Senin, 25 Desember 2006

selamat hari natal

Salam perdamaian dariku, untukmu wahai sahabatku.
Tak ada yang lebih kuimpikan dari sebuah ketentraman atas hidup kita bersama,
hidup dimana kita dapat berdampingan
dengan senantiasa saling mencinta dan bertenggang rasa.

Hormat dan penghargaanku yang tertinggi
bagi siapapun yang juga memperjuangkan satu impian ini,
semoga Tuhan membalas jasamu.

Dan sesalku yang dalam
bagi siapapun yang telah merusak impian ini dan mengotori hatinya,
semoga Tuhan memberi petunjuk dan mengampunimu.


Teruntuk umat kristiani, sahabatku..
kuucapkan selamat merayakan satu hari besarmu ini.

Semoga kasih dan damai selalu di hatimu.



penuh cinta dariku untukmu,
- h e i D Y -

Jumat, 22 Desember 2006

MAMA

Apa kamu mengenal mamaku?
Bagi yang belum, mari kuperkenalkan.
Bagi yang sudah, hm...tidak apa ya, kuperkenalkan kembali.

Mama adalah contoh terdekat atas sosok seorang penuntut kesempurnaan. Seluruh panca inderanya adalah yang terbaik dalam mengenali segala bentuk kekurangan atau ketidakberesan. Buatku, sehari bersama Mama berarti melatih kesehatan jantung.

Dan apresiasi dari Mama adalah salah satu yang termahal di dunia ini. Apalagi terhadap masalah kebersihan dan masalah penampilan. Jika berhasil memenangkannya, rasanya aku setara dengan peraih emas olimpiade.

Oya.
Mama adalah satu-satunya yang bisa membuatku terlonjak sigap dari tidurku yang paling lelap sekali pun (yang bahkan ledakan bom pun tak mempan untuk membangunkanku). Sungguh luar biasa. Mungkin inilah keajaiban dunia ke-8.

Mama juga contoh terdekat seorang wanita dengan perasaan sehalus ...(Benda apa sih yang paling halus di dunia ini? Yah, itulah.) dan serapuh... (Terus benda apa yg paling rapuh di dunia ini? Yah, pokoknya itu.). Menjaga kualitas tutur kata dan perilaku adalah satu hal penting yang tak boleh terabaikan demi terjaganya perasaan Mama. Dan betapa menyakitkan juga bagiku, saat tersadar diriku telah menyakiti perasaan Mama. Dan yang sungguh menyedihkan, entah bagaimana hal itu sangat sering terjadi.

Nah, sejauh ini dari ceritaku, bagaimana kesanmu terhadap mamaku?
Seorang yang perfeksionis, ditakuti dan sering membuatku tegang?

Hm. Yeah. Tidak salah sih.
Tapi....itu baru sebagian dari dirinya.
Sementara, masih banyak bagian lain yang belum kuceritakan.
Kulanjutkan, ya.

Baru-baru ini, aku sering mendengar Mama menyebut dirinya sendiri ‘ibu durhaka’. Terutama sering kudengar di tengah masa ku jatuh sakit kemarin.
Kudengar penyesalan Mama atas ketidakhadiran dirinya di sampingku pada hari-hari awal ku jatuh sakit. Lalu merembet ke perihal jauhnya keberadaan dirinya dariku sejak aku masih duduk di bangku sekolah menengah.

Ibu durhaka....benarkah demikian?
Itu istilah ciptaan Mama sendiri..

untuk dirinya, seorang ibu
yang rela meninggalkan pekerjaannya demi tidur di sampingku yang diopname di rumah sakit,
untuk dirinya, seorang ibu
yang sempat dengan lantang berkata bahwa diriku lebih penting daripada perintah seorang presiden,
untuk dirinya, seorang ibu
yang tak pernah bosan menanyakan makanan yang masuk ke tubuhku setiap harinya dan tak pernah lelah menguliahiku tentang pola hidup sehat,
untuk dirinya, seorang ibu
yang nekat menyetir seorang diri selama 5 jam hanya untuk tujuan menikmati santap siang bersamaku yang tidak tinggal sekota dengannya,
untuk dirinya, seorang ibu
yang seringkali menangis tersiksa atas berbagai jenis kesulitan yang kualami,
untuk dirinya, seorang ibu
yang pikirannya selalu dipenuhi oleh diriku kala ia tidak ada di sampingku,
untuk dirinya, seorang ibu
yang pernah mempertaruhkan nyawanya demi kehadiranku di dunia ini.

Jadi...ibu durhaka?
Hmmppfhh...Mama, Mama. Ada-ada saja.
Haaa. Betul juga. Ini mengingatkanku tentang satu hal yang belum kusebut tentang Mama : beliau sering hiperbolis...

Nah, itulah mamaku.
Sebetulnya masih ada berjuta kisah lain tentangnya, yang mungkin dapat lebih baik menggambarkan betapa berarti sosoknya bagiku.
Tapi...ya, kurasa akulah yang durhaka karena saat ini tak banyak yang teringat olehku...

Mama, seorang ibu yang tiada duanya bagiku dan sosoknya tak akan dapat tergantikan oleh siapapun di dunia ini. Atas segala kelebihan dan kekurangannya, ia adalah sebaik-baiknya ibu bagiku. Atas segala ketidaksempurnaannya, ia sempurna sebagai ibuku.

Karena arus cintanya yang tak pernah melemah, karena gelombang kasihnya yang tak pernah putus, aku tumbuh. Tumbuh dengan hati yang penuh kasih, dengan energi yang tak pernah surut demi cinta. Oleh Mama, aku dikenalkan dengan cinta. Dari Mama, aku belajar mencinta.

Bahkan sosoknya yang perfeksionis, keras dalam mendidik, bukannya membawa keburukan bagi diriku. Justru itulah, yang menempaku menjadi seorang yang malu mengenal kata takut atau menyerah. Berkat Mama, aku siap menaklukan dunia.

Mama...
atas seluruh keringat yang dihasilkan karena diriku
atas seluruh air mata yang tumpah untuk diriku
atas seluruh darah yang dikeluarkan demi diriku
kutahu, takkan pernah mampu semua itu terbayar kembali olehku.

