Rabu, 25 Desember 2013

Natal dan Keyakinan yang Berbeda

Saya memahami pandangan sebagian saudara sesama Muslim yang meyakini bahwa ucapan selamat natal itu terlarang. Saya memiliki keyakinan yang berbeda dan tidak akan memaksakannya kepada orang lain, seperti halnya saya juga berharap tidak ada yang memaksa saya mengikuti keyakinannya.

Di saat yang sama, saya berbeda keyakinan dengan sahabat-sahabat umat Kristiani terkait tanggal 25 Desember sebagai hari raya. Namun, saya paham bahwa ini adalah hari yang istimewa bagi mereka. Sebagaimana saya berharap mendapatkan ketenangan dalam merayakan hari raya yang saya yakini, saya pun mendoakan, dengan ucapan selamat, semoga seluruh umat Kristiani, terutama saudara sebangsa dan setanah air, dapat beribadah dan merayakan hari ini dengan aman, damai, dan tentram.

Akhirnya, saya sungguh-sungguh berharap bahwa perbedaan pendapat, pemahaman, dan keyakinan tidak membuat suatu pihak merasa perlu untuk menyudutkan pihak lainnya. Semoga tali kerukunan dan kasih sayang di bumi ini senantiasa terpelihara. Aamiin.

Salam,
- H e i D Y -

Sabtu, 17 Agustus 2013

Interpretasi Makna Lambang Negara




Setelah mengenal dekonstruksi-nya Derrida (telah saya sampaikan pada tulisan sebelumnya: Perkembangan Aliran Strukturalisme ke Pascastrukturalisme), saya baru mengerti bahwa interpretasi atas suatu hal dapat terbuka seluas-luasnya. Adalah hal yang sangat penting untuk memahami ini sebelum terjun ke ilmu-ilmu budaya, apalagi bagi saya yang berlatarbelakang pendidikan S1 di bidang ilmu alam. Apa hubungannya? Yah, karena sebelumnya lebih banyak bergumul dengan ilmu pasti, cara pandang saya atas segala hal sangat terbatas. Saya hanya tahu benar-salah, hitam-putih, dan meremehkan kesubjektifan. Ternyata, dalam mempelajari suatu ilmu budaya, kesubjektifan tersebut perlu diakui, ada 'warna abu-abu', dan 'benar sekaligus salah' atau' tidak benar tetapi tidak salah' sangat mungkin terjadi. Pusing? Pasti. Apalagi bagi orang seperti saya yang dulu sangat memuja ilmu pasti. Sekarang saya tahu mengapa para budayawan itu luar biasa (Al Fatihah untuk alm Gus Dur)! 

Dalam tulisan sebelum ini, saya sempat menyinggung tentang bagaimana saya memperoleh beberapa ilmu baru dan menarik dari perkuliahan yang saya ikuti. Salah satu ilmu yang saya maksud adalah semiotik, sebuah ilmu tentang tanda. Melalui semiotik, saya belajar bagaimana tanda-tanda di sekitar kita diinterpretasikan (contoh: bendera kuning, bubur merah-putih, rangkaian prosesi adat pernikahan, dan lain-sebagainya). Setelah melihat bagaimana beraneka macam tanda diinterpretasikan, saya pun mencoba memberikan sebuah interpretasi terhadap salah satunya: makna lambang Garuda Pancasila. Seperti yang telah saya paparkan di atas, tentu saja terpretasi ini bersifat subjektif dan dapat sangat berbeda dari interpretasi pembaca lainnya. Namun, saya berharap interpretasi ini turut menyumbang kekayaan makna di balik lambang negara kita. 

Tulisan ini saya poskan dalam rangka memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan RI yang ke-68. Dirgahayu negeriku, semoga seiring dengan berjalannya waktu, kita terus melangkah ke arah yang lebih baik! Aamiin..

