Sabtu, 31 Juli 2021

Tertawa dan Belajar

Apa kabar, teman-teman? Semoga semua sehat, ya. Jika ada yang sakit, semoga segera sehat kembali. Siapa sangka ya, setelah satu setengah tahun sejak era pandemi Covid-19 dimulai, pertanyaan seputar kabar kesehatan ini masih terasa berat, bahkan makin berat dalam dua bulan terakhir ini. Di lingkungan sekitarku, suara sirene ambulans bolak-balik terdengar. Kabar duka silih ganti berdatangan di berbagai grup whatsapp.

Tantangan Ngeblog Bulan Juli



Menimbang latar situasi di atas, salah satu grup whatsapp favoritku, Mamah Gajah Ngeblog, berinisiatif meluncurkan tantangan menulis dengan tema yang sangat mulia unik karena diniatkan untuk menghibur para pembacanya: cerita lucu. Selain unik, sepertinya tantangan ini berat juga ya, bagi kebanyakan penulis atau blogger. Tidak semua orang terlahir berbakat untuk melucu, bukan?

Sebagai anggota kelompok yang baik, setia, dan agak gemar menabung pahala ambisius, tentu aku takkan melewatkan tantangan ini. Ada bakat melucu atau tidak, tak usahlah kukhawatirkan sekarang. Biarkan Tuhan dan pembaca yang menentukan. Tugas kami hanya berusaha. Bukan begitu, Kawan?

Baik, mari kita mulai. Tolong jangan lempari tulisan ini jika ternyata nanti tulisanku tidak ada lucu-lucunya, ya. Namanya juga usaha. Cukup senyumi saja ya, Kak. Ingat, senyum adalah sedekah, Kak. 


Cara Melahirkan Tawa

Tentu saja aku tidak tahu jawaban dari pertanyaan “Bagaimana cara membuat orang tertawa?”

Tak satu pun anggota keluargaku berprofesi sebagai komedian. Sosok terdekat yang terpikir saat ini olehku dalam hal melucu mungkin beberapa teman yang dulu pernah berkegiatan di unit kegiatan yang sama. Kini mereka menjadi influencer yang kalau tidak salah (karena aku tidak begitu mengikutinya) sering membuat konten-konten lucu. Aku pun iseng mencari tahu apa dan bagaimana tepatnya hal-hal yang disebut lucu.

Rupanya temuanku dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori besar (ini menurutku pribadi, tentu saja, jadi tak usahlah kalian repot-repot mencari artikel jurnal hanya untuk mengecek pernyataan ini). Kategori pertama adalah suatu kesalahan atau keganjilan. Kategori kedua sebenarnya mungkin bukan kesalahan, tapi dicari-cari kesalahan/kejanggalannya. Para stand up comedian pasti paling jago menciptakan lawakan dari kategori terakhir ini.

Berbekal temuan itu, aku mendapat sedikit pencerahan tentang rencanaku menjawab Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog kali ini. Aku bukan komedian, jelas. Jadi, sebaiknya kulupakan kategori kedua untuk menghindarkan pembaca dari rasa mual dan mulas. Aku harus ingat niat mulia grup kesayanganku yang kunyatakan di atas tadi: tulisan ini diharapkan dapat menghibur pembaca, bukan malah menambah penderitaan.


Salah Pangkal Tertawa

Kesalahan seperti apa yang dianggap lucu? Sebenarnya aku juga penasaran pada hal ini. Apakah ada yang penelitian yang sudah diterbitkan dalam artikel jurnal, mungkin, khusus untuk membahas ini? Aku hanya bertanya, sih, sekadar bergaya, tidak berarti ingin langsung ikut mengupas tuntas sekarang juga. Namun, pertanyaannya serius. Kalau ada yang tahu, mohon tinggalkan komentar, ya.

Aku teringat pada adegan-adegan yang sering terjadi di antara anak-anak. Kenapa anak-anak? Karena merekalah makhluk terlucu dan termurah hati dalam menganggap apa pun yang di sekitarnya lucu. Benda jatuh saja bisa dianggap lucu, kan, oleh mereka? Waktu masih bayi, anakku pernah terkikik terbungkuk-bungkuk selama belasan menit hanya karena melihat lakban gulungan yang berbelok saat digelindingkan. Kurasa ia berpikir bahwa lakban itu seharusnya lurus saat menggelinding. Dengan kata lain, lakban yang  menggelinding berbelok merupakan kesalahan di matanya.

