Senin, 13 Desember 2021

Dua Mata Pedang Gawai

"Fyuh ... kuletakkan ponsel pintarku setelah memeganginya selama hampir dua jam demi menyelesaikan sebuah tugas."

Kalimat cerita di atas mungkin tidak aneh atau membingungkan bagimu saat ini. Benar, tidak? Berbeda dengan tahun 2002, saat pertama kali aku mengenal telepon seluler, kini handphone tidak hanya dapat dipakai untuk menelepon, mengirim pesan melalui short messaging service (SMS) (yang menuntut ongkos untuk tiap pesan yang terkirim), atau memainkan game sederhana seperti tetris atau snake. Kita dapat melakukan instant chatting tanpa sibuk mengurangi jumlah karakter dalam pesan yang dikirimkan demi menghemat biaya, berbicara dengan banyak orang dari berbagai tempat secara bersamaan, menulis berlembar-lembar artikel atau bahkan draf novel, hingga mendesain poster atau merancang slide presentasi.

Smartphone, tab, laptop, dan gawai-gawai lainnya telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari sebagian manusia yang hidup pada zaman ini. Tujuannya jelas: meringankan kerja kita. Tulisan, gambar, video, dan beragam karya lainnya dapat dihasilkan lebih cepat dan banyak. Interaksi dan komunikasi dengan siapa saja menjadi jauh lebih mudah, meskipun terpisah jarak hingga ribuan kilometer. Jelaslah produktivitas manusia pada masa kini tak lepas dari keberadaan aneka jenis gadget.

Namun, itu baru satu sisi cerita. Bagaikan pedang yang selalu bermata dua, gawai pun dapat memberikan dua dampak yang bertentangan. Ada banyak keuntungan yang dapat diraih, tetapi tak mustahil ada lebih banyak lagi kerugian yang diperoleh.

Beragam permainan daring, buku dan komik digital, artikel di website, film dan serial televisi, hingga cerita keseharian yang dibagikan teman-teman di media sosial sering kali bermanfaat bagi kita sebagai penghibur atau penghilang kejenuhan. Sayangnya, terkadang keasyikan yang terasa membuat kita terlena dan lupa akan waktu yang terbatas dan terus berjalan. Puluhan tahun lalu, istilah kecanduan hanya sering dikaitkan dengan narkoba yang tak mudah diakses oleh semua orang. Sekarang, apa pun yang dapat dinikmati melalui layar sangat berpotensi menjadi candu bagi siapa saja--dari segala kalangan umur dan golongan lainnya--yang mengenal televisi, komputer, dan handphone.

Pada akhirnya, aku percaya pada ajaran turun temurun dari orang tua: segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Sehebat-hebatnya gawai, tetap saja ada potensi buruk yang harus diwaspadai. Tidak hanya dapat membantu kita agar menjadi lebih produktif, gawai juga sangat mampu membuat kita menjadi tidak produktif sama sekali. Yang pernah kecanduan main game atau nonton film, mana suaranyaaa? XD

Selasa, 30 November 2021

Hidupku di Tahun 2021

Rasanya baru kemarin kita menutup tahun 2020 dan menyambut tahun 2021. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, mungkin rasa cemas, gelisah, pesimis, dan kurang bersemangat hinggap di hati banyak orang awal tahun ini. Mungkin semuanya bermuara pada satu pertanyaan besar: akankah pandemi ini berakhir?

Ada begitu banyak perubahan yang terjadi sejak wabah Covid-19 mulai menyebar di awal tahun 2020. Semua orang tak lagi bebas melakukan kontak fisik (bersalaman, berpelukan, dan sebagainya), bertemu dan berkumpul, atau sekadar memamerkan seluruh wajah tanpa ada yang tertutup masker. Bepergian, bahkan ke tempat umum terdekat, bahkan menjadi hal yang teramat sulit dan langka bagi sebagian besar dari masyarakat.

Destinasi Andalan Selama Pandemi: Taman dalam Kompleks Rumah

Jumlah penderita Covid-19 juga terus bertambah. Berita saudara, sahabat, dan kerabat yang tertular virus ini hingga jatuh sakit dan bahkan meninggal dunia berseliweran di sekitar kita. Maka, kurasa wajarlah jika kebanyakan dari kita sulit merasa optimis saat menyongsong tahun 2021. Mungkinkah kondisi membaik di tahun baru ini? Mungkinkah kita bangun dari mimpi buruk ini?

Aku selalu percaya bahwa membakar semangat di awal tahun itu sangat penting. Mungkin karena keyakinan dan kebiasaan yang terus kupelihara sejak dahulu ini, masih ada bagian dari diriku yang tak terlalu dikuasai oleh rasa pesimis itu. Masih kuupayakan dengan gigih menyapa awal tahun dengan berdiri tegak dan tersenyum. Dalam hati, terpatri sebuah tekad: apa pun yang terjadi, tahun ini pun harus lebih baik daripada tahun kemarin. Kemudian, kuikrarkan misi besarku tahun ini: aku ingin lebih banyak berkarya.

Dalam agamaku, niat dipandang sebagai unsur terpenting dalam tindakan apa pun. Dahsyatnya kekuatan niat akan dapat terlihat pada setiap akhir perbuatan. Tanpa niat yang kuat, mustahil sebuah usaha akan berhasil. Begitu pula sebaliknya: keberhasilan sebuah usaha pasti dilatari niat yang kuat. Kurasa tahun ini, aku kembali melihat bukti kebenaran teori tersebut dari pengalamanku sendiri: bagaimana niatku sejak awal tahun untuk banyak berkarya benar-benar menuntunku pada hasil yang nyata, yaitu aneka karya yang kutelurkan. Masyaa Allah Tabarakallah.

Tak terasa, bulan terakhir tahun 2021 telah tiba dan kita akan segera menyapa tahun 2022. Seperti tahun-tahun sebelumnya, aku pun berencana membuat resolusi-resolusi tahun baru. Namun, sebelumnya, izinkanlah aku mengenang kembali kehidupanku sepanjang tahun ini. Atas izin Allah Swt., kuperoleh berbagai rezeki, ujian, dan pencapaian di tahun ini. Di antaranya adalah sebagai berikut. 

Berkarya Lewat Tulisan


Mungkin bahkan teman-teman yang belum pernah bertatap muka denganku dapat dengan mudah menebak salah satu hobiku yang satu ini: menulis. Aku sudah gemar menulis sejak masih di bangku sekolah dasar. Tiga draf novel pertamaku kuselesaikan di bangku SMA dan novelet pertamaku diterbitkan di sebuah penerbit mayor sesaat setelah aku menyelesaikan S1. Menulis selalu mengambil bagian besar dalam kehidupanku hingga tak terbayang olehku bagaimana aku dapat hidup dengan baik-baik saja tanpa menulis. Meskipun demikian, pernah ada waktu-waktu aku tak mampu menulis untuk hal atau tujuan tertentu. Ada tahun-tahun aku meninggalkan dunia menulis fiksi. Di waktu lain, ada pula masa saat aku tak sanggup membuat tulisan apa pun yang dapat dibaca oleh orang lain.

Berbekal niat yang kutekadkan akhir tahun lalu, rupanya pada tahun ini aku berkesempatan untuk melakukan semuanya. Berkat tantangan rutin di grup Mamah Gajah Ngeblog (Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog) dan Mamah Gajah Bercerita (Tantangan MaGaTa), aku berhasil kembali menghidupkan "rumah-rumah"ku di dunia maya. Dapat terlihat jumlah tulisanku tahun ini yang telah mencapai 24 judul di blog pribadi ini dan 27 judul di blog keluarga. Sempat pula aku beberapa kali mendapat kesempatan untuk menulis di Mamah Gajah Ngeblog. 

Tak hanya untuk tulisan nonfiksi, aku juga kembali "bangun dari mati suri" di dunia fiksi. Kuikuti sayembara menulis cerita anak untuk Gerakan Literasi Nasional (GLN) 2021 dan cerita remaja dalam Gramedia Writing Project (GWP) 2021. Alhamdulillah, salah satu naskahku lolos dalam sayembara GLN untuk diterbitkan oleh Kemdikbud. Naskah novelku untuk GWP kali ini belum menang, tetapi aku merasakan pencapaian yang luar biasa bahkan sebelum pengumumannya keluar: aku berhasil menyelesaikan sebuah naskah novel yang telah tertunda bertahun-tahun! Dari pengalaman ini, aku kembali diingatkan tentang makna sesungguhnya kemenangan, yaitu ketika kita berhasil mengalahkan sang musuh terbesar: diri sendiri.

Jejak Pengalaman Pertama Lolos Sebagai Penulis GLN 2021


Belajar dan Mengajar

Di bangku sekolah dahulu, kurasa aku tidak termasuk ke dalam golongan siswa yang berprestasi. Meskipun selalu menembus sekolah-sekolah negeri unggulan, aku tidak pernah menyabet gelar juara kelas, apalagi juara umum sekolah atau gelar juara bergengsi lainnya. Aku mungkin tidak memiliki kendala yang begitu besar dalam belajar, tetapi aku juga bukan anak jenius yang dengan mudah menguasai berbagai pelajaran. Daripada bakat, keberhasilanku lulus dalam setiap ujian murni lebih didalangi oleh kerja keras. 

Mungkin karena pengalaman itulah, aku langsung jatuh cinta pada profesi guru begitu pertama kali mencobanya. Aku tahu betul rasanya bagaimana harus berusaha keras belajar untuk mengatasi ketidakmampuan. Aku merasa dapat memahami perasaan siapa pun yang sedang sungguh-sungguh berjuang mempelajari sesuatu. Menjadi guru atau fasilitator yang mendampingi para pembelajar pun kupandang sebagai suatu anugerah yang tak ternilai. Mungkin atas dasar alasan ini pulalah, aku sangat bersemangat ketika bersama suamiku akhirnya memutuskan untuk memilihkan jalur pendidikan homeschooling bagi anak-anak kami. 

Sekarang anak sulungku sudah hampir empat tahun menjalani homeschooling setelah sebelumnya sempat bersekolah sampai kelas 4 SD. Sementara itu, anak bungsuku yang kini berusia hampir enam tahun sama sekali belum pernah bersekolah formal. Demi dapat memaksimalkan upayaku dalam membersamai pendidikan mereka sepenuhnya, aku pun bertekad untuk serius menimba ilmu di bidang parenting dan pendidikan.

