Sabtu, 20 Maret 2021

Kesehatan, Probiotik, dan Pandemi

Sejak kecil, topik kesehatan tidak pernah jauh dariku dan adik-adikku. Kuduga ini dialami oleh semua anak lain yang orang tuanya juga berprofesi sebagai dokter. Kebersihan makanan dan lingkungan sebagai langkah pencegahan penyakit pasti selalu menjadi prioritas. Tak ketinggalan pula ilmu praktis berupa rangkaian tindakan yang harus diambil jika ada yang telanjur sakit. Koleksi obat-obatan yang memenuhi sebagian sisi meja makan di rumah kami pun menjadi pemandangan yang biasa.

Namun, ada yang berbeda dari “transfer ilmu” yang dilakukan ibu kami sejak beliau mempelajari functional medicine atau kedokteran fungsional. Sekarang, hal yang Mama ajarkan kepada anak-anaknya bukan lagi beragam obat pereda gejala penyakit seperti yang dahulu ia sampaikan saat kami masih kecil.

“Maafin Mama, ya … banyak banget salahnya dulu. Dikit-dikit ngasih obat …”

Berulang kali Mama meminta maaf pada kami. Anak mana yang tak sedih mendengar ibunya berkata demikian? Mungkin karena bumbu perasaan itulah, wawasan baru Mama juga segera terserap oleh kami. Lagi pula, sekarang bukan hanya Mama yang mengajari kami. Beberapa dokter langganan kami kebetulan juga memberi banyak “kuliah” tentang ini tiap kami mengunjungi mereka.

Ketika kuceritakan bahwa dokter-dokter kami tidak pernah cepat-cepat memberi antibiotik, Mama tampak senang. Beliau menyesal karena tindakan itu justru sering beliau lakukan padaku dahulu. Seperti membunuh seekor kecoa di toilet kecil dengan menggunakan bom atom, begitulah beliau mengumpamakannya.

Mamaku tak bosan mengingatkan bahwa cara pengobatan yang seperti itu malah melemahkan tubuh manusia. Sesuai dengan namanya, antibiotik akan mematikan semua bakteri. Keseimbangan tubuh yang terbentuk oleh trilyunan pasangan bakteri “baik” dan “jahat” pun terganggu. Akibatnya, tubuh kita lupa akan bekal kemampuannya sendiri untuk mengatasi berbagai gangguan dari luar.

Kami sekeluarga diajak menggunakan cara baru dalam memandang kesehatan dan penyakit. Kesehatan tubuh harus dilihat sebagai keseimbangan suatu sistem yang berhasil bekerja secara harmonis, sedangkan penyakit dilihat sebagai gangguan terhadap ketidakseimbangan fungsi tubuh tersebut. Dengan demikian, kita dapat menyadari bahwa sejatinya penyakit itu tidak hanya berasal dari apa yang masuk ke tubuh, tetapi juga dari bagaimana tubuh bereaksi atas segala pemicu tersebut. Sebenarnya ini sama sekali bukan ilmu baru. Konon, prinsip ini telah dipegang erat oleh nenek moyang kita yang masih bersahabat dengan alam sepenuhnya, jauh sebelum manusia gemar mengembangkan zat-zat pembasmi berbagai makhluk lainnya.

Berangkat dari pemahaman itulah, Mama memperkenalkan probiotik pada kami. Dalam artikel yang ditulis bersama beberapa peneliti lainnya, Colin Hill, seorang profesor di bidang microbial food safety, mendefinisikan probiotik sebagai mikroorganisme hidup yang dapat memberikan manfaat kesehatan jika dikonsumsi dalam jumlah yang memadai (Baud, dkk., 2020). Beberapa bukti klinis pun telah menunjukkan bahwa strain probiotik tertentu dapat membantu pencegahan infeksi bakteri dan virus.

seperangkat suplemen probiotik andalan keluargaku
(kubeli di Seruni Djamoe)

Tidak seperti terapi medis pada umumnya, probiotik tidak membunuh kuman penyakit secara langsung. Probiotik justru bekerja dengan menyuplai lebih banyak lagi strain bakteri agar keseimbangan mikroba dalam tubuh tercapai. Tujuannya jelas, yaitu membiarkan tubuh bekerja dan menemukan kembali kemampuan alaminya dalam mencapai dan mempertahankan kesehatan. Bukankah ini menjadi misi yang kian penting dan genting di era pandemi sekarang?