Kita semua pernah menjadi anak kecil. Apa yang terjadi seiring dengan bertambahnya umur kita? Kita makin jarang tertawa. Kita tidak lagi menganggap benda berbelok menggelinding sebagai hal yang lucu. Kita bahkan mengajarkan pada anak kita untuk tidak tertawa saat orang lain jatuh. Tidak sopan, kan?

Namun, aku ingat ajaran untuk tertawa saat diri sendiri jatuh. Entah kapan dan siapa yang mengajarkannya padaku, tetapi rasanya aku sudah mengetahui ajaran ini sejak kecil. Di usia dewasa, ajaran ini makin dalam. Aku lupa kata-kata tepatnya, tapi kurang lebih intinya: orang yang positif adalah orang yang dapat menertawakan dirinya sendiri. Nah, karena tidak ingin menjadi negatif (siapa juga ya, yang mau begitu), aku pun memutuskan untuk sering-sering menertawakan diri sendiri. Dengan begini, kuharap aku menjadi sehat tanpa melanggar norma kesopanan.


Mulai Belajar (Menertawakan Diri)

Teorinya sih gampang. Siapa bilang pelaksanaannya tidak sulit? Dari puluhan tahun usiaku, pengalaman terdini yang paling kuingat terkait hal ini adalah saat aku masih duduk di kelas lima SD.

Waktu itu, aku dan adikku masih selalu diantar-jemput oleh sopir Papa untuk bersekolah. Kami memakai mobil sejenis kijang (aku lupa tepatnya) dan duduk di bangku tengah. Berkebalikan dengan adikku yang rapi dan disiplin, aku sering terburu-buru naik ke mobil di pagi hari. Biasanya penampilanku masih berantakan: resleting tas belum dikunci, kemeja seragam belum dimasukkan ke rok, dan kaus kaki belum dipakai. Tentu saja kaki belum terbungkus rapi, hanya masuk sedikit ke dalam sepatu dan aku berjalan berjinjit.

Aku masuk ke mobil dalam situasi yang agak heboh seperti itu. Setelah masuk mobil, barulah aku sibuk merapikan pakaianku, memakai kaus kaki, sepatu, dan sebagainya. Tak kuperhatikan hal lainnya, termasuk menutup pintu mobil. Biasanya sopir kami yang melakukannya begitu aku duduk di dalam mobil.

Ibuku kesal sekali pada tabiatku saat itu. Ia menganggapku manja dan sering memarahiku karenanya. Berkali-kali beliau menegur agar aku menutup pintu mobil sendiri. Tentu saja aku lebih banyak lupa ketimbang ingatnya. Pada saat-saat seperti itu, sopir kami yang baik pun tetap sering membantu menutup pintu.

Itu pulalah yang terjadi pada hari istimewa itu. Mobil sudah mulai meluncur saat aku teringat belum melakukan ritual menutup pintu mobil. Otomatis aku menoleh ke samping kiri dan segera merasa lega melihat pintu telah tertutup. Oh, terima kasih, om sopirku yang selalu tak tega aku dimarahi Mama. Itulah kata-kata yang kuucapkan tulus dalam hati selagi mobil berjalan melewati beberapa rumah tetangga, sebelum menikung di belokan pertama. Sepersekian detik kemudian, aku yang masih sibuk menalikan sepatu tiba-tiba lenyap dari pandangan adik yang duduk di sebelah kananku, diikuti jeritan histerisnya.

Ke mana aku pergi menghilang? Syukur berkali-kali kupanjatkan hingga kini, aku belum pergi ke akhirat waktu itu. Aku hanya terbang. Tepatnya terbang melayang ke jalanan, melewati pintu mobil yang rupanya tadi belum tertutup sempurna.