- H e i D Y -

            Lambang negara Republik Indonesia sebenarnya memiliki kemiripan dengan beberapa negara lain di dunia seperti Jerman dan Amerika Serikat yang menggunakan gambar burung sebagai lambang negara. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengetahui bahwa ciri utama dari burung adalah kemampuannya untuk terbang. Lebih dalam lagi, kita pun dapat menarik makna konotasinya: kebebasan. Karena itu, menurut saya, penggunaan sosok burung sebagai lambang suatu negara menandakan bahwa negara tersebut mencita-citakan kebebasan.
            Secara khusus, burung yang dipilih sebagai lambang negara RI adalah burung garuda. Sebenarnya jenis burung ini tidak ada dalam kehidupan nyata. Burung garuda adalah sosok fiktif yang diambil dari cerita mitologi Hindu. Dalam cerita tersebut, garuda yang merupakan kendaraan dari Batara Wisnu sebenarnya juga berstatus sebagai dewa. Dewa berarti sosok ideal yang lebih tinggi derajatnya dari manusia, padahal manusia sendiri sudah merupakan makhluk hidup dengan derajat tertinggi. Dengan demikian, pesan yang saya pahami dari penggunaan burung garuda sebagai lambang negara kita adalah harapan negara untuk mencapai kondisi yang seideal mungkin. Secara khusus, hal itu dapat berarti kekuatan dan kekuasaan. Selain itu, warna emas pada garuda juga melambangkan keagungan dan kejayaan.
            Burung garuda untuk lambang RI digambarkan menengok lurus ke kanan. Hal ini dapat dikaitkan dengan pengetahuan umum dari kehidupan sehari-hari, yaitu arah kanan yang identik dengan baik dan bercitra positif. Karena itu, burung garuda menengok lurus ke kanan saya pahami sebagai tekad untuk kebaikan dan kemuliaan.
            Sementara itu, jumlah bulu pada burung garuda sebagai lambang RI sesuai dengan tanggal proklamasi kemerdekaan RI sendiri, yaitu 17 Agustus 1945. Tanggal 17 ditunjukkan oleh bulu pada masing-masing sayap burung garuda yang berjumlah tujuh belas helai, bulan Agustus yang merupakan bulan ke-8 dalam kalender masehi ditunjukkan oleh bulu ekor yang berjumlah delapan helai, sedangkan tahun 1945 yang dapat disingkat penyebutannya menjadi ’45 ditunjukkan oleh bulu pada leher burung garuda yang berjumlah empat puluh lima helai. Disimbolkannya tanggal kemerdekaan RI dalam jumlah bulu ini masih terkait makna kebebasan itu yang dilambangkan dengan burung itu sendiri, yang telah dibahas sebelumnya di atas. Bagi negara yang mencita-citakan kebebasan, tentu saja tanggal kemerdekaan merupakan suatu momen yang penting karena merupakan tonggak kebebasannya.
            Dalam lambang garuda pancasila, burung garuda digambarkan memiliki perisai yang terpasang di dadanya. Perisai yang pada kenyataannya merupakan salah satu alat perang untuk bertahan ini dapat diartikan sebagai pertahanan bangsa. Saya mengartikan peletakan perisai pada dada ini sebagai tanda bahwa apa yang menjadi pertahanan tersebut dijadikan prinsip dasar yang dipegah tegung dalam hati (yang ada dalam dada).
            Untuk mengetahui apa yang sebenarnya menjadi alat pertahanan itu sendiri, kita dapat melihat warna dan gambar perisai. Warna merah dan putih pada perisai sesuai dengan warna bendera negara RI, yaitu merah yang melambangkan keberanian dan putih yang melambangkan kesucian. Sifat berani dan suci ini diharapkan menjadi sifat bangsa Indonesia dalam mempertahankan negara.
            Lebih lanjut lagi, hal yang dapat teramati dari perisai adalah lima simbol yang tergambar pada perisai itu sendiri. Simbol-simbol ini merupakan lambang dari isi Pancasila, yaitu konsep lima sila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia. Dengan digambarkannya Pancasila pada perisai, berarti nilai-nilai yang dirumuskan di dalamnyalah yang menjadi pegangan bangsa Indonesia untuk bertahan dan berlindung dalam  kehidupan bernegara, baik itu di dalam maupun di luar negara. 
            Simbol satu bintang emas dapat diartikan sesuai dengan bunyi silanya: Ketuhanan yang Maha Esa. Tuhan berarti tujuan atau pusat dan Tuhan hanya ada satu. Karena itu, agama yang diakui adalah agama yang meyakini hanya ada satu Tuhan (termasuk trinitas dalam Kristen dan trimurti dalam Hindu yang meski berwujud tiga, tetap berkonsep satu Tuhan). Adanya lima  agama yang diakui ketika negara ini baru merdeka dilambangkan dengan jumlah sudut pada bintang itu sendiri.
            Simbol rantai menunjukkan sifat kait, yaitu bagaimana tiap manusia saling berhubungan dan bergantung satu sama lain. Apa yang dilakukan seseorang akan berimbas ke yang lain. Pada simbol rantai ini, terlihat bahwa pembentuknya adalah gelang-gelang kecil yang berbentuk lingkaran sebagai lambang dari perempuan dan persegi sebagai lambang dari laki-laki. Ini menunjukkan bahwa hubungan antarmanusia yang harus dijaga tidak hanya menyoroti kehidupan lelaki, melainkan juga perempuan. Rantai menunjukkan susunan yang teratur, yang dalam kehidupan masyarakat berarti diartikan sebagai terrwujudnya masyarakat yang adil dan beradab. Rantai juga memiliki sifat dapat bergerak atau dinamis, namun demikian tetap utuh bersatu. Kedinamisan yang tetap menjaga kesatuan ini pulalah yang diharapkan terjadi dalam masyarakat Indonesia.
            Jika kita menjaga persatuan dan kesatuan, maka kita menjadi bangsa yang besar dan kokoh. Hal inilah yang dapat dimaknai dari simbol pohon beringin. Pohon beringin merupakan pohon yang besar dan sangat kuat karena memiliki akar tunggal yang panjang untuk menunjang pohon besar tersebut dan tumbuh sangat dalam ke tanah sehingga tidak akan roboh. Selain itu, terdapat pula banyak akar yang menggelantung dari ranting-ranting pohon yang dapat diartikan sebagai banyaknya akar budaya yang berbeda dalam kesatuan bangsa Indonesia. Semua akar yang menggelantung pada pohon beringin tumbuh ke bawah dan menuju tanah untuk ikut menyokong pohon. Hal ini menunjukkan bahwa semua unsur bangsa termasuk kalangan penguasa atau bangsawan sekali pun diharapkan ikut turun ke bawah untuk bersama-sama menunjang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
            Simbol lainnya yang tergambar dalam perisai adalah kepala banteng. Dalam kehidupan nyata, banteng atau lembu liar adalah hewan pekerja dan makhluk sosial seperti manusia. Dengan kata lain, kepala banteng ini dapat melambangkan kaum kecil seperti buruh atau kelompok pekerja. Hal ini kemudian mengarah pada makna lain, yaitu bagaimana cara paling bijaksana untuk menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan, masyarakat kita memiliki cara yang bijaksana yaitu gotong royong.  Suatu pekerjaan pekerjaan dimulai dengan musyawarah dulu. Pengambilan keputusan lewat musyarwarah dan penerapan cara bekerja gotong royong sebagai nilai sosial bangsa Indonesia inilah yang diharapkan tetap terpelihara sampai kapan pun.
            Gambar padi dan kapas  melambangkan kebutuhan pokok manusia, yaitu pangan dan sandang. Lebih dalam lagi, hal ini dapat diartikan sebagai kemakmuran suatu negara. Selain karena merupakan kebutuhan pokok, penggunaan padi dan kapas sebagai simbol kemakmuran juga karena Indonesia adalah negara agraris. Kemakmuran dalam hal ini juga ditujukan untuk semua kalangan. Dengan kata lain, ditegaskan bahwa tidak boleh ada kesenjangan sosial antara satu kalangan dengan kalangan lainnya. Inilah yang seharusnya menjadi prinsip yang dipegang teguh RI sebagai negara sosialis, dimana perekonomian diatur oleh negara dan diserahkan pada rakyat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat itu sendiri.
            Selain lima gambar pada perisai, kita juga dapat melihat garis tegas melintang berwarna hitam sehingga perisai tampak terbagi menjadi dua bagian. Ini melambangkan wilayah kedaulatan negara Republik Indonesia yang dilalui garis khatulistiwa. Keberadaan secara geografis ini penting dan sesuai dengan visi politik luar negeri RI yaitu bebas aktif (tidak berpihak pada blok barat maupun timur, dua blok yang berseberangan pada masa perang dunia kedua, saat lambang negara kita ini diciptakan). Keberadaan wilayah Indonesia di khatulistiwa yang merupakan garis tengah bumi dapat dimaknai sebagai harapan negara kita untuk menjadi penyeimbang kekuatan politik di dunia, yang kemudian salah satunya terwujud dalam pendirian gerakan non blok.
            Terakhir, kita dapat melihat digambarkannya cakar burung garuda yang mencengkram pita bertuliskan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Semboyan yang berarti “berbeda-beda berbeda tetapi satu jugaini sesuai dengan gambaran bangsa Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam suku dengan kebudayaan yang berbeda-beda, namun tetap mencita-citakan persatuan dan kesatuan. Seperti halnya cakar burung garuda mencengkeram pita semboyan tersebut, diharapkan bangsa Indonesia pun memegang kuat prinsip saling menghormati berbagai perbedaan yang ada dan tetap mengutamakan persatuan serta kesatuan bangsa.
            Pada akhirnya, saya berkesimpulan bahwa garuda pancasila sebagai lambang negara sebenarnya merupakan suatu mitos atau penyampai pesan berupa cita-cita atau harapan untuk kebaikan bangsa dan negara Republik Indonesia. Untuk mencapai cita-cita mulia tersebut, disampaikan pesan yang mengingatkan kita untuk selalu berpegang teguh pada nilai-nilai yang dijadikan dasar negara.

Berikut beberapa daftar pustaka yang saya gunakan:
Barthes, Roland. 2007. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa. Diterjemahkan oleh Ikramullah Mahyuddin. Yogyakarta: Jalasutra.
Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Zaimar, Okke K. S. 2008. Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Gambar diambil dari commons.wikimedia.org. Terima kasih!