Aku sudah mengikuti berbagai kursus dan pelatihan di bidang parenting dan pendidikan sejak sebelum menarik keluar anakku dari sekolahnya dan sebelum anak keduaku lahir ke dunia. Tahun ini, ada dua program yang kuselesaikan. Yang pertama adalah program Diploma Montessori untuk anak usia dini. Pada bulan Februari tahun ini, aku berhasil menyelesaikan program pelatihan yang telah kumulai sejak beberapa tahun sebelumnya ini.  Program berikutnya adalah kelas fondasi dan akademis metode pendidikan Charlotte Mason yang dimulai sejak bulan lalu dan insyaAllah akan selesai dua minggu lagi. 

Secuil Contoh Hasil Belajar dari Sekolah Diploma Montessori
 
Menyelesaikan program pendidikan jangka pendek itu mungkin tidak sesulit menyelesaikan program pendidikan formal tingkat sarjana dan magister yang sudah pernah kulalui, tetapi juga tidak semudah yang kubayangkan pada mulanya. Ada banyak faktor baru yang menjadi ujian kali ini, termasuk di antaranya kesibukan sebagai seorang ibu bekerja. Lagi-lagi, aku belajar hal yang sama meskipun dari jalur yang berbeda: maju terus pantang mundur dan menyelesaikan apa yang sudah kumulai.

Selain menimba ilmu yang tiada habisnya, kuusahakan pula selalu menyisihkan waktu untuk terus membagikan yang pernah kuperoleh. Setelah mengambil peran pengajar bagi anak sendiri dan mahasiswa di kampus, tahun ini aku juga memberanikan diri untuk menekuni peran relawan fasilitator pelatihan di bawah Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika dan Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Membaca. Sesuai judulnya, aku mungkin tak mendapat keuntungan material apa pun dari keterlibatanku di sini. Akan tetapi, kurasa ini justru menjadi salah satu jalan yang menuntun pada keberuntungan terbesarku: menjadi manusia dengan sebaik-baiknya manfaat, selagi masih dikaruniai umur dan kesehatan. 

Satu Caraku dalam Memanfaatkan Jatah Umur: Menjadi Bagian dari Gerakan Nasional

Hikmah


Beberapa teman terkadang memprotesku jika bicara tentang umur dan kematian. Tentu, aku pun sepakat bahwa topik ini bukan topik yang menyenangkan. Namun, kurasa memikirkan dan membicarakannya justru dapat mendatangkan manfaat. Bukankah sadar akan usia yang terbatas menjadikan kita orang-orang yang lebih menghargai kehidupan yang tak kekal ini? Jika bersungguh-sungguh dalam menyikapi "jatah waktu" ini, kupikir sudah sewajarnya jika siapa pun mengutamakan kebaikan. 

Seperti halnya 2020, tahun 2021 ternyata begitu penuh tantangan. Bagiku pribadi, tahun ini justru menjadi momen yang menyadarkanku akan nilai sebuah kehidupan. Ketika akhirnya jatuh sakit setelah sekian lama baik-baik saja atau ketika begitu sulit untuk bangun dan bergerak seperti biasa, kusadari betul nikmat sehat yang pernah kuabaikan dan tak kusyukuri. Saat itulah, aku seolah-olah diingatkan tentang apa yang benar-benar harus dianggap penting dalam hidup ini. Kita lebih membutuhkan ketulusan daripada kedengkian, kerja sama daripada kompetisi, dan--tentunya--kebaikan di atas kejayaan. Semoga saja aku dapat terus membawa kesadaran ini saat menjalani tahun 2022 yang sebentar lagi segera datang ... aamiin!
















  

Senin, 29 November 2021

Sehat vs Produktif

Dalam tulisanku beberapa minggu yang lalu, aku pernah bercerita tentang bagaimana aku memaknai nikmat sehat melalui pengalaman yang tak terlalu menyenangkan: jatuh sakit akibat terlalu sibuk. Jadwal harianku begitu padat oleh berbagai aktivitas. Bukan tak disengaja tentunya, semua kegiatan itu memang telah direncanakan jauh sebelumnya atas dasar satu alasan kuat: aku ingin memaksimalkan produktivitas.

Tak peduli apa pun profesinya, bukankah setiap orang lebih bahagia ketika produktif mengisi hari-harinya? Para pegawai tentu lebih puas saat berhasil menyelesaikan berbagai agenda pekerjaannya. Begitu pula halnya dengan ibu rumah tangga yang lebih bangga saat berhasil menghasilkan lebih banyak tumpukan baju yang tersetrika rapi sembari menuntaskan beragam tugas rumah lainnya. Namun, demi tujuan tersebut, tak jarang batas-batas tertentu terlanggar sehingga terabaikanlah hak utama tubuh kita: hak untuk tetap sehat. 

Bukan sekali atau dua kali aku pun lalai akan hal ini: saat mengabaikan jam istirahat demi tuntas membereskan rumah, atau bahkan saat melewatkan jatah makan demi menyelesaikan tumpukan pekerjaan. Dalam waktu singkat setelahnya, kudapatkan "hadiah" yang kuinginkan: aneka tugas yang tuntas. Kelelahan yang ada terbayar kontan oleh perasaan lega, puas, senang, dan bangga. 

Sayangnya, nikmat itu tak berumur panjang. Ketika pelanggaran hak tubuhku itu kulakukan berkali-kali, aku pun terpaksa menghadapi konsekuensinya: kesehatan yang terampas. Akhirnya aku "dipaksa beristirahat" oleh kondisi tubuhku yang memang tak memungkinkan untuk berkegiatan seperti biasa. Pada saat itulah mataku seolah terbuka. Sesungguhnya produktivitas yang kucapai dengan mengorbankan kesehatanku hanyalah prestasi semu. Apa artinya jika aku berhasil produktif dalam rentang waktu tertentu tetapi kemudian akibatnya malah "nyaris lumpuh" setelahnya (yang syukur-syukur jika diridai untuk sembuh kembali, tapi bagaimana kalau tidak)?

Ada siang, ada malam. Ada pasang, ada surut. Ada tarikan napas, ada embusannya. Sejatinya, alam sudah mengajarkan bahwa ada ritme yang harus ditaati dalam kehidupan ini. Jika paham dan ingat pada prinsip ini, sudah seharusnya aku lebih tertib dalam menjaga ritme hidupku: ada waktu untuk bekerja, ada waktu untuk beristirahat. Antara sehat dan produktif seharusnya senantiasa seimbang, tidak pernah dipertentangkan.



Senin, 22 November 2021

Saat Jiwa Tak Sehat

Entah sejak kapan, aku menjadi lebih paham tentang kasus orang-orang yang melakukan bunuh diri. Mereka tak tahan dengan berbagai tekanan hidup. Mereka tak tahan lagi dengan hidup yang jadi terasa begitu menyiksa. Kemudian, muncul pikiran untuk mengakhiri semuanya, yakin sekali bahwa hanya ada kedamaian dan kebahagiaan setelah mati.

Aku pernah cukup dekat dengan pemikiran itu. Perih dan hampa (aku tak pernah tahu sebelumnya, dua hal ini dapat dirasakan bersamaan) yang tak tertahankan juga terkadang menuntunku pada ide untuk mengakhiri hidup. Satu-satunya yang menghalangiku adalah kepercayaanku.

Hidup dan mati itu milik Tuhan. Apa yang terjadi saat aku melanggar aturan itu? Aku mungkin tak pernah benar-benar berani mengakhiri hidupku, tetapi tahu betul rasanya tak menjalani hidup dengan baik. Hidup segan, mati tak mau. Mungkin itu ungkapan yang cocok.

Pada masa itu, aku selalu kesulitan menjawab pertanyaan sederhana seperti "Apa kabar? Sehat?"

Sepertinya tubuhku cukup sehat. Tidak ada bagian yang terluka ataupun terserang penyakit. Akan tetapi, aku sadar, aku tidak baik-baik saja pada saat itu. Bukan fisikku yang terganggu, melainkan mentalku.

Sayangnya, dahulu ungkapan "sehat lahir batin" belum selazim saat ini. Opsi untuk pergi berkonsultasi ke psikolog dan psikater juga selalu berat dipertimbangkan, mungkin karena sadar akan kesan yang berkembang di masyarakat tentang pasien dengan gangguan kejiwaan. Berbeda dengan saat fisik kita sakit, pilihan untuk berobat justru dinomorduakan jika mental kita yang sakit. Nomor satunya: bersembunyi dan merahasiakan kondisi tersebut.

Kurasa aku cukup beruntung karena saat mengalaminya, aku masih sanggup mencapai tingkat "sadar". Aku sadar sepenuhnya waktu itu, mentalku tidak dalam keadaan sehat. Mungkin karena sejak kecil, aku telah terbiasa menyaksikan ibuku yang selalu terang-terangan menyatakan apa yang dirasakannya, termasuk saat mentalnya sedang terganggu: "Mama depresi nih."

Benar juga. Jika kita dapat mengeluhkan sakit di badan, mengapa tidak boleh mengungkapkan sakit di jiwa? Bukankah makin cepat kita mengakui ada masalah, akan makin besar peluang untuk menanggulanginya?

Senin, 15 November 2021

Olahraga yang Hebat

Sejak kecil, entah bagaimana aku sudah melihat olahraga sebagai kegiatan hebat. Mungkin itu karena desakan rutin Papa agar seluruh keluarga melaksanakannya atau mungkin juga karena Mama yang selalu menyatakan bagaimana kerennya Papa yang menguasai beragam olahraga. Seingatku, hampir setiap nama olahraga yang kutahu pasti dikuasai Papa: atletik, renang, pingpong, golf, dan lain-lain. Meskipun Papa tidak pernah benar-benar sukses mengajari sendiri anak-anaknya semua olahraga itu, setidaknya ada satu yang diwariskannya terkait olahraga: kami meyakini olahraga itu penting dan menganggap setiap orang sebaiknya menguasai minimal satu jenis olahraga.

Perkenalanku dengan jenis-jenis olahraga dimulai di bangku SD. Tidak sedikit olahraga yang pernah kucoba waktu itu, tetapi aku hanya menggandrungi salah satunya: lari. Berawal dari lari jarak pendek yang selalu menunjukkan keunggulanku di antara teman-teman sekolah, lama-lama aku juga menjajal nomor lari untuk jarak yang lebih jauh. Sebelum berumur 10 tahun, aku pernah merasakan menjadi pelari termuda dalam satu acara lari 10 km untuk umum.