Aku Terbang (TIDAK) Seperti Ini, Tentu Saja (sumber: Froken Fokus - pexels.com)

Seperti aku yang mengira ia sudah menutupnya, sopir kami pun mengira aku sudah menutup pintu mobil itu. Sama sekali bukan salahnya, tentu. Akulah yang seharusnya bertanggung jawab pada urusanku sendiri dan tidak bersikap manja atau mengandalkan orang lain, seperti yang sudah berkali-kali dikatakan Mama.

Dahulu, tidak ada yang menertawakan kejadian ini. Semua orang menganggapnya musibah dan berempati pada sakit yang kurasakan di—maaf—bokong selama berminggu-minggu. Setelah sembuh, aku terlalu malu untuk mengingat-ingatnya. Bertahun-tahun kemudian, setelah betul-betul menghayati “pelajaran kapok” (bertekad menjadi anak yang lebih mandiri) itu, barulah aku belajar hal baru: menertawakannya.


Pelajaran Terus Berlanjut di Tingkat Sekolah Menengah

Seiring bertambahnya usia, pelajaranku dalam hal menertawakan diri terus bertambah. Tak seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang hanya kupelajari sekali seminggu di sekolah, pelajaran yang satu ini kupelajari hampir tiap hari. Kalau betul ada penelitian yang membuktikan bahwa menertawakan diri ini berpengaruh pada perkembangan moral sesorang, kurasa ada baiknya kalau ini kuusulkan kepada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan mata pelajaran. Siapa tahu aku dapat turut menyusun kurikulumnya.

Sebetulnya sih bukan niat awalku juga untuk belajar menertawakan diri sesering mungkin. Ini lebih karena terpaksa. Walau aku sudah bertekad menjadi anak yang lebih mandiri sejak insiden terbang keluar mobil saat kelas lima SD itu, entah mengapa masih banyak insiden-insiden kecil berikutnya. Dengan kata lain, kecerobohanku seakan tidak berkurang.

Saking banyaknya insiden-insiden itu, aku bingung menceritakannya dan mungkin sudah terasa biasa saja. Namun, umumnya semua melibatkan anggota tubuh yang lupa kufungsikan secara tepat. Kaki, contohnya. Entah bagaimana, kakiku sangat sering “terpelekok” (saat berjalan bagian telapak kaki terputar hingga terbalik sehingga punggung kaki di bawah, telapak kaki menghadap atas). Aku tidak tahu apakah ini bentuk kecacatan atau bukan, tetapi kurasa lebih baik menertawakannya saat sedang “kambuh”. Beberapa kali ini terjadi saat aku di lingkungan sekolah. Tak jarang aku lenyap dari pandangan teman-teman yang awalnya sedang saling menatap dan berbicara serius denganku. Tidak benar-benar lenyap, tentu. Mereka dapat segera menemukanku terkapar di ubin, tanah, aspal, atau yang tersial: selokan. Agar mereka tidak salah tingkah, kesigapanku untuk segera menertawakan diri sendiri menjadi penting.

Contoh lain berhubungan dengan … hm, aku tidak yakin sesungguhnya, apakah ini masalah mata atau memori otak. Kemudian, masalah bertambah akibat sifatku yang kurang sabar dan kurang santun saat sedang terburu-buru. Aku pasti berdosa karena menzalimi beberapa teman di sekitarku waktu SMA. Bukan sekali atau dua kali aku berkata dengan nada gusar pada mereka yang kukira belum mengembalikan pinjaman barang-barang penting seperti kalkulator dan pensil mekanik. Kira-kira begini kejadiannya.

Scientific Calculator, Benda Wajib Anak SMA IPA (sumber: Karolina Grabowska - pexels.com)

Kejadian A

Aku yang gusar: "Eh, mana tadi kalkulator gue?"

Temanku yang sabar: "Lah, itu yang lo pegang di tangan apa namanya?"

Kejadian B

Aku yang kurang berbudi baik: "Eh lo belom balikin pensil mekanik gue, ya?"

Temanku yang disayang malaikat: "Emang itu sekarang lo lagi nulis pake apa, Dy?"