Mama...
Entah apa yang dapat kulakukan untuk (setidaknya) mengurangi segala kesusahanmu karena diriku selama ini.
Maka hanyalah DOA, yang kuyakin kan sampai padamu.
Sebuah doa
pada Yang Maha Pembuat Perhitungan, Yang Maha Pengasih dan Penyayang
agar berkah dan rahmatNYA senantiasa turun bagimu, wahai mama
agar pintu ampunanNYA senantiasa terbuka lebar bagimu, wahai mama
agar cinta dan kasihsayangNYA senantiasa tercurah atasmu
sebagaimana curahan cinta dan kasihsayangmu atasku yang tak pernah putus, wahai mama..

Mama...
walau mungkin tak sebanding denganmu,
takkan dapat menandingimu,
biarkanlah aku mengatakannya lagi, dan lagi,

aku mencintaimu.

- h e i D Y -

Dan selamat HARI IBU bagi semua bunda yang ada di dunia ini.
Semoga Yang Maha Kuasa senantiasa melindungi jalinan kasihsayang antaramu dan putera-puterimu, wahai ibunda..

Jumat, 08 Desember 2006

menguak hikmah, sebuah pilihan

Ya, ya ... akhirnya gue mengubah penampilan (blog) gue.
Kalau ada yang bertanya mengapa dan tujuannya apa, jangan mengharapkan jawaban yang keren ya. Nggak, nggak...nggak ada hubungannya sama citra diri atau idealisme lain kok. Ini hanya salah satu bukti nyata bahwa waktu luang yang gue miliki terlalu banyak dibandingkan dengan kegiatan pengisinya.

Betul. Dengan kata lain : gue kurang kerjaan alias iseng.

Dan mengapakah bisa demikian?
Karena. :-w
Mungkin, kerakusan gue menyantap dua penyakit berbahaya sekaligus yang kemaren itu meminta pembayaran yang tidak murah. Di antaranya yg paling menyedihkan (bagi gue) adalah kenyataan bahwa gue harus menarik diri dari aktifitas normal selama ini dan mendekam sebagai tahanan rumah selama berminggu-minggu.

Oke. Sekarang gue nomer satu setuju kalo ada yg berceramah tentang ‘mengambil hikmah’ dari sebuah pengalaman (tentu bukan gue doang kan, yang sering mendengar orang berkata, “sing sabar yaa. Ambil hikmahnya aja,” ?)

Man, ternyata menggali hikmah dari suatu pengalaman itu penting sekali...
Apalagi, terutama, jika pengalaman itu sangat BURUK....setidaknya jika dilihat, didengar, atau dirasa secara sekilas.

Dari pengalaman gue kemarin, mulai dari jatuh sakit hingga melewati berminggu2 masa pemulihan, bermacam pikiran dan perasaan datang berkunjung, bahkan ada yang sempat bercokol dan enggan pergi.

Mulai dari gue yang selama berhari-hari hanya bisa berbaring di tempat tidur dan tidak bisa tidak, harus bergantung pada orang lain bahkan hanya untuk hal-hal yang (biasanya) terasa sepele. Ini jelas adalah mimpi buruk bagi gue yang terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Keinginan gue buanyaaaak sekali, dan sungguh tersiksa sekali rasanya ketika hampir tiap detik gue harus memanggil orang lain demi memenuhi semua itu... :(


Dan tidak hanya itu. Ketika banyak orang mengira gue masih bisa mengisi hari-hari di atas tempat tidur itu dengan berbagai kegiatan kegemaran gue, gue hanya bisa meringis sedih. Membaca, misalnya. Gue yang biasanya bisa tenggelam dalam dunia buku selama 2x24 jam, mendadak hanya sanggup membaca selama 10 menit (lewat dari itu, huruf-huruf itu tiba-tiba terbang menari-nari di sekeliling gue). Menulis, apalagi. Entah bagaimana gue yang selama ini pecandu word processor tiba-tiba jadi tidak bisa mengetik lebih dari 3 atau 4 baris kalimat. @-)

Gue nggak lupa bersorak sorai bergembira saat mulai diperbolehkan duduk dan kadang-kadang berdiri atau berjalan tidak lebih dari 3 langkah (beneran deh, gue udah kayak bayi baru belajar jalan). Tapi kegembiraan itu tidak lama. Berhari-hari lamanya, yang rasanya seperti seabad saja, gue begitu merindukan kepulihan gue. Suka ngiler en ngiri kalo liat atau denger orang-orang dgn segudang aktifitas mereka di luar rumah.

Jadi...
Jujur saja kuakui, sejak awal aku sama sekali tidak memiliki sabar itu, ikhlas itu, bersyukur itu. Yang ada hanyalah sedih, marah, bahkan frustasi.

Ketika ada yang berkata, “sabarlah,” atau, “ikhlaslah,” atau “bersyukurlah,”
Dengan sedih, marah, dan frustasi kujawab dalam hati,
“Bagaimana bisa? Untuk satu hal seburuk ini? Heyy...aku tidak bisa merasakan nikmat apapun dari semua ini!”

Dan kenapa itu hanya kujawab dalam hati?
Tentu saja...aku sadar betul, pastinya saat itu ada begituuuuuuuu banyak orang lain yang sedang mengalami hal yang jaaaaaaaauuuuuuuuh lebih buruk dariku.
Dan bukan rasa rendah hati yang membuatku menjaga sikap.
Sebaliknya, “the pride” lah yang mengambil alih.
Aku, tidak mau dianggap tidak tahu diri.

Dan rasa tersiksa itu terus ada, seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diriku. Seperti apapun ku berteriak dan menangis, kelegaan itu tak pernah kunjung datang. Sungguh aneh. Padahal selama ini kukira menangis selalu bisa mendatangkan kelegaan...
Kenapa kini justru sebaliknya, yang kutemukan justru aku dan hidupku yang terasa makin suram??

Dan sampai kapan ini akan terus berlangsung?
Kapan semua ini akan berakhir?
Kapan aku bisa kembali bebas?
Kapan ku bisa bebas tersenyum kembali, tanpa harus bergantung pada apapun yang kualami?
Kapan ku bebas untuk berbahagia, atas pilihanku sendiri?

Lalu perlahan ku mulai paham.
Mengambil hikmah dari sebuah pengalaman bukan berarti berdiam diri dan menunggu sang ‘hikmah’ itu diturunkan begitu saja dari langit. Apalagi jika berdiam mematung dalam kubangan penyesalan dan berpangku tangan pada pesimistis.

