Semakin lama, jika belum juga menunaikan kewajiban itu, semakin gelisah. Dengan demikian, mendengar adzan ini telah menjadi suatu kebudayaan bagi para muslim, bukan hanya budaya. Mengapa? 

Menurut Kroeber & Kluckhohn, kebudayaan terdiri dari pola-pola, baik eksplisit maupun implisit yang dipelajari, diteruskan oleh tanda-tanda tertentu, membedakan dengan kelompok manusia yang lain, termasuk perwujudan dalam artefak-artefak. Inti penting dari kebudayaan terdiri dari ide-ide tradisional dan khususnya nilai yang tertanam. Lebih lanjut, sistem kebudayaan dapat dianggap sebagai produk tindakan dan juga sebagai elemen-elemen yang mengkondisikan tindakan lebih lanjut.

Definisi kebudayaan dapat dipandang dari sudut antropologi dan ilmu-ilmu sosial. Dari sudut antropologi, kebudayaan berarti pengetahuan kompleks yang dipelajari, kepercayaan, seni, moral, hukum, dan budaya. Sementara itu menurut ilmu-ilmu sosial, kebudayaan merupakan segala yang ada di masyarakat yang lebih diteruskan secara sosial ketimbang secara biologis.

Mendapat pelajaran ini, saya pun mengerti ketika Prof Benny bercerita bahwa ia tidak dapat marah saat ingin membeli sesuatu di sebuah warung tradisional dan tidak ada orang yang mengantri. "Ya itu kan memang bukan kebudayaan mereka," tandasnya. Sebuah kebijaksanaan yang berasal dari pemahaman yang mendalam di tengah-tengah masyarakat yang beraneka warna. Masyarakat yang sebagian kelompok di antaranya masih bisa memelihara sikap jijik dan benci pada kelompok lainnya yang tak sama nilai. 

Terimakah kita disebut "tidak berbudaya" saat makan nasi dan lalapan sambal dengan tangan oleh kelompok masyarakat yang menganut aturan makan-harus-dengan-sendok-garpu? Lalu adilkah jika kita mencibir pula  pada kelompok manusia lain yang menganut ide atau nilai yang berbeda dengan kita?


Mari belajar memahami.
- H e i D Y -

Senin, 03 September 2012

IPA, IPB, IPS dan Humaniora

Saya bayar utang dulu, deh. Ini janji saya yang ingin bercerita sekilas tentang perbedaan antara beberapa kelompok besar ilmu pengetahuan di dunia ini. Tentu saja ini bukan pemikiran saya sendiri. Wawasan ini saya peroleh dari  mata kuliah Teori Kebudayaan yang saya ambil di semester pertama kemarin. Salah satu dosen pengampu yang menyampaikannya pada saya adalah prof. Benny H. Hoed dan salah satu sumber pustaka yang saya gunakan adalah teks pengantar kuliah Teori Kebudayaan S2 oleh E.K.M. Masinambow.

Baiklah. Saya mulai, ya.

Ada perbedaan yang jelas antara Ilmu Pengetahuan Alam  (IPA), Ilmu Pengetahuan Budaya (IPB), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Humaniora.

Ilmu pengetahuan alam menemukan hukum-hukum alam sebagai sumber dari fenomena alam dan bersifat erklaren (menerangkan). Hukum-hukum yang berlaku dalam ilmu pengetahuan alam tidak pernah berubah (tetap). Hukum aksi-reaksi Newton yang terkenal itu, misalnya. Newton berhasil menemukan kaidah yang merupakan hukum alam. Sekali lagi, menemukan. Bukan menciptakan. Hukum alam adalah hukum yang tidak dapat diubah-ubah oleh manusia.  

Sementara itu, dalam ilmu pengetahuan budaya, manusia berlaku sebagai “objek” (etik jika dilihat dari luar) dan “subjek” (emik, yang berarti melihat dari dalam) sekaligus sehingga ilmu ini bersifat verstehen (memahami), yaitu objek memandang dunia. 

Jika IPA menggunakan cara pendekatan "nomotetis" atau "ilmiah" dalam arti yang sempit, IPB bersifat ideografis (idealistik) dan materialistik atau sering tidak memakai empiri/realita (data yang diambil di kenyataan). Contohnya adalah suatu karya sastra yang merupakan pencerminan dari pemikiran sang pengarang. Jadi, fokus ilmu pengetahuan budaya adalah gagasan atau makna yang biasanya tertuang dalam wujud teks atau artefak-artefak. 

Tidak seperti ilmu pengetahuan budaya yang jelas terlihat berada pada kutub yang berlawanan dengan ilmu pengetahuan alam, terdapat sedikit kekaburan batas antara bidang ilmu pengetahuan budaya dan ilmu pengetahuan sosial. Ilmu pengetahuan sosial berfokus pada kajian hubungan atau interaksi antar manusia atau antar lembaga. Nah, salah satu penyebab kekaburan batas antara IPB dan IPS adalah implikasi dari konsep "kebudayaan" pada IPB dan konsep "masyarakat" pada IPS. Kebudayaan adalah fenomena sosial yang berhubungan erat dengan perilaku masyarakat yang menghayatinya. Sebaliknya, perbandingan pola-pola atau konfigurasi perilaku satu masyarakat dengan masyarakat lain tidak dapat dipahami tanpa mengaitkannya dengan kebudayaan. 