Dari berbagai tinjauan pustaka kasus Covid-19, diketahui bahwa orang yang memiliki imunitas alami yang baik akan mampu menghadapi ancaman virus tersebut. Salah satu penelitian yang mendukung prinsip ini datang dari Al-Ansari, dkk. (2020). Dalam artikel tersebut, dikatakan bahwa suplementasi probiotik dapat menjadi salah satu “pemain utama” dalam meningkatkan imunitas tubuh demi memerangi virus Covid-19.

Tak ada yang tak setuju bahwa menjaga kesehatan mesti diprioritaskan, apalagi di era pandemi ini. Namun, mungkin yang perlu dicermati kembali adalah cara yang kita pilih. Jika diibaratkan dengan pemenuhan kebutuhan hidup jangka panjang, kurasa aku lebih memilih dibekali dengan keterampilan untuk bertani sendiri daripada dihadiahi selumbung padi. Bagaimana denganmu?



Salam,

- H e i D Y -


Referensi:

Al-Ansari, Mysoon M., dkk. 2020. “Probiotic lactobacilli: Can be a remediating supplement for pandemic COVID-19. A review” dalam Journal of King Saud University – Science. Vol.33, Issue 2.  

Baud, D., dkk. 2020. “Using Probiotics to Flatten the Curve of Coronavirus Disease COVID-2019 Pandemic” dalam Front Public Health, V.8, 2020. 


 

Minggu, 07 Maret 2021

Alasan Memilih Jurusan Kuliah

Pernah dengar kata oseanografi? Tahukah bahwa ini bidang ilmu sekaligus nama jurusan kuliah di perguruan tinggi? Tenang … kalau belum tahu, tidak apa-apa. Aku juga tidak tahu, dulu, hingga kira-kira dua puluh dua tahun yang lalu (oh tidak …. buka kartu umur!).

Kuceritakan sedikit, ya. Bagi yang sudah tahu, silakan loncat saja ke paragraf berikutnya … hehehe. Jadi, seperti yang kusinggung tadi, oseanografi adalah suatu ilmu. Kalau melihat kata dasarnya, mungkin teman-teman tidak akan sulit menebak bahwa yang dipelajari di bidang ini adalah laut. Masalahnya, bagian dari laut yang dapat dipelajari tidak sedikit. Ada bagian makhluk hidupnya. Ada bagian kapal, pelabuhan, atau bangunan lainnya.  Ada pula bagian lautnya itu sendiri: arusnya, gelombangnya, interaksinya dengan atmosfer, pencemarannya, dan sebagainya. Nah, bagian terakhir inilah ranah kajian oseanografi.

Baik, cukup sampai di situ saja bahasan tentang oseanografi yang ingin kubagikan di sini. Yang akan kuceritakan sekarang bukan detail tentang ilmu ini, melainkan hubungannya denganku. Mengapa dan bagaimana aku menjalin pertalian (bukan terkait kasih, tentunya) dengannya?

Pertama kali aku mengenal kata oseanografi ialah saat duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas (SMA), tepatnya menjelang masuk ke jurusan ilmu pengetahuan alam (IPA) atau ilmu pengetahuan sosial (IPS) di tahun berikutnya. Penjurusan tingkat terakhir SMA itu tentu berkaitan erat dengan rencana masa depan: berkuliah, bekerja, berkarir, berkontribusi untuk bangsa, negara, duni … mmm apa ini terlalu muluk atau jauh? Yah, sebenarnya aku hanya mau menunjukkan: itu momen yang genting dan penting. Setelah menyadari itu bukan hal yang sepele, aku pun mulai melakukan riset kecil tentang beragam pilihan jurusan di perguruan tinggi.

Aku tidak membutuhkan waktu yang lama sebelum menemukan dan tertarik pada kata oseanografi di antara beragam jurusan kuliah yang kucermati. Alasannya mungkin sesederhana alasan anak SD: ocean berarti laut. Aku suka laut. Di usia lima belas tahun, entah mengapa tidak terpikir olehku bahwa selain rasa suka terhadap suatu objek, masih ada hal yang perlu dipikirkan sebelum memutuskan untuk memilihnya sebagai jurusan kuliah. Penyebab lain mengapa aku sangat mudah menemukan program studi oseanografi adalah karena  ‘nominasi’ yang kupilih sudah cukup sedikit, yaitu hanya aneka bidang IPA yang ada di perguruan tinggi di Jabodetabek dan Jawa Barat.