Minggu, 11 Agustus 2013

Perkembangan Aliran Strukturalisme ke Pascastrukturalisme


Sebagai mahasiswa pascasarjana yang 'murtad' dari ilmu S1-nya, saya tidak punya banyak bekal pengetahuan ketika baru mulai berkuliah di program studi linguistik, termasuk pengetahuan tentang apa saja PERSISnya yang akan saya pelajari. Maka, saya pun kaget dan heran ketika ternyata di semester pertama saya mendapatkan mata kuliah Teori Kebudayaan serta Filsafat Ilmu Pengetahuan. Namun, berbeda dengan saat kuliah S1 dulu, bagi saya, ilmu ini menjadi kejutan yang menyenangkan!

Salah satu hal yang saya pelajari dari mata kuliah Teori Kebudayaan adalah aliran-aliran pengetahuan atau filsafat. Tidak seperti suami saya yang memang berwawasan luas karena tidak hanya mengandalkan sekolah formal sebagai sumber pengetahuannya, ini benar-benar hal baru bagi saya waktu itu. Baru, tetapi sangat menarik. Setelah saya mengikuti perkuliahan tersebut, saya bahkan merasa bahwa pengetahuan ini sebaiknya disampaikan di semester awal bagi mahasiswa S1, atau bahkan siswa setingkat SMA, sebelum mereka memilih menekuni suatu bidang ilmu tertentu.

Di sini saya akan menuliskan pemahaman saya (sebagai seorang pelajar pemula dalam ilmu budaya) mengenai perkembangan aliran strukturalisme ke pascastrukturalisme. Saya yakin rangkuman ini masih sangat jauh dari baik. Jika Anda menemukan kekurangan atau kesalahan, saya mohon kesediaannya untuk memberikan masukan. Terima kasih!

- H e i D Y -


Strukturalisme

Smith (2001) mengatakan bahwa dalam strukturalisme, ada sistem dan pola-pola yang mendasari fenomena bahasa, mitos, dan berbagai fakta sosial-budaya. Kode, mitos, narasi, dan simbolisme kemudian menjadi alat yang kaya dan sangat kuat untuk memahami kehidupan budaya. Objek atau fakta tersebutlah yang diamati, tetapi ada asumsi bahwa realitas ditentukan oleh struktur dan hasil pengamatan dijelaskan sesuai dengan sistem atau struktur yang diakui kebenarannya itu. 

Menurut para strukturalis, pembentukan pengertian dan teori bergantung pada lokasi sosial dan konstruksi historis pengamat serta menekankan kualitas matematis dari sistem budaya. Ferdinand de Saussure adalah salah satu tokoh strukturalis yang terkenal dengan strukturalisme linguistiknya, yaitu upaya mencari struktur dan konvensi dasar yang memungkinkan penggunaan bahasa. Sebagai strukturalis yang mengutamakan bahasa sebagai sistem atau struktur, Saussure memperkenalkan 4 konsep penting dalam teori linguistiknya yang dilihat sebagai oposisi biner: langue-parolesignifie-signifiant, sintagmatik-paradigmatik, dan sinkroni-diakroni. 

Oposisi biner adalah sebuah sistem yang terdiri dari dua kategori yang berelasi, yang membentuk keuniversalan dalam bentuknya yang paling murni. Dalam oposisi biner, segala sesuatu yang masuk dalam kategori A hanya dapat dipahami dalam relasinya dengan kategori B. Kategori A hanya eksis dalam relasinya dengan kategori B dan hanya dapat dipahami karena ia bukan atau berbeda dari kategori B (Lubis, 2011). Berdasarkan pemahaman ini, 'manusia', misalnya, hanya eksis karena ada kategori yang 'bukan manusia'. 

Saussure membedakan antara langue, seperangkat aturan atau sistem bahasa, dengan parole, yang menjadi wujud bahasa dalam tuturan/ujaran dan tulisan. Strukturalisme hanya memiliki perhatian terhadap langue dan tidak menjadikan parole yang merupakan pemakaian bahasa individual sebagai kajiannya. Ini menunjukkan bahwa aliran strukturalisme hanya memperhatikan bahasa sebagai suatu hal yang obyektif dan universal dan tidak memperhatikan keunikan bahasa itu sendiri.

Saussure juga membedakan bahasa atas signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Ia menekankan peran petanda serta hubungan makna yang pasti antara bahasa dengan apa yang diacu. Kata pohon, misalnya, merupakan penanda yang mengacu pada petanda makhluk hidup yang berakar, berbatang, berdaun, dan seterusnya.

Istilah sintagmatik dan paradigmatik digunakan Saussure untuk menjelaskan sifat relasi antarkomponen dalam bahasa. Relasi sintagmatik adalah relasi antarkomponen dalam struktur. Contohnya adalah hubungan antara kata sayaminum, dan susu dalam kalimat saya minum susu atau antara kata ayah, membeli, dan koran dalam kalimat ayah membeli koran. Sementara itu, relasi paradigmatik adalah relasi antara suatu komponen dalam struktur tertentu dengan entitas lain di luar struktur tersebut seperti hubungan kata ayah dengan saya, membeli dengan minum, dan koran dengan susu dalam contoh kalimat di atas.

Dalam linguistik struktural, Saussure menyatakan bahwa analisis bahasa harus bersifat sinkronis atau berarti hanya pada periode tertentu agar terjadi objektivitas makna bahasa. Dengan demikian, tidak ada kekaburan karena faktor situasi historis seperti yang terjadi pada analisis diakronis (dari waktu ke waktu). Analisis sinkronis penting karena dapat menentukan aturan/struktur langue suatu bahasa. Dengan hanya memperhatikan bahasa pada periode tertentu atau sinkronik, maka bahasa dapat dilihat sebagai sebuah sistem yang stabil dan makna dapat dilepaskan dari unsur nonlinguistik.

Pascastrukturalisme

Lahirnya aliran pascastrukturalisme tidak dapat lepas dari strukturalisme itu sendiri.  Menurut Smith (2001), aliran pascastrukturalisme paling tepat dipahami sebagai perbaikan dan perkembangan dari strukturalisme daripada sebagai pemikiran yang bertentangan. Pemikiran pascastrukturalisme kontemporer tidak akan ada tanpa adanya inovasi terdahulu dari strukturalisme. Hal ini dapat dilihat dari pemikiran para pascastrukturalis yang muncul setelah mereka menolak strukturalisme, padahal pada mulanya pemikiran mereka berada dalam payung strukturalisme.

Berbeda dari strukturalis yang berpendapat bahwa pembentukan pengertian dan teori bergantung pada lokasi sosial dan konstruksi historis pengamat, pascastrukturalis menyarankan agar pembentukan teori didasarkan pada usaha eksplorasi kondisi-kondisi sosial yang melahirkan pengetahuan berlatar sosial tertentu. Kemudian, jika strukturalisme menekankan kualitas matematis dari sistem budaya, pascastrukturalisme mengedepankan hasrat, kesenangan, dan permainan sebagai dimensi-dimensi budaya yang dapat diobservasi serta kualitas penulisan teoretis. Selain itu, pascastrukturalis berargumen bahwa budaya dan teks dapat diinterpretasikan dalam beragam cara dan berpendapat bahwa tidak ada kepastian pemahaman yang benar atau salah. Karena itulah, pascastrukturalisme mempertanyakan keilmiahan, kebenaran, dan epistemologi strukturalisme.