Teman sekelas—apalagi yang sebangku atau duduk di bangku-bangku terdekat—adalah aset penting untuk bertahan hidup di dunia persekolahan. Oleh karena itu, dalam kasus-kasus di atas, aku tak membuang-buang waktu untuk mengajak teman-teman korban kezalimanku itu segera menertawakan kekonyolanku. Bukankah dicap konyol jauh lebih baik daripada dianggap lalim?


Belajar di Angkutan Umum

Tidak hanya dari sekolah, aku juga mendapat banyak pelajaran menertawakan diri dari atas jalan raya. Yang kumaksud tepatnya adalah mobil angkutan umum. Sejak lulus SD, inilah jenis kendaraan yang paling sering kugunakan.

Hingga akhir kelas satu SMA, aku tinggal di kota Medan. Angkutan umum di sana dikenal dengan “sudako”. Selain nama yang berbeda, cara meminta sopir menghentikan mobil saat kita sedang menumpanginya pun tidak sama. Kalau tidak ada bel atau kaca penghalang antara ruang sopir dan penumpang, kita dapat berseru pada sang sopir, “Pinggir, Bang!”

Aku tak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa bukan kata-kata itu yang digunakan di jalanan Jakarta. Sehari sebelum masuk sekolah, orang tuaku yang yakin akan kemandirianku hanya mengajakku mengamati rute angkot rumah-sekolah dengan cara menunjukkannya dari dalam mobil pribadi. Jarak antara rumah dan sekolahku tidak terlalu dekat. Aku harus menaiki tiga jenis mobil angkutan umum untuk satu kali perjalanan, baik saat berangkat maupun pulang sekolah. Keesokan harinya, aku langsung memimpin adikku—yang sekolahnya dekat sekali dengan sekolahku—untuk praktik nyata dengan (pura-pura) gagah berani.

Aku baru menyadari kepura-puraan itu ketika harus pulang sendiri dari sekolah (aku lupa bagaimana adikku—yang belum lebih mandiri dariku waktu itu—pulang). Ternyata sebetulnya aku gugup, takut salah. Syukurlah aku termasuk anak yang taat pada orang tua. Dalam hal ini, bentuk ketaatan itu dapat terlihat dari tindakanku mengucap “Bismillah” persis saat menaiki si angkot dan “Alhamdulillah” saat angkot yang kunaiki sampai di tujuannya.

Saat benar-benar menghayati kedua arti ucapan itu, aku merasakan dampak yang cukup signifikan. Kegugupanku hilang. Aku turun dari angkot pertama dan kedua dengan lancar dan selamat. Terima kasih, Mama!

Kunaiki angkot ketiga dengan penuh rasa percaya diri. Entah kepercayaan diri itu terlalu membuncah atau bagaimana, ucapan yang seharusnya kubisikkan saat kakiku melangkah naik ke angkot rupanya keluar terlalu keras dari mulutku. Selain itu, bukan hanya volumenya yang bermasalah, melainkan juga kata-katanya. Alih-alih berbisik “Bismillah”, aku malah berseru dengan gelora semangat bertanding di Olimpiade atau sebangsanya, “ASSALAMUALAIKUM!”

Ibarat Semangat Atlet yang Berlaga di Olimpiade (Pixabay - pexels.com)

Ya Allah. Andai ada lubang di dasar angkot, ingin rasanya aku menerjunkan diri ke dalamnya. Karena tidak ada fitur semacam itu, terpaksa kutelanlah rasa maluku sembari memamerkan cengiran selebar-lebarnya pada semua penumpang. Tidak hanya tersenyum lebar, aku juga mengangguk pada setiap orang, dalam upaya membuat mereka menduga bahwa aku memang sejenis siswa teladan yang luar biasa ramah pada setiap orang.

Melihat para penumpang tersenyum-senyum memandangiku bahkan setelah aku duduk, aku menjadi gelisah. Apakah “tipuanku” tadi tidak berhasil? Apakah sebenarnya mereka tahu betul bahwa aku tadi salah berucap? Karena sibuk memikirkan semua itu, kegugupanku muncul kembali. Aku segera mengingat-ingat pesan Mama lagi. Setelah mengutuki diri karena salah mengucap “Bismillah” dan “Alhamdulillah”, terus kurapalkan kedua kata itu berulang-ulang dalam pikiran, seperti saat sedang menghafal tabel periodik unsur dalam pelajaran Kimia.