Bagaimana dengan humaniora atau ilmu pengetahuan kemanusiaan? Humaniora berkaitan dengan pendidikan untuk mencapai tingkat peradaban tertentu, yaitu humanities (kemanusiaan) dan human sciences (ilmu tentang manusia). Hal ini sebenarnya mengikuti pandangan para filsuf Yunani dan Romawi yang menggagas bahwa humaniora berkaitan dengan pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan sebetulnya bertujuan agar seseorang mampu mengembangkan potensi dirinya yang berbudi dan bijaksana secara sempurna. 

Dengan demikian, terlihat bahwa humaniora merupakan kelompok ilmu yang tercakup seluruhnya dalam ilmu pengetahuan budaya. Atau dengan kata lain, ia adalah anggota dari IPB. Sementara itu, ilmu pengetahuan budaya merupakan himpunan ilmu yang beririsan dengan ilmu pengetahuan sosial (sehingga sebagian anggotanya merupakan warga IPB dan IPS sekaligus). Kemudian, IPA...eh, sudah jelas ya tadi di atas. Ia berada pada kutub yang sama sekali berlawanan!


dari sarjana IPA yang sedang menjadi mahasiswa humaniora,
- H e i D Y -






Sabtu, 01 September 2012

Jenis Buku Tata Bahasa


Ada begitu banyak wawasan baru yang saya dapatkan dari perkuliahan saya di program studi linguistik. Sebagai mahasiswa magister yang tidak memiliki latar belakang pendidikan sarjana yang 'nyambung', perasaan saya berada di antara rendah diri dan amat sangat antusias. Saya pun ingin berbagi banyak hal baru yang saya dapatkan itu. Masalahnya, saya tak tahu harus mulai darimana! Tapi daripada terus berbingung-bingung sendiri dan akhirnya tak jadi-jadi berbagi, saya putuskan untuk tak terlalu ambil pusing soal si urutan (yang seharusnya diceritakan terlebih dahulu). Dari mana pun, jadilah. Harap maklum, semoga saja hal ini tak menularkan kebingungan saya pada siapapun :D
Kali ini saya ingin berbagi secuil tentang buku tata bahasa. Dari salah satu mata kuliah yang saya ambil semester lalu, saya memahami bahwa ternyata ada dua jenis buku tata bahasa (untuk bahasa apapun) yang beredar di toko-toko buku. Buku-buku tersebut dibedakan dari tujuan penulisannya. 
Buku tata bahasa yang bersifat deskriptif bertujuan untuk memaparkan sistem kaidah yang terpola dalam benak para penutur suatu bahasa. Dengan kata lain, tata bahasa ini bertujuan untuk mensistemkan struktur bahasa berdasarkan data empiris yang diperoleh dari para penutur suatu bahasa. Sementara itu, penulisan buku tata bahasa yang bersifat pedagogis bertujuan untuk mempercepat dan mempermudah penguasaan siswa atas sistem kaidah dalam suatu bahasa dalam rangka pengembangan kemampuannya untuk memahami dan menggunakan bahasa tersebut. Dalam buku-buku tata bahasa jenis ini, penerapan kaidah-kaidah bahasa dalam ragam baku atau standar lebih diutamakan dan variasi bahasa umumnya tidak diajarkan untuk menghindari kebingungan siswa. 
Salah satu contoh buku tata bahasa yang bersifat deskriptif (dan sudah saya baca) adalah Tense karya Bernard Comrie. Salah satu hal yang dipaparkan Comrie dalam buku ini adalah teori bahwa urusan kala hanya sebatas hubungan peristiwa yang dinyatakan terhadap saat ujaran. Bahkan, apakah pernyataan peristiwa yang baru (mungkin) akan terjadi setelah ujaran dinyatakannya sebagai hal yang masih terbuka untuk didiskusikan lebih lanjut. Karena itulah, buku ini digunakan oleh para mahasiswa atau peneliti linguistik sebagai dasar untuk mempelajari dan meneliti lebih lanjut sistem kala pada suatu bahasa sebagai bagian dari tata bahasa itu sendiri.
Sementara itu, contoh buku tata bahasa yang bersifat pedagogis (dan kebetulan ada di rak buku saya) adalah Fundamentals of English Grammar karya Betty Schrampfer Azar. Buku ini hanya memaparkan kaidah-kaidah yang terdapat dalam tata bahasa Inggris, termasuk di antaranya pemakaian ujaran terkait dengan sistem kala dan aspek dalam bahasa Inggris. Seluruh kaidah tersebut bersifat baku dan menegaskan mana yang benar dan mana yang salah. Pembaca buku diajak untuk mengikuti kaidah tersebut, bukan untuk mendebatnya. Karena itulah, buku ini hanya digunakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pengajaran bahasa Inggris, yaitu guru dan siswa yang ingin menguasai bahasa Inggris. 
Nah, apakah saya berhasil membuat Anda bingung? :D


yang sedang penasaran terhadap ilmu bahasa,
- H e i D Y -