Sayangnya, kesenanganku berlari berkurang ketika aku memasuki masa pubertas. Perubahan fisikku membuatku merasa berlari itu tidak nyaman. Aku masih sempat beralih ke olahraga permainan seperti badminton, tetapi tentu tak bertahan lama karena berlari tetap menjadi salah satu latihan utamanya. Beruntung, setelah itu aku menemukan olahraga favorit baru: renang.

Aku baru bergabung di sebuah klub renang setelah duduk di bangku sekolah menengah. Walaupun sudah tak mungkin mengejar karir sebagai atlet seperti halnya anak-anak yang memulainya sejak usia dini, aku tetap senang dan serius berlatih rutin (empat kali seminggu). Berkat setitik pengalaman menjadi atlet kali itu, aku mendapat beberapa bonus: penyakit asmaku hilang dan tubuhku lebih bugar.

Saat mulai berkuliah, aku bertekad meneruskan hobi renangku. Namun, ada satu masalah baru yang muncul. Aku tinggal di Bandung, kota yang berhawa lebih dingin daripada dua kota tempat tinggalku sebelumnya: Medan dan Jakarta. Berolahraga di dalam air dingin di bawah cuaca dingin sungguh menyiksaku. Aku bukan tidak suka dingin. Lebih tepatnya, aku sangat tidak tahan dingin (yang ternyata berkaitan dengan penyakit autoimmune haemolytic anaemia yang kuidap sejak lahir). Hingga kini, tidak jarang aku mengalami serangan ringan hipotermia yang membuatku berhalusinasi tentang kematian.

Meskipun masih kuanggap sebagai olahraga favorit, akhirnya renang makin jarang kulakukan. Ketika sudah pindah kembali ke Jakarta, masalahku bertambah sejak melahirkan: gejala alergi berkepanjangan di kulit. Yakin akan mutlaknya kebutuhan berolahraga, kucoba melupakan renang dan kutekadkan menekuni olahraga lainnya. Aku pun mendaftar ke sebuah gym dan mencoba beberapa jenis latihan. Di sana, aku jatuh cinta pada olahraga baru lainnya: muay thai.

Akan tetapi, rupanya "jodoh"ku kali ini juga belum berumur panjang. Saat negara api pandemi menyerang, tentu tak terpikir sama sekali olehku untuk memperpanjang keanggotaan di gym. Aku berencana berlari lagi saja di kompleks perumahanku. Setidaknya begitulah pikiranku sebelum internis langgananku mengetahui "petualangan"ku selama ini selagi kondisi penyakit autoimunku belum stabil. Seketika, beliau menegaskan larangan untukku berolahraga dengan intensitas yang sama dengan orang-orang pada umumnya, yang tidak mengidap penyakit yang berhubungan dengan darah dan jantung.

Akibat penyakit kronisku, otomatis aku "dimudahkan" dalam memilih jenis olahraga yang sesuai dengan kondisiku. Aku kembali melirik jenis-jenis olahraga yang dahulu kuanggap "kurang hebat": jalan kaki, bersepeda, yoga, hingga taichi. Masih kusimpan pandangan kagum pada setiap orang yang melakukan jenis-jenis olahraga yang tampak lebih hebat, termasuk olahraga yang digeluti putri sulungku: panjat tebing.

Sebuah momen pahit menyadarkanku pada pertengahan tahun ini: aku jatuh sakit hingga hampir tak mampu bergerak sama sekali. Jangankan berdiri atau berjalan, kala itu aku bahkan kesulitan untuk sekadar memiringkan tubuh di kasur. Olahraga penting dalam proses pemulihan, tetapi apa yang mungkin kulakukan saat berjalan pun masih tertatih-tatih?

Ternyata tidak ada jenis olahraga yang lebih keren daripada olahraga lainnya. Semua olahraga itu hebat, hanya dengan syarat: sesuai dengan kapasitas dan konsisten dilakukan.

Senin, 08 November 2021

Nikmat Sehat yang Tak Ternilai

 

“Sekali lagi maaf dan makasih banget ya … semoga lain kali kita berjodoh lagi.”

Kusudahi percakapanku melalui telepon dengan seorang teman lama siang itu. Kutarik napas panjang seraya memandangi kalender di hadapanku. Kembali kurapal zikir yang kutahu sejak kecil, yang katanya—kata Mama, tepatnya—dapat membantu menenangkan hati yang gelisah.

Tak kuingkari, sesungguhnya ada keraguan besar saat kusampaikan keputusanku tadi: menolak tawaran sebuah pekerjaan baru. Sebagai seorang pekerja lepas dan paruh waktu, sebenarnya aku merasa tak pernah tak tergiur dengan setiap tawaran pekerjaan yang datang. Tambahan pekerjaan berarti tambahan imbalan. Nah … mungkin kecuali sudah setajir sultan, siapa sih, orang di dunia ini yang tak ingin terus menambah isi pundi-pundinya?

Namun, waktu itu aku—meskipun bahkan masih di level yang jauh dari budaknya sultan—harus menjauhi keinginan wajar tersebut. Tawaran itu memang menggiurkan, aku sangat tertarik dan sangat yakin dapat mengerjakannya dengan baik, tetapi terpaksa kutolak karena sebuah pertimbangan yang sudah pernah kusepelekan pada kesempatan-kesempatan sebelumnya: menjaga kesehatan.

Ya, aku sudah merasakannya: mengabaikan ancaman atas kesehatan hidup demi mengejar proyek-proyek pekerjaan bernilai tinggi. Dua puluh empat jam sehari dan tujuh hari seminggu terasa kurang. Di sela-sela kesibukan yang luar biasa saat itu, tak jarang aku merasa bersalah jika memakai waktu yang terlalu banyak untuk beristirahat (padahal masih di bawah standar kebutuhan tidur dalam sehari).

Jika waktu itu aku ditanya bagaimana rasanya, tentu akan kujawab “enak” tanpa pikir panjang. Bagaimana tidak? Saldo rekening di bank bertambah, aku jalan-jalan dan makan-makan enak terus (jauh sebelum pandemi), dan ilmu yang kumiliki termanfaatkan dengan baik. Di mana letak tidak enaknya?  

Aku lupa sama sekali pada satu hal yang sesungguhnya bernilai jauh lebih tinggi di atas semua kenikmatan itu: kesehatan. Kesadaran itu baru kembali begitu aku mengalami berbagai gejala fisik yang awalnya sedikit dan ringan, tetapi “lama-lama menjadi bukit”. Kurasakan berbagai ketidaknyamanan di tubuhku, mulai dari kulit kusam dan berjerawat hingga pendarahan di luar jadwal menstruasi.

Aku telah mengabaikan kebutuhanku yang lebih utama: tubuh yang sehat. Sama sekali tak terpikir olehku bahwa ketika sakit, harga yang kubayar sebenarnya berkali-kali lipat lebih mahal daripada penghasilan dari pekerjaan yang menyita waktu dan tenagaku itu. Perhitungannya bukan hanya dari konsultasi dokter, laboratorium, atau obat yang harus dikeluarkan (yang mungkin memang mahal, tetapi kadang-kadang dapat diganti dengan asuransi). Masih ada yang jauh lebih tak ternilai harganya, yang mungkin saja tak mampu terbayar dengan pengobatan semahal apa pun: nikmat sehat.

Minggu, 31 Oktober 2021

Komunitas Tersayang

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, komunitas adalah kelompok organisme (orang dan sebagainya) yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah tertentu. Ungkapan lain yang tertera di sana masyarakat atau paguyuban. Hmmm. Jika merujuk pada pengertian ini, apakah berarti aku harus membahas tentang rukun tetangga dan rukun warga demi dapat menjawab tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober ini yang mengambil topik "Komunitas yang Aku Cintai"? 

Banner Tantangan Blogging Bulanan Mamah Gajah Ngeblog

Jika benar begitu, aku harus mengibarkan bendera putih. Kurasa interaksi yang terjadi antara aku dan para warga kompleks perumahanku sekarang tidak dapat diceritakan sedemikian rupa hingga dapat komunitas yang satu ini tergolong dalam kategori "komunitas yang kucintai". Kami hanya memenuhi definisi "kelompok orang" dan "di dalam daerah tertentu", dengan sedikit "saling berinteraksi" berupa saling mengirimkan makanan oleh-oleh jika ada yang baru pulang dari luar kota. Ini pun hanya terbatas pada tetangga yang terdekat di tiap arah mata angin: rumah tetangga arah timur, tenggara, selatan, barat daya, barat ... (hayoo ngaku, siapa yang membaca ini sambil menyanyi?)

Mungkin karena kepribadian introverku, aku selalu nyaman untuk melakukan apa pun sendiri. Ini bukan berarti aku tidak dapat berbaur dengan banyak orang di luar sana. Aku dapat dengan mudah berkenalan dengan orang baru, mengakrabkan diri dengan orang asing, bahkan sering diandalkan dalam acara-acara yang menuntut aksi berbicara di depan umum. Meskipun menyukai semua kegiatan itu, aku paham betul, sumber energiku yang sebenarnya datang dari kebebasanku untuk melakukan apa saja yang kusuka ketika benar-benar tidak ada orang lain di sekitarku. Dengan kata lain, berkumpul dengan manusia lain bukan masalah bagiku, tetapi aku tak dapat melakukannya terus menerus tanpa melakukan recharge dengan cara menikmati kesendirianku.

Mungkin karena itulah, berkumpul dan berinteraksi dengan orang-orang lain hampir tak pernah kuanggap sebagai kebutuhan primer sejak aku kecil. Kenalan ada, teman ada, sahabat ada .... tetapi komunitas? Rasanya aku tak ingat satu pun hingga masa kuliah datang.

Komunitas dari Kampus

Aku baru memahami arti komunitas dan menemukan yang paling sesuai denganku di bangku perkuliahan. Namun, orang-orang yang berkumpul di sana bukan para mahasiswa yang berkuliah di jurusan yang sama, melainkan yang mengaku menaruh minat pada hal yang sama: film. Kami tergabung di sebuah unit kegiatan mahasiswa yang dinamai Liga Film Mahasiswa (LFM).

Sebetulnya, aku mendaftar ke sana awalnya hanya karena penasaran. Papaku juga dulu pernah menjadi kru LFM semasa kuliah dan cerita-ceritanya tentang pemutaran film sukses membuatku tertarik, meskipun aku belum banyak berpengalaman dengan film sebelumnya. Namun, siapa sangka ... aku mendapat lebih dari yang kuharapkan dari sana: bukan hanya pengetahuan dan pengalaman seputar film, melainkan juga sebuah keluarga besar. Mungkin dapat kukatakan, inilah komunitas pertamaku.