Jacques Derrida yang mengemukakan konsep dekonstruksi merupakan salah satu pemikir pascastrukturalis. Bagi Derrida, kebudayaan tidak harus dianalisis sebagai struktur, tetapi melalui metode dekonstruksi, yaitu metode pembacaan teks secara komprehensif untuk menginterpretasinya. Dengan menggunakan metode ini, diyakini tidak ada makna yang pasti pada teks. Hoed (2011) menyebutkan bahwa dekonstruksi sebenarnya merupakan bentuk ultra-strukturalisme karena berusaha mengubah atau mengembangkan strukturalisme dengan berada di dalam sekaligus di luar strukturalisme itu. Ini berarti dekonstruksi sebenarnya adalah suatu tindakan strukturalis sekaligus anti strukturalis.

Derrida mengakui konsep difference Saussure merupakan dasar eksistensi sebuah tanda, tetapi selanjutnya harus dipahami dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda sehingga kemudian dapat diperoleh maknanya. Pemaknaan statis melalui difference pada strukturalisme dikembangkan menjadi pemaknaan yang dinamis melalui apa yang disebutnya dengan “differance”. Hubungan antara penanda dan petanda, misalnya, menurut Derrida tidak dapat bersifat statis. Makna suatu tanda tidak hanya diperoleh berdasarkan pembedaan antartanda yang bersifat tetap, melainkan berubah-ubah sesuai kehendak pemakai tanda, ruang, dan waktu.

Kritik lain yang dilontarkan Derrida terhadap pemikiran Saussure adalah hubungan hirarkis langue-parole. Derrida tidak menyetujui konsep hubungan ini dan mengatakan bahwa pada gilirannya, parole dapat menguasai langue dengan menimbulkan perubahan pada langue. Ini sebenarnya merupakan bentuk dekonstruksi dari konsep hubungan hirarkis antara langue dan parole.

Pemikiran Derrida terkait kesejarahan versus konseptual adalah perlawanannya terhadap strukturalisme yang mengutamakan analisis sinkronis di atas analisis diakronis. Derrida mengatakan bahwa tulisan tidak terikat pada penulisnya dan akan bergerak mengikuti poros ruang dan waktu. Hal ini berkaitan dengan differance yang mendestabilisasi semua relasi biner dalam strukturalisme sehingga tidak ada yang bersifat tetap. Semua bergerak dalam ruang dan waktu dan karena ada gerak pada struktur, maka struktur bukan “ada”, melainkan “menjadi”. Jika pendekatan strukturalis adalah pada konsep (padahal suatu model atau pemikiran dapat berubah atau siap berkembang), maka pemikiran Derrida merupakan pendekatan penyejarahan. Ia mendekonstruksi pementingan pada konsep sehingga suatu konsep dikatakan tidak tinggal diam, melainkan bergerak, berkembang, dan berubah. Dengan demikian, historitas harus menjadi bagian analisis struktural. Karena aspek historis ini penting, makna pun menjadi tidak stabil (Hoed, 2011).

Menurut Derrida, seharusnya bahasa didekati sebagai suatu sistem yang independen dari penutur. Ia berpendapat bahwa makna itu terbuka, jamak, dan tanpa pengakhiran. Pemikiran tersebut  menantang ide penulis yang "memerintah", yang telah memproduksi suatu teks dengan batas-batas yang jelas. Dalam pengertian ini, karya-karya Derrida dipahami sebagai karya pascastrukturalis yang kuat. Smith (2001) mengatakan bahwa meskipun berspesialisasi pada metode interpretasi teks, karya-karya Derrida berpengaruh besar pada teori kebudayaan: secara luas mempertanyakan model-model penelitian objektivis dan dipahami sebagai penggambaran prinsip strukturalis dari semiosis infinit. Selain itu, Derrida juga menyarankan hibriditas dan ambiguitas sebagaimana juga klasifikasi sebagai fitur sentral suatu sistem kebudayaan.


Daftar Pustaka
Hoed, Benny H. (2011). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Lubis, Akhyar.( 2011). Teori dan Konsep-Konsep Penting Filsafat Ilmu dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial-Budaya Kontemporer. Depok: Departemen Filsafat FIB UI.
Maksum, Ali. (2011). Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Yogyakarta:  Ar-Ruzz Media.
Powell, Jason. (2006). Jacques Derrida: A Biography. London: Continuum.
Smith, Philip. (2001). Cultural Theory: An Introduction. Massachutsetts: Blackwell Publishing Inc.

Senin, 29 Juli 2013

Konsumsi Khusus untuk Puasa Ramadan, Perlukah?


Tidak terasa, kita sudah berhadapan dengan minggu terakhir Ramadan 1434 H. Rasanya seolah baru kemarin saya melihat di sana-sini banyak orang melakukan berbagai persiapan untuk  menyambut bulan suci ini dan sekarang keantusiasan itu sudah berganti: untuk menyambut lebaran. Bagi saya sendiri, tidak terlalu banyak persiapan yang perlu dilakukan baik menjelang Ramadan maupun sebelum Idul Fitri. Belanja khusus untuk menyetok bahan makanan yang jauh lebih banyak dari biasanya, misalnya, justru merupakan hal yang saya hindari.

Sebenarnya saya tidak begitu memahami kebiasaan banyak keluarga di negeri kita ini untuk memborong bahan makanan secara besar-besaran menjelang bulan puasa. Saya dapat memaklumi jika mereka adalah orang-orang yang kemampuan finansialnya sangat berlebih dan memanfaatkan momen Ramadan ini sebagai kesempatan untuk memberi makan sebanyak-banyaknya fakir miskin, anak yatim dan dhuafa, atau kalangan orang tidak mampu lainnya. Namun, lain halnya jika mereka kalap belanja hanya untuk kebutuhan keluarganya sendiri. Untuk apa? Bukankah dengan berpuasa berarti tidak ada acara makan siang sehingga setidaknya telah berkurang satu jatah makan? Bukankah dengan demikian –seharusnya– berkurang pula bahan makanan yang perlu dibeli?

Salah satu alasan yang pernah saya dengar adalah “Kan udah puasa seharian, boleh dong memanjakan diri dengan makanan yang banyak dan enak-enak waktu buka!” Padahal, pemikiran ini jelas bertentangan dengan salah satu esensi berpuasa itu sendiri: menahan nafsu dan merasakan keprihatinan saudara-saudara kita yang kurang mampu mencukupi kebutuhan dasarnya sehari-hari. Di mana letak prihatinnya jika kita berpuasa dengan cara ‘menimbun’ makanan saat sahur, ‘balas dendam’ saat berbuka, dan selalu menyantap makanan-makanan yang mahal?