Jadi...
Okelah, gue jatuh sakit.
Dan ternyata butuh waktu yang tidak sebentar untuk kembali pulih ke kondisi semula. Begitu banyak hal yang tadinya bisa gue lakukan dengan mudah, menjadi sama sekali di luar kesanggupan gue.
Sedih, marah, dan frustasi... tentu sajaaaaa, wajar sekali perasaan-perasaaan seperti itu muncul ke permukaan.
Terimakasih, kalian telah datang berkunjung. Sebagai penanda bahwa gue sedang medapatkan sebuah pengalaman yang berbeda, bahwa hidup gue sedang disentuh oleh warna krayon yang berbeda.
Tapi bahwa kemudian kalian menjadi penguasa atas perasaanku, atas kehidupanku?

Hohohho...maaf-maaf saja yaa.
Gue nggak selemah itu, dan gue nggak akan kalah atas keadaan.

Gue nggak bisa berjalan secepat biasanya,
tapi itu membuat gue bisa melihat lebih banyak, memperhatikan segala yang ada di sekitar gue, dan informasi yang masuk ke dalam kepala ini pun bertambah dengan kecepatan arus (hohho...oceanography, i miss u ) yang lebih besar dari biasanya.

Dan saat kesanggupan untuk membaca dan menulis sedang menurun drastis,
optimalisasi kemampuan untuk berbicara pun terjadi (tentu saja, ini tidak lepas dari peran seorang yang telah dengan sangat sabar dan rela hati menyediakan telinganya untuk gue bombardir dengan segala jenis celotehan, tanpa mengenal batas ruang dan waktu...bwahahhaha. thank u sooo much, darling... )

Dan karna berstatus sebagai tahanan rumah selama berminggu-minggu...
gue jadi menguasai lebih banyak resep masakan;
gue jadi nonton tv (fyi, sebelumnya gue hampir tidak pernah nonton tv sama sekali) sehingga jadi tahu apa yang terjadi pada dunia (oh my God! what happened to the world??!) dan jadi tahu artis (maaf utk para seleb yg selama ini selalu gue cuekin kalo papasan di jalan, mall, atw tempat2 lainnya ;)) );
setelah bisa baca, gue jadi nyentuh buku-buku yang nggak pernah gue lirik sebelumnya (yaa..berhubung waktu ‘masuk penjara’ kan gue nggak sempet bawa perbekalan bahan hiburan yg biasanya);
dan gue jadi mendandani blog tersayang ini, sekaligus agak-agak kenal ama bahasa html
...yippee... :D/

Lalu, apa yang gue dapet dari puluhan kali periksa darah yang gue jalani dalam kurun waktu kurang dari sebulan?
Hemmm. Let’s see...ada yang tertarik mengajukan nama gue ke MURI?
Yah, setidaknya, gue jadi punya lumayan tahu seluk beluk pengambilan darah.
Ada yang misalnya, juga pernah mengalami darah muncrat dari lengan yang baru diambil darahnya? Hihhhihii....berbagi cerita yuuks...

Trus, ada juga bagian agak seriusnya.
Berkat jasa dua penyakit yang kompakan mengunjungi gue di saat bersamaan itu, perkembangan kondisi kesehatan gue terus dipantau (terutama oleh sang ibu yang hargadirinya sbg dokter cukup terluka karna merasa kecolongan, kok bisaaa anaknya sampe kena penyakit nggak mutu gitu..ha3).
Dan berkat pemantauan yang cermat itu, sampailah pada penemuan (atau kesadaran?) akan adanya kelainan darah pada tubuh gue selama ini. Whoaaaaa. Dan itulah yg paling luar biasa. Saat itu, gue merasakan betapa luarbiasanya hikmah dari segala proses yang gue alami ini.

Hikmah itu kutemukan, karena ku mencarinya.
Karena dengan sengaja kuniatkan mencarinya,
karena ku bertekad untuk menemukannya.

Dan kenapa kukuniatkan pencarian itu,
Kucita-citakan untuk menemukan hikmah itu?

Karena ku sudah tak ingin lebih lama lagi diperbudak apapun...
Karena kuingin bebas, menjadi pemilik atas hidupku sendiri,
bebas melakukan apapun, merasakan apapun, atas pilihanku sendiri.
Cause I wanna be a winner, don’t wanna be a loser...

Aku ingin tersenyum,
maka aku akan tersenyum...
tanpa bergantung pada seberapa lama ku bisa berdiri..
tanpa bergantung pada seberapa jauh ku bisa berjalan..
tanpa bergantung pada seberapa banyak pekerjaan yang bisa kulakukan sendiri..
dan tanpa bergantung pada apapun, hal lain yang kualami di luar kuasaku.
Apapun itu yang pernah, sedang, dan akan kualami, takkan bisa memperbudak perasaanku,
tak akan bisa menghalangi aku, untuk menjadi pemilik atas hidupku sendiri.

Kuyakin, tidak ada golongan orang yang ditakdirkan untuk berbahagia, sementara sebagian yang lain tidak ditakdirkan untuk itu.
Yang ada hanyalah golongan orang yang MEMILIH untuk meraih bahagia itu, dan yang memilih untuk tidak meraihnya.
Nah, anda termasuk golongan yang mana?

Jumat, 17 November 2006

satu yang (kuingin) kekal...

yang sejak dulu kuimani,
tiada yang kekal di dunia ini

namun ampuni aku, ya Tuhan
jika ini sebuah dosa

saat kupinta ijinMu,
saat ingin kuyakini,
tentang abadinya satu rasa ini...

1511 2006
(dy)

Kamis, 09 November 2006

kala ku SaKiT

Ini pola selama 5 hari gue sakit di rumah (sebelum diopname) kemarin :
Siang – tidak demam, tapi pusing-pusing dan sakit perut
Sore – udah mulai demam, tetep pusing dan sakit perut
Malam – demam tinggi dan tetep pusing sakit perut
Pagi – demam turun, pusing dan sakit perut bisa agak diabaikan

Nah, jadi, waktu itu gue menyadari betul, gue lumpuh mulai siang sampe malem. :(
Maka sebelum turun perintah ‘bedrest total’ dari dokter yang tak lain adalah nyokap gue sendiri, gue pun sibuk ngatur strategi untuk beraktifitas.

Karna tahu bakal lumpuh di siang hingga malem hari, gue manfaatin pagi hari (saat sedang merasa segar bugar) dengan semaksimal mungkin. Mulai dari rutinitas seperti mandi, cuci muka, dan gosok gigi, sampai bekerja dengan komputer.