Aku di Sarang Penyam ... eh, Pelawak

Papa dan Alumni LFM Lainnya di Satu Acara Reuni

Keluarga Besar LFM ITB

LFM terdiri atas manusia-manusia yang amat sangat beraneka ragam, mulai dari latar belakang suku-agama-ras hingga sifat, kebiasaan, dan minat. Satu-satunya kesamaan yang mungkin dimiliki hampir semua anggotanya adalah semangat untuk berbaur, berteman, bercanda, dan bersantai. Di sini, berbeda pendapat dalam berbagai hal adalah hal yang biasa, tetapi jangan harap itu akan mengarah pada perselisihan serius, apalagi permusuhan. Pokoknya, menjadi bagian dari keluarga besar ini (tak hanya di kampus, karena kami pun kini tetap berkumpul sebagai alumni) membuat hidupku terasa jauh lebih menyenangkan. Seolah-olah aku menemukan zona teraman dan ternyamanku di komunitas ini, sampai-sampai memilih pasangan hidup pun dari sini ... hahaha.

Komunitas Para Ibu

Aku baru benar-benar menyadari kebutuhanku akan komunitas setelah hamil dan melahirkan. Rupanya dua pengalaman itulah yang merupakan momen-momen terbesar pengubah hidupku. Semandiri apa pun diriku, sesenang apa pun aku menyendiri, keberadaan teman dan support group ternyata mutlak kubutuhkan sebagai seorang ibu.

Aku bergabung dengan komunitas ibu-ibu yang mahapenting ini semasa hamil. Tepatnya saat kehamilanku memasuki trimester kedua dan sudah aman bagiku untuk kembali aktif berkegiatan fisik. Ketika mencari-cari informasi tentang gentle birth dan prenatal yoga, bertemulah aku dengan komunitas Gentle Birth Untuk Semua yang didirikan oleh Mbak Dyah Pratitasari (Mbak Prita). 

Mbak Prita mempersilakan aku bergabung dengan kelas yoga yang diampunya secara sukarela di pinggir danau UI. Di sana sudah ada belasan orang ibu hamil yang rutin berlatih dengannya sebelum aku bergabung. Selain bertemu langsung setiap akhir pekan, kami juga bertemu di grup whatsapp. 

Sebagian Kecil Anggota Komunitas Prenatal Yoga UI GBUS Batch 6

Awalnya, kami hanya bertukar pesan seputar jadwal latihan yoga dan sedikit-sedikit saling berbagi tentang informasi kesehatan dan kehamilan. Lama kelamaan, apalagi setelah satu per satu bayi yang ada di kandungan terlahir ke dunia, makin banyak dan sering kami berbagi cerita. Bukan hanya dunia perbayian atau makanan dan panci yang kami bahas, lika-liku kehidupan rumah tangga dan hubungan dengan ibu mertua pun tercakup dalam obrolan kami. Entah mengapa, sepertinya banyak di antara kami yang merasa cukup aman dan nyaman untuk mengungkapkan unek-unek terdalam yang tak mungkin diceritakan di lingkungan lainnya.

Tahun demi tahun berlalu, tak terasa, anak-anak kami yang dahulu sama-sama masih di rahim kami masing-masing telah melewati masa menyusui, batita, balita, hingga kini bersiap memasuki bangku sekolah dasar. Grup kami masih ada dan rasanya kedekatan itu tak berkurang sama sekali. Tidak hanya saling mendoakan saat ada yang berulang tahun, kami juga berusaha saling membantu jika ada yang ditimpa musibah, seperti yang memang banyak terjadi di mana-mana selama masa pandemi ini. Sama seperti LFM, komunitasku yang satu ini pun seakan telah menjelma menjadi keluarga besar lainnya bagiku.

Reuni Setelah Dua Tahun Melahirkan (Sebelum Pandemi)

Komunitas Hobi

Sesuai nama (kepanjangan)nya, LFM mungkin dapat dianggap sebagai komunitas hobi. Namun, kalau kupikir-pikir lagi, kategori itu tidak cocok bagiku yang sebetulnya memiliki hobi lain yang jauh lebih "kental": menulis. Anehnya, kebutuhan akan komunitas menulis tak pernah betul-betul kupikirkan dengan serius sampai awal tahun ini. Apakah ini karena pandemi? Atau karena umur? 😁

Pucuk dicinta, ulam tiba. Aku bertemu dengan dua komunitas menulis sekaligus yang baru saja dibentuk: Mamah Gajah Ngeblog (MGN) dan Mamah Gajah Bercerita (MaGaTa). Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, keduanya merupakan subgrup dari komunitas ITB Motherhood (aku sudah lama bergabung di grup induknya ini, tetapi tidak aktif karena jarang mengakses Facebook). 

Logo Komunitas MaGaTa

Poster Pertama Tantangan Blogging MGN 

Berkat MaGata maupun MGN yang rutin menyelenggarakan tantangan, aku "dipaksa" untuk konsisten berlatih menulis dan berusaha menghasilkan tulisan-tulisan yang lebih baik daripada sebelumnya. Di MaGaTa, aku dan teman-temanku tak bosan belajar tentang kepenulisan dan kebahasaan. Sementara itu, di MGN, kami terus belajar tentang seluk beluk dunia blog. Aku belajar, belajar, belajar lagi bersama teman-teman dan bidang yang dipelajari adalah hobi terbesarku. Wajar, dong, aku sangat betah menjadi anggota kedua grup ini? 

Karena itulah, walau terbilang baru lahir, kedua komunitas ini pun sah tergolong ke dalam kategori komunitas yang kucintai. Tanpa komunitas-komunitas ini, entah seperti apa keseharian dan kehidupan yang kujalani. Terima kasih, MaGaTa dan MGN! Terima kasih juga, YogaUI Batch 6! Terima kasih, LFM!

Aku mencintai kalian! Aku tresno karo kowe! Abdi bogoh ka anjeun! Aishiteru! Saranghaeyo! Te quiero! Ana Ahibuk! Ich liebe dich! I love you! 

Nah ... bagaimana denganmu? Adakah komunitas-komunitas yang awet dan istimewa di hati? Ceritakan juga, ya!

Senin, 25 Oktober 2021

Antara Makanan dan Kesehatan

Aku yakin, sebenarnya tidak ada orang (dewasa) di dunia ini yang tidak tahu atau tidak sepakat bahwa makanan memiliki hubungan erat dengan kesehatan. Yang ada (dan banyak) adalah orang-orang yang meskipun mengetahui dan memahaminya, tetap memilih untuk abai. Tentu alasannya jelas: memenangkan hawa nafsu.

Keyakinanku itu berangkat dari pengalamanku sendiri, sejak kecil dulu hingga dewasa kini, sejak masih anak-anak hingga sudah menjadi ibu-ibu. Sebagai anak yang tidak terlalu suka makan semasa kecil, kurasa aku cukup beruntung. Aku tidak mengalami gagal tumbuh, misalnya, karena sebenci apa pun aku pada kegiatan makan, mamaku selalu memastikanku tertib mengonsumsi makanan padat gizi secara teratur.

Masalah mulai muncul ketika aku makin besar dan peran Mama atas keseharianku makin berkurang. Aku ingat betul, pertama kali aku terkena penyakit tukak lambung adalah saat duduk di bangku SMP. Mungkin karena merasa merdeka dari pengawasan Mama, aku langsung semena-mena mengabaikan jam makan siang. Masalah kesehatan pencernaanku timbul bukan karena nafsuku untuk jajan sembarangan, melainkan karena nafsuku untuk mendahulukan berbagai kegiatan lainnya yang kurasa lebih seru daripada makan.

Maag pun menjadi penyakit kronisku hingga aku mulai merantau untuk kuliah di Bandung. Setelah bosan dengan serangan maag yang makin menganggu aneka kegiatanku di kampus, aku mulai merasakan kemunculan tekad untuk makan  lebih baik. Tidak hanya berusaha tidak terlambat makan, aku juga mulai peduli dengan makanan yang kusantap.

Pada mulanya, praktiknya memang terasa janggal. Setelah mengawali hari dengan minum air hangat dengan perasan jeruk nipis atau lemon, aku makan aneka buah hingga menjelang siang. Dengan kata lain, menu sarapanku adalah buah. Lupakan nasi, daging, atau jenis makanan lain yang memberatkan sistem pencernaan agar energi dapat dimaksimalkan untuk berkegiatan pada pagi hari. Makanan lainnya kukonsumsi pada siang dan malam hari, tetapi patuh pada aturan kesetimbangan sifat asam dan basa makanan: lebih banyak makan sayuran dan tidak menggabungkan karbohidrat dan protein hewani (misalnya makan nasi dan sayur pada siang hari, lalu malamnya makan daging dan sayur).

Sejak mengikuti food combining, penyakit lambungku lenyap tak berbekas. Karena terkagum-kagum dengan hasil ini, pola makan ini kupertahankan hingga sekarang, meskipun terkadang hanya setengah prinsipnya yang konsisten kuterapkan terus. Sering kali nafsulah yang lebih kumenangkan, misalnya saat ingin sekali makan daging ayam dengan nasi.

Food combining sebenarnya tidak hanya membantuku terbebas dari penyakit lambung. Dari food combining, aku disadarkan lagi tentang prinsip-prinsip umum kesehatan yang dipengaruhi oleh asupan sehari-hari. Aku menjadi lebih mudah memahami gejala-gejala tubuh seperti sariawan, jerawat, kembung, mulas, atau nyeri kepala sebagai alarm-alarm kecil yang menandakan ketidakseimbangan asupanku. Inilah alasan mengapa menolak hidangan lezat tertentu sama sekali tak sulit bagiku. Jika sudah paham dan merasakan betul dampak negatifnya terhadap kesehatanku, keinginan menikmatinya sudah benar-benar menguap, tergantikan oleh bayangan sakit di tubuhku yang jelas jauh dari nikmat. 


Senin, 11 Oktober 2021

Apa Resep Masakan Andalanmu?

Tantangan menulis dari komunitas Mamah Gajah bercerita minggu ini adalah resep masakan andalan. Sebagai seseorang yang tidak terlalu menggandrungi makanan dan tidak begitu menggemari kegiatan masak memasak, jelas aku merasa sangat tidak percaya diri menulis untuk tema tantangan kali ini. Resep masakan macam apa yang diharapkan dapat diandalkan dariku?