Banyak pula yang beralasan seperti “Harus makan banyak dong waktu sahur, supaya puasanya kuat!” Yang ini rasanya agak mengada-ada. Saya yakin, sudah banyak di antara kita yang telah membuktikan bahwa kita tidak perlu makan dengan porsi lebih banyak dari biasanya saat sahur hanya agar kuat berpuasa seharian. Jika Anda belum memercayai hal ini, silakan coba sendiri. Makan dengan porsi yang berlebih sebenarnya justru akan menghasilkan efek di luar harapan karena sistem pencernaan dipaksa bekerja ekstra keras sehingga energi kita pun lebih banyak tersedot. Menurut saya, satu-satunya hal yang penting untuk dipastikan dalam setiap santapan sahur atau berbuka adalah muatan gizi yang seimbang (selain halal, tentunya)!

Kebutuhan akan gizi tinggi saat puasa juga sering dijadikan alasan sebagian orang untuk memborong daging menjelang Ramadan. Sepertinya sebagian besar masyarakat di negeri ini menganggap bahwa daging –terutama daging sapi- mutlak dibutuhkan untuk menjamin kecukupan gizi seseorang! Dengan kata lain, singkatnya, yang telah terpatri dalam benak sebagian orang Indonesia adalah makanan bergizi berarti daging.

Padahal, tidak sedikit keluarga yang telah membuktikan bahwa mereka tidak kekurangan gizi meskipun jarang sekali atau bahkan tidak pernah mengonsumsi daging sapi. Jika ingin mencari sumber protein, masih ada jenis daging lainnya, telur, atau berbagai jenis kacang-kacangan. Tempe yang merupakan pangan asli asal Indonesia malah sudah mendunia dan diandalkan oleh para vegetarian di banyak negara sebagai sumber protein mereka. Jadi, mengapa harus daging sapi?

Ternyata, masih ada alasan lain yang biasanya diakui orang secara malu-malu: gengsi! Dengan kondisi dompet yang pas-pasan, sebagian orang justru memaksa membeli daging sapi karena bahan pangan tersebut merupakan barang mahal dan salah satu simbol kemewahan. Karena itulah di negeri ini, berlaku anggapan umum bahwa yang membeli daging sapi adalah orang 'mampu'. Dengan demikian, membeli daging dapat diibaratkan seperti membeli semacam 'tiket masuk' ke strata sosial tertentu.

Karena kekalapan dan sikap konsumtif masyarakat itu, tidak heran jika harga daging sapi selalu naik di bulan puasa. Komoditi yang biasanya sudah tidak murah itu pun  semakin mahal lagi menjelang bulan Ramadan, seperti yang diberitakan dalam “Jelang puasa harga daging sapi naik” (teraspos.com, 5 Juli 2013)Hal serupa pun terjadi pada kebutuhan pangan pokok. Wajarlah jika rakyat kecil menjerit dan mendesak pemerintah untuk bertindak. Hal ini dapat terlihat salah satunya dari unjuk rasa atas harga sembako beberapa hari yang lalu (teraspos.com, 21 Juli 2013)

Jika peduli pada jutaan rakyatnya yang masih berada di bawah garis kemiskinan dan benar-benar tidak mampu membeli kebutuhan pangan pokok, langkah bijak apa yang diambil pemerintah? Meskipun saya bukan orang pintar yang ikut ‘mengurus’ negara, setidaknya saya tidak bodoh-bodoh amat hingga percaya bahwa semua masalah itu akan selesai dengan baik jika kita mengimpor lebih banyak lagi bahan pangan dari negara-negara lain. Benarkah impor dari sana-sini akan menyejahterakan rakyat kita? Benarkah impor menjadi satu-satunya solusi karena produksi dalam negeri sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan kita? Bagaimana dengan konsumsi yang berlebihan itu sendiri? Bukankah sebagian masalah sebenarnya terletak di sana?

Masih banyak orang yang memaksa diri harus mengonsumsi makanan mewah dan dalam porsi yang besar sebagai ‘bekal khusus’ untuk menjalani puasa meskipun kemampuan finansialnya terbatas. Padahal, jika mau, sesungguhnya bulan Ramadan justru dapat dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk berhemat. Kesempatan untuk berbagi dengan mereka yang benar-benar kurang mampu pun lebih besar. Uang yang diperlukan untuk membeli sekilo daging sapi, misalnya, jika disisihkan mungkin dapat memberi makan lima orang atau lebih anak yatim dan dhuafa. Seandainya masyarakat dari kalangan ekonomi menengah ke atas kompak dalam menjauhi sikap konsumtif dan memilih memanfaatkan kelebihan uang mereka untuk membantu kalangan yang kurang mampu, saya rasa bukan tidak mungkin jumlah orang miskin di negeri ini dapat terus berkurang dari tahun ke tahun. Jika saja pemerintah mau dan lebih cerdas mengambil kebijakan serius untuk menangani masalah sikap konsumtif masyarakat ini, mungkin mereka tidak perlu terlalu pusing dengan lonjakan harga kebutuhan pokok menjelang Ramadan setiap tahunnya.

Kembali ke perkataan awal saya. Meskipun tidak belanja pangan besar-besaran setiap menjelang Ramadan, tidak berarti persiapan menjelang Ramadan itu tidak diperlukan sama sekali. Tentu saja setidaknya ada satu persiapan penting yang dibutuhkan. Bukan belanja, melainkan persiapan NIAT. Dengan berniat ikhlas berpuasa karena Allah SWT, insya Allah kita dapat menunaikan ibadah ini dengan lancar. Selamat berpuasa!

-Heidy Kaeni-


Tulisan sederhana ini diikutsertakan dalam TerasPos Blogging Contest. Karena penilaian menggunakan sistem voting, jika berkenan mohon mampir dan ikut memilih (klik LIKE) di:
http://kontes.teraspos.com/participant/konsumsi-khusus-untuk-puasa-ramadan-perlukah/

Terima kasih banyak!