Mengapa hanya bidang IPA? Aku juga tidak tahu! Sama sekali tak terpikir olehku mempelajari ilmu selain IPA di bangku kuliah. Mungkinkah ini karena sepanjang masa, aku terbiasa dengan pemikiran “Ilmu alam adalah ilmu terpenting dan teratas dalam kasta”? Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, hal ini sungguh konyol. Tidak hanya merasa seperti memakai kacamata kuda, aku juga merasa bahwa semua pemikiranku menjadi tidak logis. Bukankah awalnya aku melakukan riset program studi kuliah untuk memilih jurusan IPA atau IPS di SMA? Apa artinya kalau sejak awal aku sudah menutup mata pada segala macam bidang ilmu selain IPA? Jadi, risetnya buat apa, dong? Apa yang dipertimbangkan? Ck, ck, ck … kurasa inilah yang menjadi salah satu alasan terkuatku untuk tidak cepat-cepat menyekolahkan anak. Kedewasaan mental itu penting, Bung!

Kemudian, mengapa hanya memilih perguruan tinggi di Jabodetabek dan Jawa Barat? Nah, pertanyaan yang ini lebih mudah kujawab. Kuyakin ini berkaitan erat dengan orang tuaku yang masih berdomisili di Jabodetabek. Ternyata sekuat-kuatnya keinginanku waktu itu sebagai remaja untuk segera ‘bebas’ dari rumah orang tua, sebenarnya aku tidak pernah membayangkan akan hidup terlalu jauh dari mereka.

Nominasi yang kudapat menjadi makin sedikit ketika aku mendahulukan pilihan kampus sebelum jurusannya. Kuutamakan memilih perguruan tinggi tempat papa, om, dan tanteku berkuliah dulu. Rasanya sih tidak ada satu pun dari mereka yang terang-terangan menyuruhku memilih almamater yang sama. Namun, sepertinya cerita-cerita yang kudengar sejak kecil dari mereka cukup berpengaruh terhadap alam bawah sadarku: inilah tempat kuliah terkeren dan terbaik se-Indonesia!

Tidak hanya mendengar cerita, aku juga melihat dan merasakan langsung bagian-bagian dari kampus yang mereka banggakan itu. Saat belum lagi bersekolah, aku sudah pernah dibawa berjalan-jalan dan salat di masjid kampusnya oleh almarhumah tanteku. Kemudian, hingga duduk di bangku SMA, entah berapa kali sudah Papa mengajakku bertandang ke markas almamater tercintanya itu, menghadiri acara-acara reuni atau semacamnya. Nah, apa ini sudah termasuk dalam kategori doktrin, atau baru soft-selling? Mana pun itu, yang jelas mereka semua sukses besar membuatku kabita ingin berkuliah di sana juga.

Setelah menetapkan oseanografi sebagai pilihan pertama jurusan kuliahku, aku kebingungan saat diminta memasang ancang-ancang untuk pilihan kedua. Pilihan kedua ini dimaksudkan sebagai cadangan jika aku gagal masuk ke jurusan pilihan pertama berdasarkan nilai Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) saat itu. Sebenarnya aku ingin memilih jurusan lain di kampus yang sama, tetapi ternyata kami diharuskan mencari jurusan lain dengan passing grade yang lebih rendah. Pasalnya, jurusan pilihanku tidak termasuk jurusan favorit. Tidak terlalu banyak jurusan lain yang passing grade-nya berada di bawah oseanografi dan entah mengapa, tidak ada jurusan lain yang cukup menarik perhatianku.

Sempat terpikir pula olehku untuk memilih jurusan lain yang ber-passing grade lebih tinggi dan menggeser oseanografi ke pilihan kedua. Pemikiran ini terlintas setelah aku menjadi siswa kelas 3 SMA dan mulai banyak mengikuti percobaan ujian alias try out (TO), tepatnya setelah melihat rata-rata nilai hasil TO-ku yang cukup untuk menembus jurusan-jurusan yang lebih difavoritkan (kedokteran, misalnya, yang hingga kini sering kusesali mengapa-tak-kulirik-hanya-karena-tidak-mau-mengikuti-jejak-mamaku-yang-menjadi-dokter). Namun, lagi-lagi, entah bagaimana, masih belum ada jurusan lain yang di mataku ‘seseksi’ oseanografi. Akhirnya, terpaksa aku melirik dan memasang kampus lain di pilihan kedua, dengan jurusan yang kuanggap serupa dan sejalan dengan pilihan pertamaku: ilmu kelautan.

Wah, berarti emang udah cinta mati dengan laut, dong? Tak sedikit yang menebak begini jika kuceritakan dua pilihan jurusanku saat UMPTN itu. Jangankan orang lain, aku sendiri pun begitu. Sepertinya aku sudah mantap dengan pilihan jurusanku. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Tugasku tinggal fokus belajar untuk UMPTN!