Waktu itu, gue ngerasain banget betapa yang namanya waktu itu sungguh sangat terbatas dan berharga sekali (dan tetep…narsis, gue merasa jenius karna bisa memanfaatkannya dengan baik ;;) ).

Sampai akhirnya perintah bedrest total itu datang. Dengan kata lain, gue lumpuh total. Apa-apa harus bergantung pada orang lain…ini, satu hal yang paling gue benci. Tapi mau bagaimana lagi. Saat itu, gue diharuskan demikian. :(
Gue bermanja-manja, tapi sambil stress berat. Gue marah banget terhadap diri sendiri. Kenapa..? Kenapa gue nggak bisa ngapa-ngapain sendiri? Kenapa gue mesti butuh orang lain? Kenapa gue mesti sakit?!?!?! :((

Gue merasa tidak ada satu hal berguna, sekecil apapun, yang dapat gue lakukan saat itu. Dalam kondisi seperti itu, hal apa yang bisa membuat gue berguna?
Dan tiba-tiba gue merasa sudah tidak jenius lagi. :-<

Waktu pertama kali masuk rumah sakit, gue setengah mati nolak naik kursi roda. Padahal waktu itu badan rasanya udah lemes banget dan katanya gue terlihat putih sekali (aslinya gelap gitu loh )…saking pucatnya.
Setelah akhirnya menyerah, gue duduk sambil stress celingukan kesana kemari, berdoa moga-moga nggak ada yang kenal dan liat gue…(siapa juga yang mau keliatan kayak nenek-nenek di usianya yang masih muda belia begini…duh, plis deh! )

Awalnya, nggak banyak yang tau kalo gue sakit.
Alasan gue nggak bilang-bilang ya itu….rasanya gue ogah deh, orang-orang kan jadi pada liat gue yang sedang nggak oke...hmmppfh…hahhahha parah juga ya pikiran gue.
Eh..yaa..tentunya, itu alasan selain gue juga udah nggak sanggup berkomunikasi dengan orang lain…

Sesering-seringnya gue sakit, baru kali ini gue jatuh sakit separah ini.
Menderita sekalilah pokoknya.
Pas demam, kalo nggak rasanya menggigil sampe kebayang mau mati, kalo nggak ya rasanya seluruh badan menguap sampe kebayang mau mati juga. Trus belum lagi nyeri di perut yg selalu setia, kepala yg pusingnya ampun-ampunan, dan nafas yg sesak. @-)
Pokoknya, baru kali ini TIAP DETIK gw mikir kemungkinan nyawa gue bentar lagi diambil...hadduhhhh...
Aduh Tuhan, gue kan belon kawin, novel gue belon terbit pula..masa sih gue mati sekarang...ya kira-kira begitulah jeritan hati gue tiap kali ketakutan mau mati...
Bahkan gue sempet nangis aja gitu, pada suatu hari ketika kondisi gue dilaporkan terus memburuk. Sumpah waktu itu gue ketakutan banget…

Hahahaha. Dasar ya, inilah bukti bahwa sebenarnya manusia itu lemah sekali...
Saat-saat seperti itu, gue seolah diperlihatkan olehNya bahwa segala kebanggaan yang gue punya jadi nggak ada apa-apanya. Semua itu bisa saja lenyap dalam sekejap. [-)

Dan, gue baru benar-benar merasakan betapa hal-hal yg gue pikir sepele justru bisa memberikan pengaruh yang besar. Dukungan dari temen-temen lewat sms, telepon, atau bahkan kunjungan…nggak pernah gue kira sama sekali sebelumnya bahwa semua itu bisa memberikan kekuatan yang luar biasa. Huhhuuu…jadi terharu. Terimakasih ya teman-temanku yang tercinta.. :-*

Lalu pada suatu hari, nyokap gue bertanya.
“Heidy menganggap semua ini ujian, atau anugerah dari Allah SWT?”

Dengan cepat (dan polos), tentu gue menjawab … “Ya ujian, dong, Ma.”
(Ya iyalah ujian…jelas-jelas gue menderita banget gini! Masa’ anugerah?? :-w
)

Tapi setelah itu nyokap gue meminta gue berpikir ulang, merenungi kembali segala yang gue alami. Hmm…coba, coba…memangnya apa aja yang gue alami?

Satu.
Gue kesakitan banget. :((

Dua.
Trus minta-minta ampun ama Tuhan ^:)^ , janji nggak nakal lagi deh (nggak nakal lagi = makan cukup dan bergizi, minum yg banyak)

Tiga.
Kebayang-bayang mau mati, takut banget.. Apalagi belom kawin dan belom jadi orang beken. Trus mohon-mohon supaya dikasih perpanjangan waktu idup. [-O<

Empat.
Gue pastinya keliatan nggak oke banget. Segala kebanggaan dan kesombongan runtuh. :-<

Lima.
Gue jadi banyak bergantung pada orang lain. Sekali lagi, segala kebanggan dan kesombongan runtuh. Ternyata gue bukan superman. :-<

Enam.
Walau gue lagi nggak tampak oke, banyak orang datang sekedar ngeliat gue. Jadi berasa penting…hahaha…eh bukan bukan. Yang jelas, gue mendapat banyak siraman cinta kasih dari teman-teman. Dan nyokap jadi gaul, kenal banyak temen gue. :D/

Tujuh.
Gue dipaksa istirahat dari rutinitas selama ini, berenti sejenak untuk ngebenerin pola hidup yang buruk selama ini… #:-S

Lho…lho…kok tulisannya jadi begini yah.
Perasaan awalnya tadi mau ngedumel-dumel. :))


Yah, intinya, akhir cerita, perenungan gue membuahkan perubahan pandangan.
Pandangan bahwa tadinya gue menganggap semua ini ujian, berubah menjadi sebaliknya.
Man…ternyata gue tuh bukannya lagi dapet cobaan, tapi dikasih anugerah.. [-)
Habis, coba ya.
Gara-gara sakit ini, gue jadi deket lagi ama Tuhan. Jadi sering ngobrol-ngobrol gitu kan.
Terus jadi sadar diri akan…yah, banyak hal. Belum lagi dapet perhatian dan kasih sayang dari semua orang yang mencintai gue…duhh. I’m so lucky….:P

Rabu, 08 November 2006

oleh-oleh lebaran

Untuk saudara-saudara seiman,
Selamat idul Fitri!
Minal aidin wal faidzin,

mohon maaf lahir dan bathin…
Hee…kata-kata di atas terbilang terlambat ya, kalau baru gue publish sekarang?
Mengingat sekarang sudah dua minggu berlalu sejak hari lebaran.
Yah…tentunya ada cerita, di balik semua ini (kapan sih gue nggak punya cerita ;) ).