banner-kontes-blog-teraspos

Minggu, 14 Juli 2013

Antara Bakat, Usaha, dan Tanggung Jawab

            Pertama kali saya berpikir tentang persoalan bakat dan usaha ini adalah saat duduk di bangku kelas satu SMA. Waktu itu setelah memerhatikan seorang teman yang prestasinya amat baik, saya mendiskusikannya dengan teman saya yang lain (selanjutnya saya sebut X) dan menyatakan kekaguman saya.
            “Si A itu pinter banget, ya,” ungkap saya.
            Namun, ternyata X tidak setuju. Ia menggeleng sambil menanggapi, “Nggak, dia rajin.”
            Komentar yang sederhana itu dengan sukses mengantarkan saya pada kebingungan yang –awalnya tidak saya sadari– berlarut-larut. Bagaimana tidak, sebelum itu, saya pikir kata pintar selalu dilabelkan pada orang-orang (atau tepatnya anak-anak, karena dulu saya hanya memerhatikan yang sebaya dengan saya) yang berprestasi. Dan seperti yang telah ditanamkan oleh orang tua, anak-anak itu berprestasi baik di sekolah karena rajin belajar. Dengan kata lain, setahu saya anak yang pintar adalah anak yang rajin belajar. Bukankah katanya rajin pangkal pandai? Jadi, tidak pernah terpikir oleh saya untuk membedakan keduanya. Sampai ketika saya berdiskusi dengan X.
            Tanpa sengaja, diskusi saya dengan si X itu ternyata memengaruhi kepekaan saya dalam memerhatikan teman-teman belajar saya di tahun-tahun berikutnya, bahkan hingga di bangku kuliah (S1). Masih di bawah pengaruh pemahaman saya setelah berdiskusi dengan si X dulu itu, berikut adalah hasil temuan saya.
1.      Umumnya, teman-teman saya yang berprestasi baik secara akademis adalah mereka yang rajin belajar.
2.      Namun, di antara orang-orang yang berprestasi itu, sepertinya memang ada yang pintar ‘dari sononya’ tanpa repot-repot rajin belajar.
3.      Namun, yang lebih mengherankan, di antara mereka yang berprestasi baik karena ketekunannya dalam belajar, banyak yang berlomba-lomba untuk tidak mengakuinya. Jika ditanya bagaimana cara mereka belajar hingga dapat berprestasi sebaik itu, mereka akan bersikeras mengatakan bahwa mereka tidak belajar.
Nah. Hasil temuan di ataslah yang ternyata berperan serta dalam memperkuat keyakinan saya pada saat itu: pintar itu dapat dibanggakan, sedangkan rajin belajar tidak. Selanjutnya, dengan mudah keyakinan itu mengembangkan rasa tidak percaya diri saya. Dengan menggunakan pengertian si X, saya tahu bahwa saya tidak dapat dilabeli pintar dan itu dapat dibuktikan dengan mudah dari prestasi akademis saya memang selalu biasa-biasa saja.
            Tidak perlu disembunyikan, saya lulus dan menjadi sarjana dengan usaha yang sering saya istilahkan dengan ‘setengah hidup’ (atau setengah mati, sama saja kan). Beberapa kali saya harus mengulang mata kuliah hanya untuk kemudian lulus dengan nilai D (di tempat saya berkuliah dulu, “D” dinyatakan lulus dan untuk mendapatkannya tidak cukup hanya dengan selalu mengikuti kuliah dan mengerjakan tugas). Ini berbeda dengan beberapa teman yang dapat berprestasi tanpa repot-repot berusaha, atau dengan usaha yang minim, atau dengan usaha keras dan berhasil dengan gemilang. Saya jelas berusaha, membuahkan hasil yang cukup (tidak cemerlang), dan karena itu saya menjadi sarjana tanpa tahu apa yang dapat saya banggakan dari diri sendiri.

            Pencerahan saya peroleh begitu saya melakoni profesi yang sudah saya rencanakan sejak sebelum lulus kuliah. Atas dasar rasa senang saat melakukannya, saya memilih sebuah pekerjaan yang agak ‘melenceng’ dari jurusan studi saya: mengajar matematika. Ternyata bagi saya, mengajar matematika itu lebih mudah daripada mengajar bahasa. Saya dapat dengan lancar melayani segala pertanyaan yang diajukan dalam rangka mencari jalan untuk memecahkan sebuah soal matematika. Namun, saya tidak merasakan hal yang sama saat mengajar bahasa Inggris. Dalam kelas bahasa, ketika ditanya “Kenapa bukan itu yang betul? Gimana caranya, kok tahu kalau yang benar seperti itu?”, saya memerlukan lebih banyak waktu untuk diam, berpikir, dan kemudian bingung sendiri. Kenapa ya? Ya pokoknya saya tahu kalimat yang ini tepat, yang itu aneh. Itu kata-kata saya dalam hati. Tentu saja saya tidak mungkin benar-benar berkata seperti itu di depan kelas, tetapi penjelasan saya menjadi berbelit-belit. Pengalaman itu memberi saya satu pencerahan: saya dapat jauh lebih baik mengajarkan hal yang pernah terasa sulit bagi saya daripada hal yang sejak awal selalu terasa gampang.
            Pencerahan itu kemudian semakin ‘terang’ pula ketika saya memerhatikan sikap para murid terhadap saya dan guru lainnya. Dibandingkan dengan para guru senior yang bahkan turut serta menyusun soal ujian nasional, saya sadar bahwa saya kalah canggih dalam memecahkan soal-soal sulit. Saya tidak pernah menyembunyikan hal ini, tetapi anehnya, murid-murid saya sama sekali tidak keberatan. Awalnya saya tidak mengerti mengapa mereka lebih senang mendatangi saya untuk berkonsultasi. Seiring dengan berjalannya waktu, saya memperoleh jawabannya: yang mereka butuhkan bukan orang ‘pintar’, melainkan orang yang dapat memahami kesulitan mereka dan mendampingi mereka untuk menemukan jalan keluar. Itulah salah satu alasan mengapa akhirnya saya jatuh cinta pada profesi guru. Dengan mengajar, saya lebih menghargai diri saya sendiri. Saya mungkin sudah tahu dari dulu bahwa saya tidak pintar menurut pengertian teman saya si X itu, tetapi sekarang saya dapat berkata: syukurlah demikian! Karena saya tidak pintar ‘dari sononya’, karena saya tahu betul bagaimana rasanya ‘setengah mati’ belajar, saya jadi bisa mengajar dan berbagi dengan yang kini mengalaminya.

            Setelah belajar menghargai dan lebih bangga pada ‘usaha’ ketimbang ‘bakat’ diri, saya merenungi kedua hal itu lebih dalam lagi. Mengapa lebih banyak teman-teman saya yang tampak malu jika ketahuan ‘bekerja keras? Mengapa banyak orang yang lebih ingin dianggap ‘berbakat’ daripada ‘berusaha’? Yang mengherankan bagi saya, entah sejak kapan hal ini tampaknya sudah menjadi bagian dari budaya bangsa kita tercinta. Berdasarkan pengamatan sekilas (mohon koreksi jika saya salah), saya justru menemukan hal yang berbeda di Jepang. Bagi orang Jepang, bekerja keras adalah hal yang membanggakan. Sebaliknya, mendapatkan ‘keuntungan’ tanpa kerja keras adalah sesuatu yang memalukan.
            Wah. Kalau memang benar keyakinan itu sudah menjadi bagian dari kebudayaan masing-masing, dengan terpaksa saya memilih untuk ‘murtad’. Saya setuju pada keyakinan bangsa Jepang itu: usaha lebih patut dibanggakan daripada bakat. Apa itu bakat? Bukankah itu adalah sebuah anugerah yang diberikan Tuhan? Apa itu usaha? Bukankah itu adalah apa yang kita lakukan? Lalu manakah yang lebih wajar, berbangga atas apa yang diberikan pada kita atau berbangga atas apa yang kita lakukan sendiri?