Kemantapan itu baru tergoyahkan beberapa hari sebelum aku mengembalikan formular pendaftaran ujian. Ini berawal dari kejadian beberapa hari sebelumnya, saat salah satu mentor di tempat bimbingan belajar yang kuikuti membahas detail perbedaan oseanografi dengan ilmu kelautan. Sambil menunjukkan rancangan mata kuliah di kedua bidang keilmuan ini, ia berkata bahwa kekuatan oseanografi adalah aspek fisika dari laut. Itulah yang membedakannya dengan ilmu kelautan yang lebih banyak mendalami aspek biologinya.

Saat itulah pertama kalinya aku menyadari dan mengutuki kebodohanku. Riset macam apa yang sudah kulakukan, sampai-sampai tak tahu hal semendasar itu? Kurang konyol apa lagi tindakanku dengan memasuki jurusan kuliah yang isinya didominasi oleh bidang ilmu kelemahanku? Dalam hitungan hari, aku pun tergopoh-gopoh kembali melakukan riset bergaya sistem kebut semalam.

Hasilnya, aku pusing. Sungguh tidak mudah berubah haluan dalam waktu sekejap. Bagaimana cara mencari arah lain setelah sekian lama aku yakin sudah berjalan menuju destinasi yang tepat? Belum pernah terpikir olehku mencari kemungkinan jurusan lain, apalagi kampus lain. Kemudian, saat akan kupilih jurusan lain di kampus favoritku (karena mengganti kampus lebih tidak terbayang lagi olehku), Mama memintaku untuk mempertimbangkannya lagi. Beliau mengingatkanku bahwa berkuliah di jurusan oseanografi sudah menjadi cita-citaku selama lebih dari satu tahun. Yakinkah aku mengubahnya hanya karena pertimbangan selama dua hari?

Akhirnya, karena takut akan penyesalan yang lebih besar, aku mengembalikan formulir pendaftaran UMPTN dengan oseanografi tetap terpampang di urutan pilihan pertama. Selain kata-kata Mama itu, yang kembali meyakinkanku adalah rancangan perkuliahan di program studi ini yang ternyata juga memuat (sedikit) mata kuliah di luar ilmu fisika. Mudah-mudahan tidak seburuk itu, pikirku.

Ada satu alasan terakhir yang menguatkanku hingga tak berubah haluan. Di antara semua alasan, kurasa inilah yang terpenting. Dalam kondisiku yang terasa bagaikan sedang berdiri di ujung tanduk itu, tidak ada pilihan lain selain mengucap basmalah dan berdoa: “Jauhkanlah dariku, ya Allah, jika pilihan itu hanya mendatangkan keburukan bagiku. Sebaliknya, dekatkanlah aku padanya, jika memang itu yang terbaik untukku.”

Familier dengan doa itu? Benar, itu doa minta jodoh! Siapa sangka, urusan memilih jurusan kuliah dan calon suami itu 'beda-beda tipis' … hahaha. Namun, inilah hal yang paling kusyukuri di antara seluruh perjalananku dalam memilih jurusan kuliah. Aku telah memohon rida Allah Swt. dan berserah diri. Berbekal keimananku pada-Nya, aku hanya minta agar diberikan yang terbaik.

Itu tidak berarti aku tidak akan mendapat kesusahan sedikit pun dan hanya hari-hari indah yang kulalui dalam perjalanan kuliahku. Tidak pula itu berati aku juga langsung menemukan jalan karirku di masa depan. Namun, sebesar apa pun badai yang kuhadapi dalam perjalanan kuliahku, aku menjadi kuat bertahan karena ada satu keyakinan kuat dalam hati: "Aku berhasil masuk ke sini karena Allah rida. Tak pelak, pastilah ini yang paling baik untukku. Pelajaran atau hikmah penting apa yang harus kutemukan dari ini semua adalah cerita yang berbeda."

Alhamdulillah. Terima kasih, grup Mamah Gajah Ngeblog. Berkat mengikuti tantangan blogging bertema ‘alasan memilih kuliah di jurusan masing-masing’ ini, aku berkesempatan untuk menapaktilasi salah satu jejak sejarah dalam kehidupanku bertahun-tahun yang lalu. Semoga catatan kenangan ini tidak hanya berguna bagi diriku sendiri dalam berkontemplasi kembali, tetapi juga bagi siapa saja yang membacanya (para orang tua yang akan mendampingi anak-anaknya memilih jurusan kuliah kelak, misalnya :D). Kepada yang tidak meninggalkanku dan sudah setia membaca hingga kalimat terakhir ini, terima kasih juga, ya!



