Minggu, 30 Oktober 2022

Tujuan Pendidikan

Pertanyaan pertama yang muncul di benakku ketika merencanakan pendidikan anak adalah sebuah pertanyaan mendasar, yaitu tentang definisi manusia. Apa itu manusia? Berkaca kembali pada definisi peran dan fungsi manusia, seharusnya ini menjadi landasan untuk menentukan tujuan pendidikan.

Manusia pasti bukan hanya seonggok daging dengan darah, otot, saraf, dan sebagainya. Ada begitu banyak fitur yang "dipasang" Yang Maha Kuasa di setiap makhluk-Nya. Akal dan hati nurani yang tidak diberikan kepada makhluk lain tidak hanya diberikan kepada sebagian saja, tetapi semua manusia yang Dia utus ke bumi ini.

Menurutku, penghayatan atas eksistensi dan asal muasal manusia serta hubungannya dengan Sang Penciptanya merupakan hal yang paling penting dalam merencanakan dan melaksanakan pendidikan. Setujukah pada opini bahwa seseorang hanyalah salah satu “suku cadang” di dunia industri? Aku sih sangat tidak sepakat dengan pendapat tersebut. 

Karena itu, aku pun berusaha menelaah kembali tujuan pendidikan bagi anak-anakku. Apakah aku harus menyekolahkannya hanya dengan harapan suatu hari nanti dia akan masuk perguruan tinggi bergengsi dan menemukan/menciptakan pekerjaan bergaji besar? Kemudian, apakah karena itulah aku perlu panik ketika ia tidak bisa membaca di usia dini atau marah ketika ia membawa nilai ujian sekolahnya yang buruk?

Topik tujuan pendidikan juga kurasa sangat berdekatan dengan topik hidup dan mati. Meskipun berbicara tentang kehidupan mungkin masih dapat diterima, aku mengerti bahwa topik tentang kematian sebenarnya bukanlah topik yang menyenangkan. Namun, menurutku, memikirkan dan membicarakannya sebenarnya dapat sangat bermanfaat. Bukankah menyadari keterbatasan usia membuat kita lebih menghargai hidup yang tidak kekal ini? 

Aku sering membayangkan, akan seperti apa dunia ini jika semua orang senantiasa sadar menghadapi "jatah waktunya" masing-masing. Apa yang akan benar-benar kita anggap penting setiap detiknya selagi menjalani kehidupan ini? Tidakkah kita lebih membutuhkan ketulusan di atas kedengkian, kerja sama di atas persaingan, dan—tentu saja, sekali lagi—kebaikan di atas kemuliaan? Kemudian, sudahkah tujuan pendidikan generasi penerus kita pun diarahkan ke sana?

Minggu, 29 Mei 2022

Tahun yang Baik

Selama bertahun-tahun dahulu, aku pernah menyebutkan judul di atas sebagai bagian dari doa sebelum menyongsong tahun baru (baik tahun masehi, tahun hijriah, maupun tahun usiaku yang baru ... hehehe). Sepertinya yang menjadi fokusku adalah kata baik. Dalam hal sekolah, pekerjaan, jodoh, atau yang lain-lain, tentu pengalaman yang baik-baiklah yang kuharapkan. Wajar, kan? Bukankah semua orang begitu?

Waktu terus berjalan dan alhamdulillah, aku masih diberi rezeki usia hingga detik ini. Dengan kata lain, terus bertambahlah pengalamanku untuk melangkah ke depan, melewati tahun demi tahun yang baru sekaligus mengenang tahun yang telah berlalu. Apa saja kebaikan yang kualami dan harus kusyukuri?

Namun, entah sejak kapan tepatnya, aku tergelitik untuk mengkritik pemikiranku sendiri. Jika ada hal atau kejadian yang kuanggap baik, bukankah sudah tentu ada pula yang sebaliknya, yaitu yang kuanggap buruk? Apa yang kualami dan kapan aku mengalaminya?

Apakah permohonanku akan tahun yang baik menandakan bahwa aku merasa cukup banyak mengalami hal-hal buruk (atau tepatnya, kuanggap buruk) pada tahun-tahun sebelumnya? Yang seperti apa tepatnya yang dapat dinilai buruk? Apakah keburukan berarti sakit, kecelakaan, kehilangan barang atau bahkan seseorang? 

Beberapa di antaranya memang benar pernah kualami. Namun, setelah kejadiannya berlalu cukup lama (atau mungkin juga lebih cepat untuk peristiwa tertentu), aku tak yakin lagi dapat menyebutnya buruk. Bagaimana perasaanku saat menyadari sepertinya aku salah memilih jurusan saat S1, misalnya? Atau bagaimana pula rasanya ketika tidak hamil-hamil setelah tujuh tahun menikah? Jelas, aku tidak baik-baik saja ... pada saat itu. Namun, beberapa waktu kemudian, hingga sekarang, yang tersisa adalah perasaan beruntung. 

Seandainya aku masuk jurusan kuliah yang kupikir tepat, mungkin aku takkan bertemu dengan lelaki terbaik yang menjadi suamiku kini. Begitu pula soal berketurunan. Jika saja langsung hamil setelah menikah, mungkin aku tidak akan bertemu dengan anak angkatku saat ini. 

Keinginanku untuk mendapatkan hal-hal yang--kupikir--baik memang tidak selalu terwujud sepenuhnya. Akan tetapi, Tuhan Mahatahu dan selalu memberikan apa yang paling baik untukku. Hanya waktu yang kubutuhkan untuk menyadari dan menerimanya. 

Karena itulah, doaku menyambut setiap tahun yang baru sekarang sedikit "bergeser". Kusyukuri tahun-tahun penuh kebaikan yang selalu kulalui dan kupinta satu hal terpenting: semoga Dia mengizinkanku menjaga nikmat iman ini. Aamiin Allahuma Aamiin.

Bagaimana denganmu? Adakah permohonan yang khusus menjelang tahun baru atau ulang tahunmu?