Karena kecerobohanku dan ke"rajin"anku dalam memecahkan barang-barang semasa kecil dulu, Mama sering melarangku masuk ke dapur. Aku pun hampir tak punya ingatan tentang kegiatan memasak di dapur ... hingga akhirnya aku pindah ke Bandung untuk berkuliah. Karena harus tinggal sendiri dan anggaran belanja sangat terbatas untuk jajan, barulah aku sadar bahwa aku harus bisa dan sering memasak makananku sendiri.

Tak sedikit tantangan yang kuhadapi saat baru mulai rutin menyambangi dapur. Selain harus menelepon interlokal hanya untuk menanyakan cara membuat sup ke Mama (akses internet belum selazim sekarang), aku juga harus banyak menghemat waktuku di dapur demi memaksimalkan kesempatanku berkegiatan di luar rumah. Mahasiswa, gitu, lo!

Makanan-makanan seperti mi instan atau nugget goreng memang menggoda, tetapi sepertinya doktrin yang ditanamkan padaku sejak kecil sudah mengakar kuat. Aku tak dapat memakannya terlalu sering kecuali ingin jatuh sakit. Alhamdulillah, ide (yang menurutku, waktu itu) cemerlang datang. Kupilih menu dengan bahan-bahan yang kuyakini sehat: salad.

Seingatku, aku cukup sering membuat salad sayur atau salad buah (bergantian, tidak dicampur). Selain menyehatkan, menu ini sangat mudah dan praktis bagiku. Aku dapat menyiapkan potongan sayur mentah dalam beberapa porsi dan disimpan di kulkas, lalu menyiapkan sausnya dalam takaran yang cukup untuk beberapa kali makan. Saat akan makan, aku hanya membutuhkan waktu kurang dari sepuluh menit untuk mencuci dan merebus beberapa jenis bahan yang tidak kumakan mentah seperti wortel, brokoli, buncis, atau jagung.

Berikut resep sausnya yang super mudah, bahkan mungkin dapat dilakukan oleh anak balita, tetapi alhamdulillah seingatku selalu berterima di lidah teman-teman atau saudara-saudara yang pernah kutawari untuk ikut makan (katanya, semoga mereka jujur).

Bahan (untuk porsi 2 orang):

- 4 sendok makan mayones 

- 8 sendok makan saus tomat 

- 6 sendok makan gula pasir

Cara membuat: 

Masukkan semua bahan saus di atas dan aduk-aduk.

Sudaah ... begitu saja! Kurang juara apa coba, simpelnya resep ini? Wajar kan, aku selalu menjadikannya andalan, bahkan saat menjamu calon mertuaku dahulu? Hahaha.

Sayangnya, resep di atas sudah tak dapat kuandalkan lagi sejak sekitar lima tahun terakhir. Aku baru tahu belakangan bahwa ternyata salad andalanku itu tak sesehat yang kubayangkan karena ... lihatlah bahan-bahan yang kupakai untuk membuat sausnya: gula pasirnya sampai enam sendok, belum lagi memikirkan bahan-bahan sintetis dalam saus tomat dan mayones pabrikan yang kugunakan. Aku tak mau repot-repot membuatnya lagi setelah mendapati anak keduaku mengidap penyakit alergi yang cukup parah hingga akhirnya kini kami sekeluarga (aku malas masak dua kali atau memisahkannya khusus untuk si bungsu) lebih sering ber-clean eating.

Hilang satu resep, lahir satu (bukan seribu) resep lainnya. Berikut resep andalan baruku beberapa tahun terakhir ini, yang hampir sama mudahnya dan selalu laris juga (cerita lengkapnya sudah pernah kutulis di blog keluarga, termasuk mengapa menu ini kunobatkan menjadi resep andalan keluarga).

Nasi Panggang Jamur Brokoli

Bahan:

  • 4 porsi nasi (campuran beras merah dan putih) yang agak lembek, tidak pera
  • 3 butir telur
  • 1 bonggol brokoli
  • 100 gram jamur champignon
  • 1/4 buah bawang bombay
  • 1/8 blok keju mozzarella
  • 1/2 sendok teh garam
  • 4 sendok makan minyak goreng
  • 1 mangkuk air panas dengan sejumput garam
Cara membuat:
  1. Potong-potong jamur dan brokoli, lalu rendam di dalam mangkuk air panas bergaram untuk menghilangkan ulat dan kuman-kuman.
  2. Cincang bawang bombay dan keju mozzarella.
  3. Panaskan oven hingga temperaturnya mencapai 180°C.
  4. Tuang minyak ke dalam pinggan tahan panas (saya pakai pinggan kaca) dan ratakan hingga semua dindingnya terolesi dengan minyak.
  5. Masukkan nasi ke pinggan dan ratakan permukaannya.
  6. Tiriskan jamur dan brokoli, lalu atur di atas permukaan nasi.
  7. Kocok telur dan siram ke atas nasi yang telah bertaburkan bahan-bahan lainnya.
  8. Tambahkan bawang bombay, keju, dan garam.
  9. Masukkan pinggan ke dalam oven.
  10. Panggang selama 20 menit.
Nah, itulah resep andalan versiku. Bagaimana denganmu? Ceritakan juga, dong!



Senin, 04 Oktober 2021

Memilih Makanan Favorit Sepanjang Masa

Bicara tentang makanan sebenarnya seru sekaligus membingungkan bagiku, apalagi jika diajak membahas "Apa makanan favoritmu sepanjang masa?"

Tantangan Menulis tentang Makanan Favorit dari Komunitas MaGaTa

Kulempar pikiranku ke masa kecil, saat apa-apa yang terjadi mulai dapat terkenang seumur hidup. Apa yang kuingat tentang makanan favorit? Rupanya hampir tidak ada. Di antara segala hal yang ada di dunia ini, sepertinya makanan selalu menjadi hal terakhir yang menarik perhatianku.

Aku tidak ingat bagaimana Mama dan Papa sukses membuatku tumbuh dan berkembang dengan baik saat bayi dan batita. Namun, setelah itu, tidak ada kesan baik dari acara makan yang kuingat. Pada usia dini, aku sudah mempertanyakan mengapa manusia harus makan. Aku selalu menanti-nanti usia kapan mulai diperbolehkan berpuasa sehingga tidak perlu makan siang (yang akhirnya izinnya ditunda selama mungkin oleh papaku yang menyadari pemikiranku ini, mulai kelas 5 SD aku baru boleh berpuasa penuh).

Aku ingat bagaimana pada masa kecil itu aku berusaha menyiasati selera makanku yang buruk. Lidahku ternyata lebih bersahabat dengan rasa sedikit gurih yang lembut, tidak terlalu tajam. Mungkin karena itulah, aku sangat menyukai keju. Makanan apa pun yang terhidang di hadapanku sedikit lebih menarik dan membuatku bersemangat jika ditambah potongan keju.

Selain keju, aku juga pernah mencoba tambahan mentega atau margarin yang dioleskan ke nasi. Akan tetapi, cara ini tentu hanya dapat dilakukan jika menu utamanya bukan makanan berkuah. Lelehan mentega di atas nasi hangat lumayan membantuku meningkatkan selera makan.

Alhamdulillah, kebiasaan dan selera makanku membaik seiring dengan pertambahan usia. Kemajuan pesat disadari orang tuaku ketika aku sudah berkuliah dan tinggal di kota yang berbeda dengan mereka. Mereka menyatakan ketakjubannya saat datang berkunjung dan aku mengusulkan untuk makan bersama di sebuah restoran steak. 

"Heidy ngajak makan daging sapi? Ini Heidy yang dulunya kalo makan daging bisa diemut sepanjang penerbangan Palangkaraya ke Jakarta?" ungkap mamaku geli.

Aku juga tidak tahu persis penyebabnya. Mungkin setelah benar-benar mengurus diri sendir dan hidup di tengah teman-teman yang juga merantau, aku mulai merasa bahwa makan sebenarnya tidak harus menjadi kewajiban yang menyiksa. Baru sejak menjadi mahasiswalah aku mampu menikmati beragam jenis makanan nusantara, mulai dari rendang hingga tumis kangkung, tentunya tanpa perlu ditambahi mentega atau keju lagi di atas nasinya.

Keju masih menjadi makanan favoritku sekarang (mentega juga, tetapi margarin sudah tak pernah kusentuh). Namun, begitu pula halnya dengan berbagai jenis makanan lainnya, yang sering membuatku lama memilih dari menu makanan saat makan di luar rumah. Begitu pula sekarang, jika aku harus memilih dan menentukan makanan terfavorit.

Nasi panggang, nasi goreng, mi rebus, capcai, su ayam, semur, opor, aneka pasta, piza, sushi, kimchi ... sebutlah nama semua makanan yang ada di muka bumi ini. Aku yakin, lebih banyak yang dapat kupilih sebagai makanan favorit daripada yang kuhindari (kategori ini hanya mencakup makanan-makanan yang terlalu tajam, pedas, atau merepotkan). Sangat sulit bagiku untuk memilih juaranya karena menurutku semua enak dan harus dikonsumsi bergiliran. :D

Kamu sendiri, bagaimana? Sanggupkah memilih makanan terfavoritmu sepanjang masa? Ceritakan juga, ya!

Pilih, Pilih ...
(Tulisan ini juga diikutsertakan dalam tantangan 1minggu1cerita.id)







Kamis, 30 September 2021

Pengalamanku Berbahasa

Tema tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini adalah pengalaman berbahasa seumur hidup. Ketika tema ini diluncurkan, sebenarnya aku merasa senang. Alasan tidak segera menulisnya bukan karena aku tidak memiliki cerita untuk disampaikan, melainkan malah mungkin terlalu banyak kisah yang membuatku bingung untuk memilihnya. Rasanya mulai dari awal kehidupanku hingga detik ini, berbahasa mengambil banyak porsi dalam hidupku.

 


Pada Zaman yang Belum Kuingat

Tentu saja aku tak benar-benar tahu apa tepatnya yang terjadi saat aku masih seorang bayi hingga anak batita. Bagaimana pengalaman berbahasaku pada usia dini? Saat aku bertanya pada Mama dan Papa, tidak banyak juga yang dapat mereka ceritakan secara spesifik tentang ini. Namun, Mama banyak berkisah tentang kegiatannya sejak aku masih nyaman di dalam rahimnya.