Salam,
- H e i D Y -

Senin, 01 Maret 2021

Kimchi: Yang Menyehatkan dari Korea

Siapa yang tidak tahu, apa itu kimchi? Lima belas tahun yang lalu, aku belum mengenal jenis hidangan ini. Budaya Korea yang kupahami waktu itu hanya sebatas beberapa miniseri televisinya. Kurang dari satu dasawarsa terakhir, barulah aku sedikit-sedikit lebih akrab dengan beragam makanan khasnya, termasuk kimchi.

kimchi, santapan khas negeri ginseng 

Tidak hanya dari drama Korea (drakor) kontemporer, aku juga berkenalan dengan jenis hidangan ini dari lingkungan sekitarku. Nama kimchi sering kudengar mulai dari mahasiswa di program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) hingga para tetangga di komplek perumahan orang tuaku. Di akhir salah satu sesi mengajar, aku pernah ditawari untuk mencicipi kimchi yang dibuat salah satu peserta BIPA. Aku mencobanya sedikit dan langsung bersyukur tidak mencicipinya lebih banyak. Hal serupa juga terjadi saat tetangga Mama datang membawa buah tangan berupa santapan ini. Rasanya yang sangat asam cukup mengagetkan dan ganjil di lidah kami.

Setelah itu, aku tidak pernah lagi penasaran pada makanan-makanan Korea hingga seorang teman membuka usaha kuliner yang sebagian menunya berupa hidangan dari negeri ginseng tersebut. Wah, berani sekali, pikirku awalnya. Namun, ketika banyak teman lain yang memberikan testimoni positif terhadap produknya itu, rasa penasaranku terbit kembali.

Meskipun begitu, aku belum langsung membeli kimchi di sana karena aku bukan tipe orang yang berbelanja hanya karena ingin tahu. Keingintahuan itu hanya menjadi pemicu niat tambahan ketika aku memang sedang butuh: menambah asupan probiotik dari makanan. Sebagai hasil fermentasi, kimchi yang mengandung lactobacillus (bakteri baik) pun menjadi salah satu pilihan. Berkat komponen aktif yang terkandung di dalamnya, asinan sayur ini dapat meningkatkan metabolisme tubuh, membantu sistem pencernaan, dan mengobati radang. Tidak hanya itu, semua sayuran yang terdapat dalam kimchi juga berperan sebagai antioksidan yang dapat membantu menurunkan kadar kolesterol buruk dan menurunkan risiko penyakit jantung.

Dengan segambreng manfaat itu, tentu tidak ada salahnya, kupikir, mencicipi kembali makanan bercita rasa unik ini. Aku pun memesan kimchi (dan beberapa makanan lainnya, tetapi ini cerita yang berbeda) di toko temanku, d'beats dessert (nama akun instagram: @dbeats.dessert). Ternyata teman-temanku yang lain benar. 

Tidak butuh waktu lama untuk ketagihan memakannya karena rasanya yang kaya bumbu dan segar serta teksturnya yang renyah. Kadar rasa asam dan (sedikiiiit) pedasnya pun pas saat dimakan bersama nasi atau sayur lalapan yang tawar, cukup berterima di lidah kami sekeluarga yang merupakan orang Indonesia tulen. Untuk mendapatkan pengalaman paduan rasa yang memuaskan, banyak orang yang menyarankan agar santapan ini dikonsumsi bersama mi rebus (meniru adegan yang banyak ditemukan di drakor-drakor). Aku ingin sekali mencobanya, tetapi belum kesampaian karena memang jarang sekali menstok mi di rumah. Namun, menurut adikku yang sudah mencobanya, sensasinya asyik dan seru. Hmmm ... aku makin penasaran sekarang.

kimchi di etalase d'beats.dessert

Lambat laun, membeli kimchi menjadi semacam agenda berkala kami. Sayang, makanan siap saji ini tidak selalu tersedia setiap waktu. Produknya dijual dengan sistem pre-order (PO) terbatas. Padahal, tiap kali santapan berbahan dasar sawi putih, lobak, bawang putih, cabai, dan jahe ini sedang hadir di rumah kami, pekerjaan rumahku untuk menyiapkan sayur selama beberapa hari sedikit berkurang .... hehehe. Terima kasih, d'beats.dessert!

 

Salam,

-H e i D Y-