Kekhusyukanku “menghafal” baru terpecah saat aku melihat gerbang belakang kompleks rumahku terlewati. Astaga, bisa-bisanya aku malah lupa memperhatikan jalan dan bersiap-siap turun. Dengan panik, kuketukkan uang logam di tanganku ke kaca jendela belakang angkot (aku duduk di pojok belakang dengan harapan dapat menghindar dari perhatian khalayak). Kepanikanku bertambah saat ketukan uang logamku itu terabaikan dan mobil masih terus meluncur. Dengan mengumpulkan segenap keberanian, aku pun memutuskan untuk berteriak sekuat tenaga, “ALHAMDULILLAH, PAK!”

Belajar dari kesalahan tentang “Assalamualaikum” tadi, kali ini aku tidak lagi berakting menjadi pelajar panutan. Syukurlah, kali ini aku insaf dan ingat apa yang biasanya kulakukan untuk kebaikan semua pihak: menertawakan diri sendiri. Setelah meralat ucapanku dengan “EH … MAKSUD SAYA, KIRI, YA, PAK!”, kuabaikan rasa malu yang seakan membakar wajahku dan langsung kukeluarkan suara tawaku, mempersilakan para penumpang lain untuk turut menertawaiku juga.


Pelajaran Bahasa dari Angkutan Umum

Setelah sempat bersekolah selama dua tahun di Jakarta, aku merantau ke Bandung untuk berkuliah. Kendaraan favoritku masih sama, yaitu mobil angkutan umum. Syukurlah, sesuai umur yang sudah pantas memegang KTP, aku merasa bahwa kepercayaan diriku sudah makin besar dalam menjalani hidup (tsaaah). 

Jangankan menaiki dan menghentikan angkot, menjelajahi daerah-daerah asing dan mencoba-coba rute angkutan baru pun tak lagi membuatku gugup. Saking percaya dirinya, aku pernah jauh tersesat akibat menganggap bahwa rute pergi dan pulang suatu mobil angkutan umum sama saja, seperti yang kutahu baik di Jakarta maupun Medan. Pelajaran tentang banyaknya jalan yang diberlakukan satu arah di Bandung akhirnya kupahami setelah aku tersasar beberapa belas kilo meter dari rumahku karena mengira mobil yang kunaiki itu pasti akan melewati titik yang sama.

Aku juga kembali memperhatikan perbedaan cara meminta sopir berhenti saat kita ada di dalamnya. Rupanya ucapannya hampir mirip dengan di Jakarta. Kata yang diserukan adalah "kiri" bukan "pinggir". 

Namun, ucapan "Kiri, ya!" jarang kutemukan. Yang sering kudengar adalah "Kiri, kiri!" alias bentuk repetisi kata. Ucapan lain yang juga sering kudengar adalah "Kiri, payun!" Saat mendengar ini, aku langsung merasa mendapat pencerahan mengenai alasan kenapa jarang terdengar "Kiri, Pak!" Rupanya penduduk kota kembang ini sudah punya panggilan sendiri.

Bukan hanya "Kiri, kiri!" atau "Kiri, payun!", atau "Payun, kiri!" yang kupelajari dari pengalaman naik angkutan umum di Bandung. Kuperhatikan pula bahwa orang-orang Sunda ini begitu santun dalam berkomunikasi. Selain nada bicara yang lembut, mereka juga hampir selalu menyertakan kata-kata untuk meminta maaf dan berterima kasih. Saat berusaha melewati penumpang lain atau duduk di antara beberapa penumpang, misalnya, sering kudengar kata "punten". Tak jarang pula kudengar "nuhun" atau "hatur nuhun" yang diucapkan pada sopir setelah si penumpang selesai membayar.