Mama masih belum menyelesaikan pendidikan dokternya ketika mengandungku. Aku tak begitu yakin Mama sudah tahu dan dengan sengaja menerapkan teori parenting tentang mengasah keterampilan komunikasi verbal pada janin saat itu, tetapi kurasa aku beruntung dalam hal ini. Rupanya dalam bentuk janin, aku sudah mengenal hidup dalam “keramaian verbal”. Meskipun tidak ada memori yang tersimpan tentang teori berbagai penyakit dalam bahasa latin, misalnya, aku tetap merasa senang mengetahui fakta sejarah ini. Tidak mungkin itu tidak berpengaruh terhadap keterampilanku dalam berbahasa di kemudian hari.

 

Pemerolehan Keterampilan Berbahasa pada Usia Dini

Sepertinya aku tidak mengalami keterlambatan berbahasa waktu bayi. Tidak pernah kudengar ada kisah tentang kesulitan mengajariku berbicara. Sebaliknya, yang banyak kudapat adalah cerita tentang bagaimana ceriwisnya aku saat kecil hingga sering membuat Mama, Papa, atau orang dewasa lainnya kewalahan. Kemudian, kata Mama, ia berusaha mengurangi kerepotannya dengan menyuruhku mencari jawaban atas setiap pertanyaanku di ensiklopedia. Kebetulan aku sudah dapat membaca sebelum usiaku menginjak lima tahun. Eh, tunggu … jangan-jangan ini bukan kebetulan, melainkan memang strategi Mama yang terencana sedemikan rapinya?

Oh, ya. Kalau melihat silsilahnya ke atas, Mama dan Papaku sama-sama berasal dari Jawa Timur. Papa menghabiskan masa kecil hingga remajanya di Kediri. Sudah jelas, bahasa Jawa menjadi bahasa ibu Papa. Sementara itu, orang tua Mama (eyang putri dan eyang kakungku) sudah hijrah ke Cimahi, Jawa Barat, sejak awal pernikahan mereka. Meskipun bahasa Jawa tetap diutamakan di lingkungan keluarga, Mama dan kelima saudara kandungnya tentu menguasai bahasa Sunda dari lingkungan pergaulan mereka sehari-hari.

Sayangnya, indahnya bahasa daerah itu tak kurasakan sebagai bagian dari tumbuh kembangku. Mama dan Papa memutuskan menggunakan bahasa Indonesia untuk keluarga kecil yang baru mereka bangun dengan alasan menanamkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa (merdeka!). Hmm. Apa tidak ada semacam penghargaan nasionalisme untuk hal seperti ini?

Jadi, bahasa ibuku adalah bahasa Indonesia, sepenuhnya, atau setidaknya sebagian besar di antaranya. Ada beberapa kosakata dalam bahasa Jawa yang menjadi perbendaharaan kataku tanpa sadar bahwa itu bukan bahasa Indonesia. Misalnya saja kata cikrak yang kelak di bangku SMP memicu perdebatan panjang dengan teman sekelas sesama petugas piket. Kejadian itulah yang baru membuatku tahu bahwa cikrak adalah istilah bahasa Jawa. Kemudian, ada pula keharusan menjawab “Daleem” ketika dipanggil orang tua. Belakangan semasa bersekolah di Palangkaraya, Cimahi, dan Medan baru kutahu, bukan begitu cara teman-temanku—yang bukan orang Jawa, tentunya—menjawab jika dipanggil orang tuanya.  

 

Berkenalan dan Bersahabat dengan Bahasa Inggris

Sepertinya secara “resmi” aku baru berkenalan dengan bahasa asing pertamaku, bahasa Inggris, di bangku SD (setelah sebelumnya hanya sempat melafalkan bilangan satu hingga sepuluh dalam bahasa internasional ini). Entah bagaimana, Mama dan Papa berhasil menanamkan sebuah keyakinan dalam diriku: bahasa Inggris itu mudah dan aku pasti tidak sulit menguasainya karena Eyang Tati (sebutanku untuk ibu dari Mama) adalah guru bahasa Inggris dan Eyang Mama adalah seorang jenius yang fasih dalam beberapa bahasa asing dan hampir semua buku bacaannya memakai bahasa Inggris. Bagaimana ini dan itu berhubungan atau bagaimana aku sampai pernah mempercayainya (bahwa ada hubungan sebab akibat dalam hal tersebut) masih menjadi misteri sampai sekarang.

Mungkin itu karena porsi terbesar dalam pelajaran Bahasa Inggris di sekolah adalah grammar alias tata bahasaAku memang hampir tak mengalami kendala dalam mempelajarinya. Rasanya soal-soal grammar setali tiga uang dengan Matematika, pelajaran favoritku. Kurasa dahulu kupikir masuk akal saja jika kemudahan yang kualami itu memiliki tali kasih … eh, maksudku: hubungan, dengan leluhur. Antara bakat dan turunan, aku percaya begitu saja bahwa itulah yang menjadi bekalku.

Di tingkat sekolah menengah, barulah aku menemukan dan menyadari kekeliruan pemahamanku: tidak mungkin terampil dalam suatu bahasa yang tidak benar-benar dipakai. Apa gunanya mempelajari dan mengulik tata bahasa jika bahasanya sendiri tidak digunakan untuk berkomunikasi: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis? Di antara empat bidang kemahiran berbahasa ini, mungkin yang waktu itu lebih kukuasai dari yang lainnya hanya menyimak. Ini tak lepas dari peran dua hal. Yang pertama ialah lagu-lagu pop berbahasa Inggris yang digandrungi remaja. Hal kedua adalah kebiasaan Mama dan Papa untuk saling berbicara dalam bahasa Inggris saat sedang membahas masalahku dan adik-adikku di depan kami. Kebiasaan mereka itu terhenti sejak aku mulai memahami semua yang mereka katakan, digantikan dengan dialog-dialog yang akhirnya melibatkanku sehingga keterampilanku dalam berbicara mulai terbangun.

Namun, sebenarnya semua jenis kemahiranku dalam berbahasa Inggris ini baru benar-benar meningkat di masa kuliah berkat aneka textbook dan … film! Tak kusangka sebelumnya, bergabung di Liga Film Mahasiswa ternyata membantu meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisku dalam hal menyimak dan membaca karena aku memiliki hobi baru: menonton banyak film. Keterampilan menyimakku terasah dari film-film berbahasa Inggris yang kutonton tanpa terjemahansementara keterampilan membacaku diperoleh dari film berbahasa apa saja yang kutonton dengan mencermati English subtitle-nya.

Penguasaan atas kemahiran menyimak dan membaca, dua keterampilan pasif dalam berbahasa, menjadi gerbang memasuki jenis kemahiran berikutnya yang bersifat aktif. Sebagaimana bayi tak mungkin dapat berbicara jika tak pernah mendengar suara apa pun, menguasai kemahiran berbicara dan menulis sebagai keterampilan aktif merupakan hal yang mustahil jika tidak menguasai terlebih dahulu keterampilan pasifnya, berbicara dan menulis.

Baik dalam hal berbicara mapun menulis, awal mulanya kebiasaanku memanfaatkan bahasa Inggris untuk mengungkapkan rasa marah. Mungkin aku merasa tidak terlalu kasar jika tidak memakai bahasa ibu saat sedang emosional seperti biasanya. Keterampilan ini kemudian terus kuasah saat sempat menjadi peneliti di sebuah perusahaan multinasional serta sewaktu menjadi pengajar bahasa Inggris di sebuah sekolah dasar swasta. Ketika harus berapat dengan klien dari negara lain atau menyusun surat, laporan, unit plan, dan lesson plan menjadi rutinitas sehari-hari, kepercayaan diriku untuk berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris pun meningkat.

 

Mempelajari Bahasa Asing Lainnya


Sebelum memasuki kehidupan perkuliahan, sebetulnya aku pernah tergerak untuk mencoba mempelajari sendiri bahasa asing selain bahasa Inggris: bahasa Spanyol. Aku lupa bagaimana awalnya, tetapi ingat bagaimana aku menikmatinya. Kurasa pelafalan dalam bahasa Spanyol cenderung mudah bagi penutur jati bahasa Indonesia. Sayangnya, semangatku untuk menekuni bahasa ini tak bertahan lama karena sulit bagiku menemukan aneka sumber material belajar (lagu, film, atau buku) ataupun rekan untuk belajar berbicara pada waktu itu (sebelum tahun 2000).

Peran produk-produk budaya ternyata begitu penting dalam pembelajaran sebuah bahasa asing. Ini baru kusadari juga di bangku kuliah. Selain mengonsumsi banyak film berbahasa Inggris, aku juga baru mulai menggandrungi manga, anime, dan dorama (komik, film animasi, dan serial drama Jepang). Seiring dengan itu, aku tertarik mempelajari bahasa Jepang. 

Namun, kali ini aku tidak belajar autodidak sepenuhnya karena merasa butuh bimbingan dalam mempelajari aksaranya yang berbeda. Setelah sempat mengikuti kursus singkat pada suatu semester pendek di kampus dahulu, barulah aku meneruskan belajar secara mandiri. Karena tidak merasa membutuhkannya untuk kepentingan yang serius seperti melanjutkan sekolah atau bekerja di Jepang, aku hanya mengasah jenis kemahiran lisan. Itu pun hanya untuk kesenangan dan hiburan: mendengarkan anime beserta soundtrack-nya selagi mengerjakan berbagai kegiatan lain. Karena anime yang kusimak itu telah berkali-kali diputar, aku sudah hafal tiap adegannya tanpa perlu melihat teks terjemahannya. Dengan kata lain, aku paham arti dari kata-kata yang kudengar. Kurasa inilah cara paling menyenangkan yang kutemukan dalam mempelajari bahasa asing: belajar tanpa benar-benar sengaja belajar.

Bekal pengalaman belajar bahasa Jepang dengan cara asyik itu sempat kucoba terapkan untuk mempelajari bahasa Korea. Melihat produk-produk budaya Korea yang mulai membanjiri tanah air, aku yakin, ada banyak kemudahan untuk mempelajari bahasanya. Motivasiku bertambah setelah menjadi pengajar BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) dan sebagian besar mahasiswaku adalah orang Korea. 

Akan tetapi, setelah berbulan-bulan, aku baru menyadari bahwa mengandalkan telinga saja tidak cukup untuk mempelajari bahasa Korea. Susunan bunyi dalam bahasa ini tidak sesederhana bahasa Jepang. Bahasa Korea memiliki keunikan bunyinya sendiri, tidak seperti bahasa Jepang yang sifat bunyinya cukup mirip dengan bahasa Indonesia: banyak mengandung suku kata terbuka. Antara bunyi dan bacaan teksnya pun tidak benar-benar tepat sama. Karena itulah, kuputuskan mengambil kursus singkat lagi untuk mempelajari “rahasia”nya. Setelah “rahasia” itu terbongkar, barulah kuteruskan belajar secara mandiri lagi dengan santai dan tentunya dengan cara yang menyenangkan juga: sambil menonton drama-drama Korea. 