Sudah beberapa tahun terakhir ini gue udah nggak punya agenda ‘mudik’ saat lebaran.
Lha, udah nggak ada yang di-mudik-in…
Maka, silaturahmi keluarga pun hanya berlangsung di kota tempat tinggal saat ini : Jakarta dan Bandung. Ditambah satu agenda kecil berkunjung ke suatu tempat lain…

21-22 Oktober 2006Kami sekeluarga (bokap, nyokap, gue, ade gue, ade gue lagi) berkunjung ke daerah pantai Pangandaran yang baru terkena tsunami baru-baru ini.
Perjalanan Bandung-Pangandaran yang normal waktu tempuhnya 4jam kami tempuh selama 9 jam! Yah maklumlah, kan berjalan seiring seirama dengan para pemudik…Sebagai pengemudi, dibutuhkan ekstra kesabaran untuk menghadapi macetnya lalu lintas dan bawelnya para penumpang. Fiuhh.
Di Pangandaran, gue takjub melihat daerah sepanjang pantai. Masih inget banget gue gimana pemandangan Pangandaran yang gue liat 2 tahun yang lalu. Dibandingin dengan sekarang, bedanya banget bangetttt…. /:)

Pantai Pangandaran yang dulunya selalu penuh manusia, kios-kios berjejalan, sampah bertebaran dimana-mana, sekarang jadi bersiiiiiiiiiiiiih sekali. Subhanallah…gue masi inget dulu waktu ngadain aksi bersih pantai di sana, yang sampe rada2 frustasi saking kotornya itu pantai…dan semua itu sekarang lenyap hanya dengan satu terjangan gelombang laut… ^:)^
Trus, prihatin sekali rasanya waktu berkunjung ke kamp penampungan para korban bencana. Sudah hampir 4 bulan setelah bencana, tapi mereka semua masih hidup darurat di sana. Walaupun jumlah pengungsi di sana jauh lebih sedikit daripada para pengungsi di Aceh, mereka kelihatan jauh lebih sengsara. Sepertinya nggak banyak yang memperhatikan mereka selama ini. Kalo waktu di Aceh gue liat mobil-mobil raksasanya NGO-NGO berseliweran dimana-mana, di Pangandaran gue nggak ngeliat satu pun tanda-tanda ada NGO. Kenapa begitu ya? :-?
Perjalanan pulang dari Pangandaran yang diharapkan akan lebih mulus daripada waktu perginya ternyata melenceng jauh dari harapan. Sempet selama tiga jam kami berkendara dengan kecepatan 10 meter per 10 menit. Stres abiss. :((

23 Oktober 2006
Setelah menginap semalam di rumah Bandung, kami sekeluarga kembali ke Jakarta. Nah, kali ini perjalanan penuh derita sebelumnya terbayarkan dengan puas. Jalanan Bandung-Jakarta kosong melompong! Gue pun meluncur dengan penuh sukacita, Bandung-Jakarta ditempuh hanya dalam waktu 1 JAM! Huehehehheee…Dan eh, ini gue mengemudi dengan baik loh. Everthin’s under control. Malah kadang-kadang bokap bilang masih kurang kenceng….:-j
Sampe rumah Jakarta, ceritanya mau kerja bakti bersih-bersih seisi rumah. Tapi entah kenapa badan gue menolak ikut. Pusing luar biasa. Trus gue tidur, tp dengan sindiran-sindiran tiada henti dari nyokap (nyetir 1 jam aja istirahatnya 5 jam…) Hiks.
24 Oktober 2006Lebaran! Ngikut kepala keluarga, gue berlebaran di tgl 24 Oktober. Ini pertama kalinya kami sekeluarga jadi host untuk keluarga bokap. Keliatannya kerjaannya sepele, tapi maaak….capenya ampun-ampunan.
Di sore hari smua orang tepar, maka kita pun membatalkan semua rencana berkunjung ke rumah keluarga yang lain yang ada di Jakarta jg. :(

25 Oktober 2006Akhirnya, hari ini menjadi hari berkeliling ke rumah eyang-eyang. Agenda ini selalu jadi agenda favorit gue n ade gue tiap tahun. Soalnya, tiap berkunjung ke rumah saudara-saudara kita ini, pasti tak akan pulang dengan tangan eh kepala kosong. Oleh-oleh cerita selalu ada.
Di rumah eyang ketiga, gue pusing-pusing lagi. Gue terus-terusan bersandar di sofa. Tiap disuruh berdiri rasanya pengen nangis. Sakit banget. Eyang gue negur gue soal menjaga kesehatan. Dan satu kalimatnya yang gue inget banget, “Ati-ati lho. Kalo pusing dibawa tidur nggak ilang, berarti ada yang nggak beres,” [-X
Waktu itu gue nggak terlalu serius nanggepin kata-kata itu. Yang gue yakini, anemi dan darah rendah gue kambuh. Itulah yang nggak beres, jadi seharusnya pasti ‘terbayar’ dalam beberapa hari.

26 Oktober 2006
Setelah sekali lagi berkunjung ke rumah eyang gue yang lain, kami berlima pulang ke Bandung. Gue masih ngerasa nggak fit, tapi kok rasanya gue merasa terhina ya kalo bokap yang nyetir. Cara berpikir gue begini : kalo nanti sampe rumah gue nggak enak badan lagi, pasti gue nggak bias ngapa-ngapain. Kalo gue nyetir, at least I’ve made myself useful Jadi, kembalilah gue menyetir.
Sore harinya, habis makan gue langsung pingsan sampe pagi.