 Angkutan Umum di Kota Bandung (sumber: Ilman Muhammad - pexels.com)

Masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang kerbau menguak. Ingatkah teman-teman pada peribahasa ini? Sebagai perwujudan niatku untuk menjadi bagian dari bangsa yang berbudaya, aku pun bertekad mengikuti kebiasaan penduduk setempat. Kuusahakan untuk melepas pengaruh bahasa Medan maupun Jakarta dan mulai meniru cara bicara orang-orang Bandung.

Merasa sudah fasih meniru ucapan-ucapan yang kudengar di atas, suatu kali terpikir olehku untuk berimprovisasi. Saat memberikan ongkos kepada sopir, dengan riang dan semangat kukatakan padanya, "Nuhun, Payun!" 

Alangkah herannya aku ketika tak melihat ekspresi senang di wajah sang sopir. Ia malah merengutkan dahinya. "Bade kamana, Neng?" tanyanya.

Aku sudah cukup pintar untuk memahami bahwa maksud kalimat itu adalah menanyakan aku mau pergi ke mana, tetapi masih cukup bodoh untuk menjawabnya dalam bahasa Sunda juga. "Eeh, ke ... ya ke sini, Pak," jawabku sambil menunjuk gerbang kampusku.

"Oh, udah bener?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk-angguk bingung dan meskipun raut wajah si bapak sopir juga menampakkan kebingungan, akhirnya ia kembali menjalankan mobilnya.

Setibanya di kelas tempatku berkuliah, kuceritakan pengalamanku tadi kepada seorang teman yang memang asli Sunda. Namun, baru saja ceritaku sampai di bagian "Nuhun, Payun!", ia sudah menginterupsi.

"Kenapa kamu bilang gitu?"

"Ya mau bilang makasih. Bener kan, bilang 'nuhun'?"

"Kok ada 'payun'nya?"

"Ya mau nyebut panggilannya ... kayak 'Makasih, Pak', 'Makasih, Bu', gitu ... kan lebih sopan daripada 'makasih' doang?"

Apakah engkau orang Sunda atau mengerti bahasa Sunda? Kalau ya, pastilah kau paham mengapa saat itu temanku tak sanggup langsung memberiku penjelasan. Ia sibuk tertawa terpingkal-pingkal hingga hampir seperempat jam kemudian sebelum memberi tahuku bahwa "payun" itu bukan kata sapaan yang berarti "Pak", melainkan kata yang artinya "depan".

Terima kasih, Bandung. Di sini aku tak hanya meneruskan pelajaran tentang menertawakan diri sendiri, tetapi juga mendapatkan pelajaran bahasa dan pengembangan karakter: jangan sok tahu! 

Penutup

Katanya tertawa itu menyehatkan. Aku sepakat dengan hal ini dan ingin menambahkan pesan: sepertinya lebih menyehatkan lagi kalau yang kita tertawakan adalah kebodohan diri sendiri. Kurasa ini jelas jauh lebih baik daripada mengutuki atau menyesalinya berkepanjangan. Sebodoh-bodohnya pengalaman, ia tetap guru terbaik dalam hidup.

Dari kebiasaan mengenang dan membagi-bagikan cerita berbagai kebodohan ini, aku bahkan pernah sampai menerbitkan sebuah novelet, lo. Sungguh, kala itu aku hanya ingin melepas stres setelah operasi gigi bungsu. Ternyata setelah teman-teman dan keluargaku menyukainya, beberapa penerbit juga tertarik menerbitkannya. Yang lebih tak kusangka lagi, buku itu diberi label "humor", padahal awalnya aku hanya ingin curhat, bukan melucu. MasyaAllah Tabarakallah. Hidup memang penuh kejutan.

Label Humor yang Tak Kuharapkan di Buku Karyaku

Sampul Depan Bukuku, "Giginosaurus" terbitan DAR! Mizan tahun 2008

Akhir kata, izinkan aku mohon maaf, ya, teman-teman. Maaf jika berbeda dengan niat awal, ternyata tulisan ini tidak terlalu menghibur para pembaca yang budiman. Misalnya karena terlalu berempati dan bukannya ikut tertawa, malah sedih membaca ceritaku. Mohon maaf lahir batin dan tetap sehat ya, Kakak-kakak!


Eh Alhamdulillah, Maak ... Masup Sepuluh Besar Ternyata!