Sebagai seorang muslim, saya meyakini bahwa sesungguhnya segala yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap manusia itu adalah titipan. Lalu, apapun yang pernah dititipkan pada kita harus dipertanggungjawabkan. Seseorang yang dianugerahi bakat berlebih kelak akan ditanyai, apa saja yang sudah ia lakukan dengan titipan tersebut. Apakah ia sudah memanfaatkannya sebaik mungkin? Apakah modal yang diberikan padanya telah digunakan 100% untuk menebar manfaat sebanyak-banyaknya? Ataukah yang ia manfaatkan tidak sampai setengahnya karena dengan itu pun ia sudah cukup puas dengan kehidupannya sendiri? Pertanyaan yang sama akan lebih mudah dijawab oleh orang dengan bakat yang ‘seadanya’ tetapi selalu bekerja keras sepanjang hidupnya. Hasil yang ia berikan mungkin saja masih kalah dari apa yang dicapai oleh orang-orang berbakat lebih, tetapi dengan bangga ia dapat melapor bahwa ia sudah memaksimalkan ‘bekal’nya mungkin hingga 200%!
Sebuah pencapaian bagi orang yang hanya mengandalkan kerja keras jelas tidak dapat disamakan dengan yang dititipi bakat berlebih. Jika pencapaian mereka sama, berarti sementara si pekerja keras telah mempertanggungjawabkan seluruh titipan-Nya, si orang berbakat mungkin belum memanfaatkan setengah dari potensinya. Tidak ada yang dapat dibanggakan dari sebuah bakat, kecuali dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Berbakat berarti mempunyai tanggung jawab yang tidak ringan. Tuhan memang Maha Adil.
Segala puji bagi Tuhan yang Memberi Petunjuk karena akhirnya saya terlepas dari keyakinan saya sejak SMA, bahwa memiliki bakat itu lebih membanggakan daripada berusaha dengan keras. Syukurlah saya diperkenalkan dengan profesi guru dan kemudian mendapatkan ‘kesadaran baru’ sebelum kembali melanjutkan sekolah. Saya tidak lagi peduli pada anggapan ‘pintar vs rajin’ dan kembali ke ajaran bijak para orang tua yang ternyata memang benar adanya: rajin pangkal pandai! Sekarang, di balik prestasi akademis yang sangat baik, saya tidak perlu merasa ragu atau aneh ketika mengakui bahwa saya memang bekerja keras (dan atas ijin Allah SWT). Rasa malu saya pun kini bergeser: bukan karena saya tidak mempunyai bakat tertentu, melainkan karena merasa belum mempertanggungjawabkan potensi saya semaksimal mungkin.
            Mari bekerja keras. Apapun bakat yang dititipkanNya, semoga kita dapat mempertanggungjawabkannya sebaik-baiknya.


Ditulis dengan penuh doa dan harapan untuk anak-anak sekolah, mahasiswa dan mahasiswi, serta kalangan pendidik di tanah air. Semoga bangsa ini berjalan menuju arah yang lebih baik.
-          H e i D Y -

Selasa, 02 Juli 2013

Pertolongan Pertama bagi Orang Sakit

Kemarin, saya menemani adik berobat jalan di sebuah rumah sakit swasta. Ada beberapa orang yang sempat berbicara dengan kami dalam rangka menunaikan tugas mereka masing-masing sebagai karyawan di rumah sakit tersebut, yaitu petugas pendaftaran, staf laboratorium, staf farmasi, suster poliklinik, dokter, satpam, kasir, dan petugas parkir. Di antara orang-orang tersebut, hanya dua orang yang sosoknya cukup membekas dalam ingatan kami karena keramahannya: sang dokter dan staf laboratorium.

Sebenarnya, dokter dan petugas lab yang melayani adik saya tidak melakukan hal yang  luar biasa. Sang petugas lab hanya tertawa dan mencandai adik saya yang sejak orok sampai usianya sudah berkepala dua sekarang masih saja takut diambil darahnya. Sang dokter hanya tersenyum, bertanya, mendengarkan, memberi saran, dan mempersilakan adik saya untuk berkonsultasi lebih lanjut via SMS jika masih ada keluhan. Jadi, kedua orang itu hanya melakukan tugasnya dengan baik, tidak benar-benar melakukan sesuatu yang sangat hebat. Namun, apa yang mereka lakukan menjadi istimewa karena ternyata tidak semua orang melakukan pekerjaannya setulus itu.

Tidak perlu jauh-jauh, perbandingannya sudah kentara sekali dengan petugas pendaftaran, staf farmasi, dan suster poliklinik. Tentu saja, mereka juga tidak sampai melakukan hal yang mengerikan. Ketidaknyamanan yang kami rasakan hanya berasal dari satu hal sederhana saja: mereka TIDAK TERSENYUM SAMA SEKALI. Sedikit pun tarikan sudut bibir ke atas tidak ada, apalagi sinar mata yang ramah. Apakah mereka tidak tahu bahwa terutama dengan profesi mereka di bidang kesehatan, itu merupakan hal yang penting sekali dan jika diabaikan dapat mengakibatkan masalah yang besar?

Ketika saya ingin mendaftarkan adik saya, wajah tanpa senyum dan nada yang ketus menyambut saya. Saat menyebutkan nama dokter yang menurut papan informasi dijadwalkan berpraktik sore itu, misalnya, petugas pendaftaran menjawab dengan setengah menghardik, "Dokter X tidak praktik hari ini!"
Saya tertegun, setengah kaget karena dibentak. "Oh, saya tadi lihat di papan itu..."
Sang petugas menjawab lagi, "Itu jadwalnya sudah berubah!"
Baiklah. Mari gunakan logika dulu. Kalau perubahan itu tidak dicantumkan dalam papan jadwal sehingga saya tidak tahu menahu soal tersebut, apakah itu salah saya?? Kenapa saya yang dimarahi??

Pengalaman dengan suster poliklinik pun setali tiga uang. Setelah memberikan bukti pendaftaran, kami sempat pergi salat Ashar dulu. Begitu kembali ke poliklinik, saya menanyakan apakah nama adik saya sudah dipanggil. Pertanyaan saya itu dijawab si suster dengan kegusaran tingkat tinggi, "Nggak pakai nomer! Nanti juga dipanggil!" Astaga, betapa ramahnya.

Untung bukan saya yang sakit, dan penyakit adik saya pun syukurnya bukan sesuatu yang parah. Saya bilang untung karena seandainya yang berhadapan dengan bentakan-bentakan petugas pendaftaran itu adalah seorang pasien dengan penyakit yang berat, sungguh saya tidak berani membayangkan efeknya pada mental dan kemudian fisik si pasien. Bukankah tekanan psikologis dapat berpengaruh besar terhadap kondisi tubuh?

Saya pernah menemukan salah satu buktinya pada ibu mertua saya yang menderita diabetes. Pada suatu hari, Ibu (panggilan saya ke beliau) bercerita bahwa ada penggantian dokter dan suster yang bertugas di puskesmas langganannya. Ibu senang sekali dengan perubahan tersebut. "Dokter dan susternya baik banget, pas awal ketemu langsung senyum terus nyapa. Ibu yang tadinya tegang dan takut karena dari kemarin-kemarin tensinya tinggi dan gula darahnya nggak bagus, rasanya langsung adeem..gitu disapa sama mereka. Jadi santai, bawaannya seneng. Eeh...ternyata pas diperiksa, hasilnya bagus!!" cerita Ibu pada saya.