27 Oktober 2006Gue bangun dengan segar bugar. Tapi di siang hari pusing-pusing lagi. Bokap, nyokap, n ade bungsu gue pulang ke Jakarta. Malam harinya demam lagi. Perut sakit.
28 Oktober 2006Periksa darah. Hasilnya belum mmberi kepastian yg jelas, tapi nyokap curiga gue kena typhoid. Gue nggak boleh jalan-jalan. Disuruh bedrest. :(
29 Oktober 2006Badan makin nggak enak. Gue menderita kalo diajak ngomong atw mikir. Banyak sms tak terbalas, telepon tak tertanggapi dengan baik. Maafkan yaa…
Oya si ade bungsu kembali datang demi diriku…huk huk jadi terharu. Ade cowo yg satu ini bener2 tiada duanya deh. He took care of me very well. Masi abg tapi masakannya enak sekali looh….nyam nyam… =

30 Oktober 2006Periksa darah lagi. Hb yang tadinya uda rendah, turun lagi. Dan gue makin menderita… Malemnya, ayahbunda datang kembali. Kami tidur bertiga sekamar, dengan gue yang nggak bisa tidur semaleman karena demam. (:
31 Oktober 2006
Nyokap bawa gue ke temennya yang praktek di RS Advent Bandung. Eh abis itu nggak boleh pulang lagi. Langsung opname.

Setelah itu gue kemping 6 hari di rumah sakit, menghabiskan 17 botol infus dan 1,5 tabung oksigen. Dan sakit apakah gue? Hehehe…agak-agak rakus, gue ambil paket Demam Berdarah dan Typhus sekaligus. :P

Sekarang ini gue sedang dalam masa pemulihan. Masih tidak boleh banyak berdiri, berjalan, dan bekerja. Masih banyak makanan pantangan. Masih banyak obat yang harus diminum pada jam-jam tertentu. Sampai kapan ya? :-S Yah…doakan saja lah ya.

Nah, itu oleh-oleh gue dari lebaran taun ini. Rencana kegiatan pengisi sisa liburan gue yang udah dari kapantau disusun gagal total. Sebagai gantinya, gue diberi kesempatan untuk menghabiskan sisa liburan dengan mempelajari bagaimana berdamai dengan rasa sakit….:-<

Senin, 16 Oktober 2006

tentang sebuah kePERCAYAan, tentang sebuah HARAPAN

Dalam sebuah kesempatanku berkenalan dengan seseorang,
aku bercerita tentang satu pengalamanku.
Tanpa maksud lain selain berbagi pengalaman, aku bercerita dengan energi yang meluap-luap. Semangat, sepenuh hati.

Apa yang kuharap tentang responnya?
Tidak ada. Soalnya, aku memang tidak bercerita dengan harapan mendapat respon tertentu.
Tapi betapa terkejutnya aku, saat kalimat pertama yang meluncur dari mulutnya seusai ku bercerita adalah berupa tuduhan.
“Kamu bohong, ya?” katanya sambil melihatku dengan mata menyipit.

Aku sama sekali tidak berpikir atau menduga-duga sebelumnya tentang respon apa yang akan kuperoleh atas ceritaku. Tapi, respon yang satu ini benar-benar terasa seperti petir yang menyambar di siang bolong.
Aku tidak bisa berkata-kata, hanya menatap sang kenalan baru dengan ekspresi tanda tanya besar. Kata-kata yang tak tersampaikan padanya secara langsung itu, yang hanya berhamburan dalam kepalaku saat itu, adalah :
H..how? Why? How?
How could u say that?
We’ve just even know each other, yet u said such those words?
Geez. Put aside the truth, u really don’t know anything about manner, do u?!

Aku meninggalkan sang teman baru dengan perasaan tersinggung berat.
Maklum, tidak tiap hari aku berkenalan dengan seseorang yang tanpa tedeng aling-aling langsung menyatakan ketidakpercayaannya pada diriku.

Pikiran dan perasaan penasaran tentang sang kenalan baru hanya muncul sebentar. Tak lama, aku bahkan sudah hampir melupakan keberadaannya.

Tapi tak terduga, Tuhan berkehendak lain.
Aku kembali bertemu, dan berinteraksi dengannya, dalam sebuah kegiatan.
Saat itu, aku kembali mendapat kesempatan melihat dan mendengarnya.
Mendapat kesempatan untuk kembali memperhatikannya, berusaha memahami pemikirannya, berusaha mengerti perasaannya.

Dan tanpa ada lagi rasa tersinggung, rasa marah atau rasa kecewa,
aku bisa dengan mudah melihat, mendengar, dan merasakan dirinya.

Ia, seperti diriku, hanya seorang anak manusia
yang telah berjalan ratusan atau ribuan langkah,
dan mungkin masih akan berjalan puluhan atau ratusan ribu langkah lagi.
Ia, seperti diriku, hanya seorang perempuan,
yang hatinya telah sempat berkenalan dengan rasa manis dan pahit,
dan mungkin masih lagi akan berkenalan dengan jutaan rasa lainnya.

Dan apa yang pernah terjadi dalam hidupnya,
dari ketinggian seberapa ia pernah terjatuh dari terbangnya,
hingga sedalam apa lukanya yang tertoreh dan belum tersembuhkan,
aku bisa melihat, mendengar dan merasanya.
Dan segalanya pun terjelaskan.
Tentang timbunan prasangka, tentang ketidakpercayaan yang senantiasa
menyelimuti pikiran dan perasaannya.

Ia, seperti diriku, hanya seorang anak manusia, seorang perempuan,
yang pernah memberikan penuh sebuah kepercayaan,
namun merasakan satu kekecewaan besar atas harapannya.


Tentang sebuah kepercayaan, ada satu harapan di sana.
Dan tentang sebuah pengharapan, ada peluang akan satu kekecewaan di sana.

Menghapus kemungkinan untuk kecewa, kurasa siapa pun menginginkannya.
Dan bukan tak mungkin, bukan tak mudah mewujudkannya.
Bunuh saja impian itu, buang saja harapan itu.
Maka dijamin, tak akan kau cicipi sebuah kekecewaan.
Ya, segampang itu.

Aku sendiri pernah mengambil pilihan itu.
Terjatuh dan terluka parah setelah terbang tinggi
dan dihadiahi satu kekecewaan atas sebuah harapan,
membuatku takut untuk terbang lagi,
membuatku takut untuk kembali merengkuh harapan.

Jika tidak terbang, takkan mungkin ku terjatuh.
Jika tidak berharap, takkan mungkin ku kecewa.
Jika tidak percaya, takkan mungkin ku dikhianati.

Maka aku pun tidak terbang, tidak berharap, tidak percaya.
Dan benar aku pun tak terjatuh, tak kecewa, tak dikhianati.

Namun....
Selain tak lagi ada kemungkinan untuk jatuh,
aku juga tak lagi mendapat kesempatan
untuk menyaksikan segala yang indah dari ketinggian,
untuk merasakan bebas, lepas dan nikmatnya terbang.