Namun, sepertinya perjalananku kali ini lebih lambat karena satu alasan yang asyik sekaligus membingungkan: arus masuknya drama-drama baru yang menarik terlalu deras! Karena terlalu sibuk menonton drama baru, aku  tak terlalu sempat menonton ulang drama-drama lama. Belum banyak cerita yang sudah kuhafal dan efektif menjadi “latihan menyimak” seperti halnya yang kuterapkan untuk belajar bahasa Jepang dari anime favorit. 

Sebetulnya masih ada satu bahasa asing lainnya yang sempat kucoba pelajari, tetapi kemudian masih tertunda hingga saat ini. Teorinya seharusnya ini adalah salah satu bahasa asing yang lebih kudahulukan sebelum mempelajari bahasa lainnya karena terkait erat dengan agamaku: bahasa Arab. Ini bahasa yang digunakan dalam Quran, kitab suciku. Tentu sudah sepantasnyalah aku mengutamakannya. 

Masalahnya, aku merasa bahwa bahasa Arab mungkin dapat dinobatkan sebagai salah satu bahasa tersulit di dunia. Inilah alasanku menundanya. Kuniatkan untuk menunggu anakku cukup umur untuk mempelajarinya dan dapat "kutebengi" belajar (alias sesemamak ini ingin ikut belajar di kelas anak yang sepertinya jauh lebih asyik daripada kelas orang dewasa yang serius). Dalam bahasa Arab, aksara yang digunakan tidak sekadar berbeda dari alfabet, seperti halnya aksara dalam bahasa Jepang, Korea, atau Cina, tetapi juga memiliki aturan cara membaca dan menuliskan yang berbeda-beda untuk tiap peletakannya (bentuknya di depan, tengah, dan akhir berbeda-beda). Belum lagi aturan kosa kata dan tata bahasanya yang juga tidak dapat disebut sederhana. Satu-satunya keberuntunganku adalah sudah menguasai cara membaca (membunyikan, tepatnya, karena aku tak benar-benar paham apa yang kubaca nyaring) rangkaian hurufnya berkat pelajaran mengaji yang kudapat sejak kecil, sama seperti kebanyakan orang muslim lainnya. 

Jadi, begitulah. Kurasa aku memerlukan lebih banyak waktu dan kesempatan untuk dapat sepenuhnya menaklukkan bahasa asing yang satu ini. Mohon doanya, ya, teman-teman, semoga suamiku yang juga sangat ingin mempelajari bahasa Arab ini juga kelak mau ikut belajar di kelas bocah.

Bahasa Terkeren

Kalau membahas pengalaman berbahasa, ada satu hal yang kusesali, yaitu belum mendapatkan pengalaman berbahasa daerah. Aku lahir dari pasangan berdarah Jawa, tetapi tidak terampil menggunakan bahasanya. Namun, penyesalan ini baru timbul setelah aku berkesempatan mempelajari Linguistik (di tingkat magister, yang jaraknya dengan bidang ilmuku di tingkat sarjana bagaikan dari Merkurius ke Neptunus) dan melihat betapa beruntungnya aku yang dibesarkan dengan bahasa ibu. 

Ada banyak hal yang kumaksud dengan beruntung. Aku tidak mengalami "bingung bahasa" dan speech delay yang kemudian menghambatku dalam belajar hal-hal lainnya pada usia dini. Tidak ada pula perbedaan penguasaan bahasa yang menghalangiku untuk tetap berkomunikasi dengan baik dan tetap menjalin bonding dengan orang tuaku sepanjang masa tumbuh kembangku hingga dewasa. Kemudian, hal terakhir yang paling besar nilainya bagiku adalah sebagai orang Indonesia asli, aku sepenuhnya menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. 

Ke negeri mana pun aku berkelana, aku dapat menjadi salah satu duta bahasa terbaik bagi tanah airku. Siapa lagi yang lebih baik dalam memperkenalkan bahasa dan budaya negeri ini kalau bukan orang-orangnya sendiri? Di mata bangsa lain, posisi kita–penutur jati bahasa Indonesia–sama berharganya dengan orang bule sebagai native speaker yang mengajar bahasa Inggris di sini. Secanggih-canggihnya aku menguasai bahasa Spanyol, Jepang, Korea, atau Arab kelak, sampai kapan pun sepertinya tak mungkin aku mengalahkan orang-orang asli dari semua negeri tersebut. Demikian pula sebaliknya. Di mata dunia, keunikan khas setiap bangsa begitu tinggi nilainya.


Maka, bukankah benar semboyan dari badan Bahasa Kemendikbud ini? 

utamakan bahasa Indonesia,

lestarikan bahasa daerah,

kuasai bahasa asing.

Senin, 20 September 2021

Literasi Sains: Sebuah Pemahaman dan Pendekatan


Dalam buku yang berjudul A History of Ideas in Science Education, De Boer menulis bahwa istilah Scientific Literacy (atau yang berarti kita terjemahkan sebagai “Literasi Sains”) pertama kali diperkenalkan oleh Paul de Hart Hurt, seorang ilmuwan dari Stanford University. Menurut De Hart Hurt, istilah tersebut merujuk pada pemahaman ilmu pengetahuan dan penerapannya di masyarakat. Sementara itu, dalam situs Gerakan LiterasiNasional dari Kemdikbud RI, literasi sains diartikan sebagai pengetahuan dan kecakapan ilmiah untuk mampu mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil simpulan berdasar fakta, memahami karakteristik sains, kesadaran bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan alam, intelektual, dan budaya, serta kemauan untuk terlibat dan peduli terhadap isu-isu yang terkait sains. Bagiku, berbagai kutipan ini menunjukkan luasnya pengertian literasi sains, sebagai bagian dari literasi. Namun, hanya dua hal yang ingin aku garis bawahi: ilmu pengetahuan dan pemanfaatannya.

Kata sains yang diartikan sebagai ilmu pengetahuan pada umumnya sebenarnya sesuai dengan salah satu pengertian yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V. Ya, betul … salah satu, bukan satu-satunya. Ada tiga pengertian yang diberikan di sana:

  1. ilmu pengetahuan pada umumnya;
  2. pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya, botani, fisika, kimia, geologi, zoologi, dan sebagainya; ilmu pengetahuan alam;
  3. pengetahuan sistematis yang diperoleh dari suatu observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya.

Mana pengertian yang paling sering kita pakai sehari-hari atau temukan dari lingkungan sekitar kita? Berdasarkan pengalamanku sendiri, sejak masih duduk di bangku sekolah hingga dipercaya mendidik anak-anakku sendiri, sebenarnya pemakaian kata sains di lingkungan sekitarku lebih jarang merujuk pada “ilmu pengetahuan” pada umumnya. Kebanyakan dari kita lebih banyak merujuk pada pengertian kedua, yaitu ilmu pengetahuan alam, saat menggunakan istilah sains.

Awalnya, aku sendiri cenderung memilih membiasakan diri dengan pengertian pertama. Baik ilmu pengetahuan alam maupun berbagai jenis ilmu pengetahuan lainnya seperti ilmu pengetahuan sosial dan budaya kuanggap sama-sama masuk dalam ranah sains. Ini berarti ketika sedang membahas literasi sains, sebenarnya kita sedang membicarakan dunia ilmu pengetahuan yang beraneka rupa dan nyaris tak terhingga luasnya.

Banyak orang yang mengaitkan literasi dengan buku. Mungkin karena itulah, tak sedikit juga yang mengira bahwa literasi sains terbatas pada pemerolehan ilmu pengetahuan dari bahan-bahan bacaan. Apakah ini berati literasi sains baru dimulai di bangku sekolah atau saat seseorang telah dapat membaca?

Aku tidak berpendapat demikian. Selain meyakini bahwa sains berarti beragam jenis ilmu pengetahuan, aku juga percaya bahwa setiap anak manusia dapat memulai petualangan literasi sainsnya sejak awal kehadirannya di dunia ini. Bayi baru lahir dapat memulai pelajaran pertamanya tentang mencari makanan sebagai kebutuhan pokok hidupnya melalui Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Anak batita belajar tentang perbedaan makhluk hidup dan benda mati dari rutinitasnya sehari-hari. Begitu pula dengan konsep gravitasi, perubahan wujud benda, keberagaman, dan toleransi yang tidak hanya boleh, tetapi memang harus dipelajari anak sejak usia dini.

Meskipun demikian, tidak berati para ibu atau ayah harus ambisius dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara khusus untuk anak-anak balitanya di rumah. Aku pribadi memilih cara yang—menurutku—paling mudah dan “hemat energi”. Untuk si bungsu yang belum berumur tujuh tahun, kumanfaatkan pendekatan free play sesuai teori pendidikan Waldorf yang digagas oleh Rudolf Steiner. Kegiatan yang lebih banyak membebaskan anak dalam bermain ini mungkin sekilas tampak tidak penting atau tidak berguna, padahal merupakan fondasi penting bagi anak sebelum memasuki usia sekolah. Menyediakan alam bebas untuk anak bermain, misalnya, tidak hanya berarti memfasilitasi anak belajar tentang hewan dan tumbuhan yang dilihatnya, tetapi juga menanamkan kebiasaan berempati pada makhluk hidup lain, mengasah keterampilan mengamati dan meneliti, serta menumbuhkan rasa ingin tahu yang tak terhingga.

Senin, 06 September 2021

Perjalanan Literasiku

Entah bagaimana awalnya, sejak dapat mengingat, rasanya aku memang selalu suka membaca. Apa saja yang ada teksnya pasti mengundang rasa ingin tahuku, seolah menarik-narikku untuk membacanya: mulai dari teks di botol sampo hingga teks di papan reklame. Tentu saja, benda yang paling menarik perhatianku adalah buku, yang memuat lebih banyak teks daripada benda-benda lainnya.

Buku yang paling sering kulihat dan kuingat memenuhi memori masa kecilku adalah buku-buku bacaan orang tuaku (misalnya yang berjudul "Bagaimana Mendisiplinkan Anak?"), ensiklopedia, majalah Bobo, dan buku pelajaran sekolah. Bagaimana dengan buku cerita? Sayangnya, buku jenis ini justru tidak banyak kukenal saat masih berseragam putih-merah. Alasannya sederhana saja: papaku yang sangat mementingkan pendidikan menganggap buku cerita bukan barang yang bermanfaat. Jika pergi ke toko buku, Papa keberatan jika aku minta dibelikan buku cerita. Buku pelajaranlah yang harus diutamakan. 