Cerita Ibu itu berbeda sekali dengan cerita-cerita beliau yang sebelumnya. Seingat saya, itulah pertama kalinya Ibu dengan bahagia menceritakan hasil pemeriksaan kesehatannya. Dan yang menciptakan perbedaan itu bukan obat atau tindakan-tindakan yang serba canggih, melainkan 'hanya' sikap yang ramah.

Saya yakin, Ibu bukan satu-satunya yang mengalami hal seperti itu. Saya juga teringat salah seorang teman yang bercerita ketika ia hamil untuk pertama kalinya setelah tiga tahun berusaha. Saat itu ia baru menemukan seorang dokter yang baginya saat menyenangkan untuk berkonsultasi. Itulah pertama kalinya ia merasa keluhan-keluhannya benar-benar didengarkan oleh dokter. Lalu, sebelum sempat minum obat pemberian sang dokter, ia sudah hamil (meskipun tentu saja di luar hal tersebut, ini juga memang sudah merupakan ketetapan Yang Maha Kuasa).

Jadi, saya penasaran. Apakah semua orang yang  bekerja di bidang kesehatan benar-benar tahu (dan selalu ingat) bahwa hal pertama yang dibutuhkan untuk menyehatkan pasiennya adalah ketulusan hati? Pemerintah mungkin tidak perlu menghabiskan triliunan rupiah untuk mendanai kesehatan rakyatnya jika sebagian besar pasien dapat sehat kembali hanya karena mendapatkan perhatian yang tulus. Saya sungguh yakin bahwa senyum Andalah, wahai dokter, suster, apoteker, laboran, dst, yang menjadi pertolongan pertama bagi orang sakit.


- H e i D Y -






Jumat, 07 Juni 2013

saya di jejaring sosial

Halo!

Sudah berbulan-bulan saya tidak aktif di semua jejaring sosial. Saya tidak begitu memikirkannya ketika memulai masa 'hibernasi' itu, tetapi setelah beberapa waktu berlalu, memang ada satu niat khusus yang muncul dalam hati. 

Saya menyambut hari-hari ketika saya harus mulai berpikir tentang tesis dengan gembira. Tidak hanya karena saya memang jauh lebih menikmati masa sekolah kali ini dibandingkan saat S1 dulu, tetapi karena pada dasarnya saya memang paling bersemangat 'berlari' ketika 'garis finish' sudah mulai terlihat, meskipun masih jauh. Kesibukan akademis membuat saya semakin melupakan kehidupan di jejaring sosial yang bagi saya memang sudah berkurang daya tariknya. Namun, lain halnya dengan blogging. Mengisi blog berarti menulis, lalu mencermati dan memperbaiki tulisan tersebut berkali-kali hingga saya merasa tulisan itu aman dibaca oleh orang lain, bahkan orang yang belum saya kenal. Kadang-kadang saya merindukan blogging, tetapi keinginan untuk melaksanakannya biasanya segera hilang dalam beberapa detik kemudian karena saya langsung menyadari sebaiknya saya menggunakan waktu saya untuk membaca atau menulis, mencermati, serta memperbaiki tulisan saya untuk tugas-tugas yang selalu ada setiap minggu. 

Satu, dua, hingga enam bulan berlalu sejak saya pertama kali memasang beberapa kalender 2013 di rumah. Akhir semester ketiga saya hampir berakhir dan ketika menyadari tinggal 1 ujian lagi yang perlu saya selesaikan, hampir tiga perempat dari ketegangan saya selama satu semester sudah meluntur. Rindu sekali rasanya pada teman-teman lama yang kebetulan berjauhan dengan saya secara geografis sehingga satu-satunya jalan untuk menyambung tali silaturahmi adalah dengan memanfaatkan teknologi. Namun, ada perasaan aneh saat mempertimbangkan jejaring sosial sebagai salah satu di antaranya. Saya berusaha memikirkan kembali secara serius mengapa kini sulit sekali bagi saya untuk kembali menulis status di FB, misalnya, padahal itu cara tercepat untuk mulai menunjukkan 'tanda-tanda kehidupan' saya pada teman-teman di berbagai penjuru dunia.


Ada masa ketika saya hanya memperhatikan kata-kata yang disampaikan orang lain, mulai dari orang-orang terdekat hingga yang tidak terlalu saya kenal. Hasrat ingin memberikan tanggapan pun ada. Namun, beberapa kali, ketika baru ingin menggerakkan jari untuk ikut bicara, tiba-tiba saya merasa tidak tahu apa yang ingin saya sampaikan. Sedari kecil saya mudah sekali  mengomentari suatu hal, jadi tentu saja ini bukan semacam keterampilan baru yang belum saya kuasai. Namun, kali ini entah mengapa ada gelombang perasaan tidak nyaman yang memaksa saya untuk menahan diri. Maka, saya kembali lebih banyak memperhatikan perkataan orang. Membaca, berusaha memahami, menghayati, kalau perlu, lalu membayangkan jika itu adalah perkataan saya. Alangkah kagetnya saya, ketika menyadari bahwa ternyata saya tidak terlalu menyukainya.



Apa ya, maksud sebenarnya dari siapa pun yang melontarkan kata-kata  dalam status FB atau kicauan di twitter? Tentulah bermacam-macam. Saya mengingat-ingat apa pernah yang saya lakukan sendiri sebelumnya. Seingat saya, saya pun dulu memanfaatkan jejaring sosial untuk beragam maksud. Untuk ajang diskusi isu-isu yang saya anggap penting, misalnya. Namun pada kesempatan lain, bisa saja saya hanya ingin memuntahkan sampah pikiran dan perasaan. Tentu saja, hal-hal tersebut tidak pernah benar-benar saya renungkan secara serius sebelumnya. 

Mungkin maksud-maksud itu sendiri tidak ada salahnya. Kekhawatiran saya timbul ketika menyadari, dari hasil pengamatan saya, betapa banyak akibat negatif yang mungkin sudah melenceng dari maksud semula. Salah satu yang paling sering terjadi adalah salah paham. Tentu saja, tidak sulit mencari penyebabnya. Bahkan dalam komunikasi langsung  saat pembicara dan pendengar bertatap muka dan tak dibatasi waktu pun, salah paham dapat terjadi. Apalah yang bisa diharapkan dari komunikasi melalui ujaran-ujaran yang jumlah katanya sangat dibatasi? Dengan banyaknya peristiwa salah-paham-tidak-lucu-sama-sekali yang saya saksikan, semakin khawatirlah saya untuk turut meramaikan arena itu.

Sebagai manusia yang adalah makhluk sosial, tentu saja putus hubungan dengan orang yang telah dikenal sebelumnya termasuk dalam kategori 'hal terakhir yang ingin saya lakukan'. Karena itulah, menghapus akun di jejaring sosial belum pernah menjadi pilihan bagi saya. Hanya saja, saat ini saya masih benar-benar tidak tahu bagaimana caranya mengatakan apapun di sana tanpa memunculkan -meskipun hanya sejumput- rasa tidak nyaman bagi saya maupun orang lain. 

Oh. Apakah pemikiran dan/atau perasaan seperti ini normal? 
Yah, kalau pun disebut tidak, sepertinya saya juga tidak terlalu keberatan...

- H e i D Y -