Dan tiadanya peluang untuk kecewa pun terjamin
dengan tiadanya pula peluang terpenuhinya harapan.
Dan pergi pula sebuah kesempatan
untuk merasakan nikmatnya bermimpi.

Kemudian saat kupastikan takkan terkhianatinya diriku
dengan mewaspadai siapapun yang mencoba mendekat,
mengapa tetap tak bisa kurengkuh rasa aman itu?
Mengapa, tetap tak kunikmati nyaman,
walau prasangka dan jarak tlah kucipta
demi melindungi diri ini?

Sungguh, aku lelah.
Dan mengapa tak pernah ada
nikmat yang betul membahagiakan
setelah setumpuk lelah itu?

Itukah yang kuingin?
Membungkus diri untuk mencegah adanya luka
dan membuang kesempatan untuk merasa nikmatnya hidup?

Bukan, bukan itu...
Bukan itu yang kuingin!

Aku ingin bebas itu...
aku ingin lepas itu....
aku ingin nikmat itu...
Yang kuingin, HIDUP itu.
Yang kuingin, IHKLAS itu.
Yang kuingin, CINTA itu.

Dan saat ku percaya, saat ku berharap,
bukan karna kutahu ku takkan terkhianati,
bukan karna kutahu ku takkan terkecewakan.

ku percaya,
karena ku ingin percaya.



- h e i D Y -
yang HIDUP, yang IKHLAS. yang PENUH CINTA.

Rabu, 13 September 2006

jika aku berkata cinta

jika aku berkata cinta
aku dapat mengatakannya padamu,
ya, kamu, yang sekarang ada di sampingku...

jika aku berkata cinta
aku dapat mengatakannya padamu,
ya, kamu, yang sekarang ada di hadapanku...

jika aku berkata cinta
aku dapat mengatakannya padamu,
ya, hey, kamu yang ada di situ!

jika aku berkata cinta
aku dapat mengatakannya padamu,
ya, wahai kamu yang ada di sana!

jika aku berkata cinta
aku ingin membisikkannya padamu, padamu, padamu, dan padamu
jika aku berkata cinta
aku ingin meneriakkannya pada dunia

aku ingin mencintaNYA
yang hadir dalam dirimu, dirimu, dirimu, dan dirimu
dan dalam setiap jiwa lainnya di alam semesta ini

dan,
tentang seseorang,
Tuhan...ijinkan aku mencintanya

teruntuk seseorang,
aku tidak ingin, mencintamu
bagai satu jiwa lain melebihi yang lainnya
namun yang ku ingin, mencintamu
bagai separuh jiwa yang adalah bagian dari jiwaku sendiri


1009 2006
(dy)

Senin, 21 Agustus 2006

Apa Gue Gila ???

Apakah orang gila tahu bahwa dirinya gila?
Katanya sih nggak mungkin.
Dgn kata lain, kata orang, orang sakit jiwa nggak mungkin bilang 'gue sakit jiwa'.
Tapi gue nggak yakin itu bener.

Soalnya, sempat pada suatu masa, beberapa waktu yg lalu, gue begitu.
Gue sempet curiga bahwa gue sakit jiwa, tapi relieved karna ada pikiran "Ah, ngga mungkin gila beneran. Kan katanya orang gila nggak akan tau dirinya gila?"
Walau gue nggak tau tepatnya kondisi gue waktu itu disebut apa, tapi gue yakin sekali kondisi jiwa gue sedang tidak sehat.
Dan tidak sehat = sakit, kan?
Dan nyaris memotong kabel telpon, nusuk supir angkot pake payung, ngiris-ngiris tangan atau makan tissue (padahal masih ada nasi), itu bukan termasuk gejala orang waras, kan?
Coba, coba....kok bisa2nya ya waktu itu, gue lebih tertarik ama tissue daripada nasi dan daging? Ck ck ck.

Eits, jangan ketawa!
Eh enggak ding, kalo cuman ketawa sih boleh.
Yang gue sarankan jangan adalah menertawakan dengan hina.
Dulu, gue nggak abis pikir kalo denger kabar tentang orang yg nyoba bunuh diri.
Apa dia nggak mikir, dengan begitu tetep aja dia nggak nyelesein masalah?
Okelah masalah di dunia ditinggalin, lha di akherat begimane?
Di neraka selamanya, bukan?

Sekarang, gue bisa menebak jawabanannya.
Man....gue juga tau, tissue tuh nggak enak.
Gue juga tau, ngiris tangan, nusuk supir angkot atau motong kabel telpon tuh nggak ada untungnya.
Gue masih bisa mikir, kok.
Pikiran gue jelas-jelas masih berkata bahwa segala yang gue lakukan itu enggak bener, enggak baik.
Tapi entah bagaimana, masih ada yg ngalahin pikiran itu.

Jangan minta gue cerita tentang hal apa yang membuat gue jadi seperti itu.
Menurut gue, parameter berat ringannya masalah itu relatif.
Dan jujur, gue malu sekali kalau harus mengingatnya lagi.
Masalah gue, mungkin terbilang ringan bagi temen-temen yg lain.
Tapi pemikiran itulah yg bikin gue makin stres.Justru dengan berulang kali berkata pada diri sendiri, "Masalah elo tuh cetek, nggak ada apa-apanya. Ello tuh sebenernya nggak punya masalah apa-apa lagi, jangan cengeng ah!", pada akhirnya gue nggak kuat lagi, meledak, dan jadi gila.

Gue nggak tau apa istilah psikologi yg tepat utk kondisi gue saat itu.
Tp yg jelas, gue tau, jiwa gue tidak baik-baik saja.
Sebisa mungkin gue menghindar bertemu dengan orang yg akan bertanya, "apa kabar?"
Karna pasti, kebohonganlah yang terucap.

Jiwa gue, waktu itu tidak baik-baik saja.
Gue bisa merasakan perang antara 'pemikiran waras' dan 'pemikiran gila' dalam diri gue. Misalnya begini....
Si gila : Lakukan!
Si waras : Jangan, gila, apa?!
Si gila : Iya, emang gue lagi gila, kan?
Si waras : Elo nggak gila! Elo yang kepengen gila!
Si gila : Iya, emang pengen, trus napa? Elo juga pengen kan? Nggak usah sok manis deh...