Saat aku mulai dipercaya untuk mengatur uang saku bulanan di bangku SMA, barulah aku berkenalan lebih banyak dengan buku-buku fiksi. Kurelakan berhemat dalam banyak hal (pilih bekal daripada jajan atau jalan kaki daripada naik ojek) demi dapat menabung untuk membeli novel-novel anak. Yap, betul, kau tak salah baca. Sementara teman-temanku mungkin sudah mulai membaca novel dewasa aku baru mulai mengoleksi novel anak seperti Lima Sekawan. 

Meskipun lambat memulai, aku sangat bersemangat melanjutkan petualangan literasiku. Saat kuliah dan tidak tinggal bersama orang tua, kesempatanku menyisihkan uang bulanan untuk membeli buku makin besar. Jenis bacaanku makin bervariasi dan jumlahnya terus bertambah. Saat pendidikan sarjanaku selesai, lemari bukuku yang tingginya mencapai langit-langit kamar telah penuh dengan koleksi buku bacaan yang kubeli sepanjang lima tahun masa kuliahku. 

Selain membaca, aku juga senang menulis. Terinspirasi dari beberapa cerita pendek yang pernah kubaca di majalah Bobo, aku sering menuangkan khayalanku dalam bentuk cerita pendek yang kutulis di sebuah buku tulis yang tipis. Setiap selesai menulis satu cerita, buku ini pasti berkelana ke mana-mana. Hampir semua teman sekelasku membacanya. Kadang-kadang beberapa anak kelas lain juga turut membaca.

Pada tahun terakhirku di SMP, aku mulai menulis novel. Berlembar-lembar kertas bergaris habis kutulisi dengan tangan sebelum akhirnya aku menulis dengan cara mengetik. Ini menjadi kegiatan sambilanku setiap mengulang pelajaran sekolah. Sebelum SMA, aku sudah menyelesaikan tiga jilid novel remaja. Sayangnya, aku tidak tahu ke mana harus menyalurkan karya-karya itu. 

Aku baru berkesempatan menerbitkan bukuku untuk pertama kalinya setelah Papa menjadikan buku itu sebagai souvenir pernikahanku pada tahun 2007. Karena sisanya sangat banyak, tanpa pikir panjang kukirimkan buku itu ke beberapa penerbit sekaligus. Belakangan, aku baru tahu bahwa ini bukan langkah bijak. Siapa sangka, ada lebih dari satu penerbit yang tertarik menerbitkannya.

Buku Fiksi Solo Pertamaku: Giginosaurus (Dar! Mizan, 2008)

Perjalananku membaca dan menulis terus berlanjut. Hingga kini, aku masih membaca beragam genre buku dan komik untuk kesenangan. Aku juga tak pernah berhenti menulis, meskipun tidak konsisten di satu jalur (pernah sibuk menulis buku ajar, serius menulis buku anak, asyik menulis novel remaja dan dewasa, juga tentunya semangat menulis blog seperti ini). 

Tak pernah terbayang olehku berhenti menulis. Bahkan, kupikir, inilah salah satu hal yang harus diperjuangkan selagi hidup. Bukankah meski kita sudah tak ada kelak, tulisan-tulisan kita akan tetap ada dan masih mungkin masih ada gunanya bagi yang hidup?

Begitu pula dengan membaca. Mungkinkah kita berhenti membaca selagi hidup? Sepertinya mungkin saja, tetapi aku tidak mau. Ada begitu banyak ilmu kehidupan yang tak mungkin diperoleh jika kita tidak terus membaca.

Perjalanan literasiku tak selalu indah dan mulus. Saat mengenangnya seperti ini, sesekali muncul perasaan sesal dan sedih. Misalnya saja terkait larangan membaca buku cerita banyak-banyak saat kecil atau usahaku mencuri-curi waktu untuk menulis novel saat duduk di bangku SMP-SMA. Namun,  memori-memori seperti inilah yang membuatku merenung lebih dalam, lalu dengan serius merencanakan dan menjalankan pendidikan literasi dalam keluarga kecilku. 

Bagaimana dengan perjalanan literasimu? Ceritakan juga, dong!


Selasa, 31 Agustus 2021

Merdeka dari Buku Bajakan

Dalam rangka turut memeriahkan bulan kemerdekaan negeri ini, komunitas Mamah Gajah Ngeblog menetapkan tantangan dengan tema yang masih berkaitan dengan "merdeka" bulan ini, yaitu "Budayakan Hidup tanpa Bajakan". Kalau dahulu kita berjuang agar merdeka dari status negara jajahan, sekarang marilah kita berjuang untuk merdeka hidup tanpa bajakan. Mirip-miriplah, ya. Bedanya hanya beberapa huruf. Yuk, ikuti ceritaku dalam rangka memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog ini.


Apa Itu Bajakan dan  Membajak

Kalau mengintip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) andalan kita semua, kata bajakan berarti hasil membajak. Namun, kata membajak sendiri mengandung beberapa makna, yaitu sebagai berikut:

1. melakukan perompakan (di laut); merompak

2. mengambil alih kapal terbang (kapal laut, bus, dan sebagainya) dengan paksa dengan maksud tertentu

3. mengambil hasil ciptaan orang lain tanpa sepengetahuan dan seizinnya.

Membajak dalam arti nomor satu dan dua sepertinya kurang sesuai dengan konteks yang diminta dalam tantangan ini. Dengan kata lain, kali ini kita akan fokus pada arti nomor terakhir untuk membajak: mengambil hasil ciptaan orang lain tanpa sepengetahuan dan seizinnya. Kalau begitu, menggunakan pengertian nomor tiga, kita dapat mengartikan bajakan sebagai hasil dari mengambil ciptaan orang lain tanpa sepengetahuan dan seizinnya. Hmm ... familier, tidak, dengan kata-kata ini? Bukankah ini berarti mencuri?

 

Terbiasa dan Tak Sadar Akan Apa yang Salah

Kalau diingat-ingat, dahulu aku sama sekali tak tahu soal bajak-membajak ini. Bukannya tidak pernah melakukannya, tetapi tidak sadar melakukannya dan tidak tahu bahwa itu salah. Ini paling banyak terjadi saat aku mulai berkuliah.

Mahasiswa mana sih di negeri berpenduduk dua ratus jiwa ini yang tidak pernah memanfaatkan jasa tukang fotokopi? Nah di antara kesibukan seputar fotokopian itu, bisa dipastikan ada kegiatan memfotokopi buku. Makin bagus bukunya (biasanya impor), makin laris buku itu di sini .... bukan dibeli, melainkan untuk difotokopi. Siapa yang sanggup membeli buku teks tebal full color sebagai referensi kuliah? Yang jelas bukan saya ... juga teman-teman saya.

Karena semua orang melakukannya, aksi ini jadi terasa benar. Seingatku, pada zamanku dulu, tidak pernah ada diskusi yang membahas betapa salahnya memfotokopi sebuah buku. Yang sering terdengar  justru pertanyaan semacam "Kenapa nggak fotokopi aja?" ketika ada yang belum menggunakan sebuah buku karena belum memilikinya. Jadi, tidak aneh membajak sebuah buku karena yang dianggap aneh adalah yang tidak melakukannya. Inilah paham yang tumbuh subur setidaknya di lingkungan sekitarku saat berkuliah dulu

Menolak buku bajakan

Keyakinan tentang tidak ada yang salah dengan membajak baru tergoyahkan setelah aku menemukan penjualan buku-buku selain buku teks, tetapi versi bajakan. Sebagai pecinta novel, komik, atau fiksi lainnya, aku cukup syok melihat pedagang yang menawarkan jenis-jenis buku favoritku itu, tetapi dalam bentuk yang kualitasnya jauh lebih rendah. Ternyata itu buku-buku bajakan. Entah bagaimana cara menggandakannya, tetapi kurasa semua orang yang teliti akan dapat membedakan kualitas kedua jenis buku itu. Mana yang lebih dipilih? Apakah akan ada yang menyukai barang dengan kualitas yang lebih rendah? Aku sih tak termasuk di antaranya.

Selanjutnya, yang makin membukakan mata adalah pengalamanku sendiri menerbitkan sebuah buku solo. Tidak ada penulis yang tidak ingin hasil karyanya dilihat atau dibaca sebanyak-banyaknya orang. Namun, tetap saja, setiap penulis ingin agar karyanya dihargai. Tak ada yang senang jika barang atau kekayaannya dirampok. Begitu pula penulis. Tak ada yang suka buah pikirnya dilipatgandakan diam-diam. 

Mengingat hal itu, sejak menjadi orang tua, aku selalu berusaha keras menghidari buku bajakan. Bagaimana caranya?

Melepaskan Diri dari Buku Bajakan

Memerdekakan diri dari buku bajakan bukan aksi sekali jadi. Sikap kita hari ini belum tentu sama dengan sikap kita besok, lusa, minggu depan, bulan depan, dan seterusnya. Apalagi dengan gempuran godaan di sana sini ... ini perjuangan seumur hidup, Bung! Karena itulah, kami mencoba menerapkan langkah-langkah berikut.

1. Langkah pertama adalah memeriksa, menganalisis, atau mengkaji  apakah suatu buku itu benar-benar kami butuhkan atau tidak.

2. Langkah kedua adalah memutuskan, apakah berdasarkan hasil pertimbangan di atas, buku tersebut perlu dibeli atau tidak.

3. Langkah ketiga adalah mencari toko atau pedagang terpercaya yang selalu menjual buku-buku asli (original), yang menjual judul buku yang kita cari.

4. Langkah keempat adalah memilih layanan yang paling lengkap dan ekonomis, kemudian membayar tagihannya. Ini penting dilakukan agar kita tidak kapok untuk terus membeli buku asli.

5. Langkah kelima adalah membayar, menunggu pesanan, dan membuka bungkusnya. 

6. Langkah keenam adalah membaca buku yang telah dibeli ini sepuasnya agar tidak menyesal karena telah membeli buku asli.

Kami mencoba menerapkan keenam langkah ini setiap kali dihadapkan pada pilihan keinginan atas sebuah buku baru. Semoga saja dengan usaha ini, tekad dan aksi menghindari buku bajakan dapat dipertahankan selamanya. Nah. Bagaimana denganmu? Apakah kita punya pandangan yang sama untuk urusan buku bajakan ini?