Sekali lagi, utk yg belum pernah (gue doakan nggak akan pernah) mengalami ini, gue sarankan utk nggak tertawa meremehkan dan bilang 'Ah, parah. kayaknya nggak mungkin banget ini terjadi pada gue,"
Elo, nggak tau rasanya.
You haven't been there.

Dan gue bisa bilang begini, karna gue juga dulu sering ngomong begitu.
Kpd orang-orang yang sudah lebih dulu pernah mengalami ketidakwarasan yang saya komentari seenaknya, maafkan saya ya... now i know how u feel..

Hal di atas bisa gue ceritakan dengan santai karna saat ini insyaAllah gue sudah keluar dari fasa itu.
Penyakit aneh itu, alhamdulillah akhirnya sembuh.
Fyi, obatnya tak lain tak bukan adalah agama.
Ehm...mungkin ketimbang 'agama', lebih tepat disebut 'kembali pada Tuhan'.
Dan dlm kasus gue, salahsatu caranya adalah dengan ikut pengajian, dengerin ceramah, dzikir n solat.

Kalo ada yg tanya...sesimpel itu?
Jawabannya : yeah, sesimpel itu.

Kegilaan itu diawali oleh sesuatu yang rumit, lahir karena keruwetan pikiran, yg pada akhirnya terobati hanya dengan menyerah pada kesederhanaan.
Dan dengan kembali pada Tuhan, kesederhanaan itu tiba-tiba saja terlihat dengan jelas.

ADA yg bisa mengalahkan kekuatan nafsu pikiran itu...
ADA yg bisa menghentikan perang pikiran itu...
dan keberADAannya tidak jauh, sungguh.
Berhenti sejenak dan dengarkan hati.
Selama ini, ternyata DIA ada di sana.
Selalu ADA.
DIA tak pernah pergi, tak pernah menjauh.
Akulah yang melupakannya, dan tanpa sadar pergi menjauh.

Ya Allah, aku tak akan memohonMU untuk tidak menjauh dariku.
Karena KAU, bagaimana pun memang tak pernah pergi.
Tapi...bolehkah aku memohon bantuanMU untuk menjaga langkahku,agar selamanya tak akan pernah lagi tergelincir menjauh dariMU?


Bandung, 14 Agustus 2006.

Minggu, 13 Agustus 2006

Matematika dan Masalah

Akhirnya, sempat juga kembali menyentuh komputer!
Fiuhhh....ehehehehe. #:-S
Ini serius loh, engga main-main dan engga hiperbolis.

Kira-kira mulai dua minggu yang lalu, saya memasuki dunia pendidikan.
Jadi selain penulis, profesi saya sekarang adalah pengajar (backsound: cieee..ehm, ehm! )
Namun sampai hari ini, pekerjaan baru saya itulah yang lebih menyita waktu....
Komputer tak tersentuh, bahan tulisan pun menumpuk dalam kepala...huhhuu.... :(

Ya, saya bergabung dengan sebuah lembaga bimbingan belajar, menjadi salah satu staf pengajar di sana.
Mata pelajaran yang saya geluti adalah matematika.

Sejak kecil saya memang menyukai matematika, walau sangat jauh dari predikat jenius.
Namun, tidak sejak awal saya telah memutuskan untuk mengajar matematika.
Awalnya, saya tidak bisa memilih antara matematika dan Bahasa Inggris.
Keduanya merupakan hal yang selalu saya sukai sejak di bangku sekolah dulu hingga sekarang. ;)

Waktu diadakan tes potensi akademik (dalam hal ini bukan tes IQ, melainkan benar-benar tes sesuai mata pelajaran yang dipilih).
Di antara kedua mata pelajaran yang saya minati, saya memutuskan untuk menjalani tes bahasa inggris terlebih dulu.
Kenapa?
Karena menurut saya itulah yang termudah, yang saya yakin dapat menyelesaikan semuanya TANPA MASALAH (soal-soal anak smp, gitu lho!)./:)

Tapi ketika mengikuti tes praktek (presentasi mengajar di depan kelas), barulah saat itu saya menyadari kelemahan saya.
Saya merasa bahwa Bahasa Inggris itu sangat mudah, karena tidak pernah merasa mendapat masalah dalam mengahadapinya.
Karena tidak sadar akan adanya masalah, saya pun tidak sadar tentang bagaimana saya menyelesaikannya, tidak sadar tentang apa yang saya pelajari.
Tidak ada masalah, tidak ada pelajaran, lalu apa yang bisa saya ajarkan? #-o

Beda halnya dengan matematika.
Saya mungkin tidak cerdas, mungkin tidak merasa bahwa soal-soal matematika adalah sangat mudah, tapi saya tidak mau berhenti sebelum dapat menyelesaikannya.
Sebuah soal matematika berarti sebuah tantangan, dan saya menyukainya. =
Sebagai seorang yang tidak jenius, tidak jarang saya mengerutkan dahi ketika mengerjakan matematika.
Saya sadar akan masalahnya, sempat mengetahui dimana letak kesulitannya, barulah saya merangkak menelusuri jalan penyelesaiannya.
Dan saat dapat menemukan pintu keluarnya, selama apapun waktu yang harus dihabiskan untuk itu, rasanya tidak ada yang dapat mengalahkan kepuasan saya.

Saya kira saya BERUNTUNG karena tidak pernah bermasalah saat menghadapi bahasa.
Tapi ternyata tidak demikian. [-)
Saat menghadapi matematika, saat merasakan adanya masalah, di sanalah saya belajar.Dan di sanalah terdapat KEBERUNTUNGAN YANG SEBENARNYA.

Matematika dan Masalah.
Ini mengingatkanku pada hal lainnya : Kehidupan dan Masalah.

Saat menghadapi hidup, pernahkah aku merasakan adanya masalah?
Tidak jarang.
Tidak jarang aku jugkir balik karena masalah hidup.
Tidak jarang aku menangis histeris, stres oleh masalah dalam hidup.
Tidak jarang aku merasa iri pada orang-orang yang KELIHATANNYA beruntung, hidup tanpa masalah.

Tapi, ada yang sangat-tidak-tidak-jarang.
Sangat jarang aku menyadari bahwa masalah dalam kehidupan telah membuatkubelajar.
Sangat jarang aku menyadari bahwa dengan pernah bermasalah, aku dapat berbagi pengalaman.
Sangat jarang aku menyadari bahwa dirikulah yang sebenarnya beruntung karena dianugerahi masalah hidup.
Dan sangat jarang, aku bersyukur karena semua itu.
Astaghfirullahalladziim.