Jumat, 07 Juni 2013

saya di jejaring sosial

Halo!

Sudah berbulan-bulan saya tidak aktif di semua jejaring sosial. Saya tidak begitu memikirkannya ketika memulai masa 'hibernasi' itu, tetapi setelah beberapa waktu berlalu, memang ada satu niat khusus yang muncul dalam hati. 

Saya menyambut hari-hari ketika saya harus mulai berpikir tentang tesis dengan gembira. Tidak hanya karena saya memang jauh lebih menikmati masa sekolah kali ini dibandingkan saat S1 dulu, tetapi karena pada dasarnya saya memang paling bersemangat 'berlari' ketika 'garis finish' sudah mulai terlihat, meskipun masih jauh. Kesibukan akademis membuat saya semakin melupakan kehidupan di jejaring sosial yang bagi saya memang sudah berkurang daya tariknya. Namun, lain halnya dengan blogging. Mengisi blog berarti menulis, lalu mencermati dan memperbaiki tulisan tersebut berkali-kali hingga saya merasa tulisan itu aman dibaca oleh orang lain, bahkan orang yang belum saya kenal. Kadang-kadang saya merindukan blogging, tetapi keinginan untuk melaksanakannya biasanya segera hilang dalam beberapa detik kemudian karena saya langsung menyadari sebaiknya saya menggunakan waktu saya untuk membaca atau menulis, mencermati, serta memperbaiki tulisan saya untuk tugas-tugas yang selalu ada setiap minggu. 

Satu, dua, hingga enam bulan berlalu sejak saya pertama kali memasang beberapa kalender 2013 di rumah. Akhir semester ketiga saya hampir berakhir dan ketika menyadari tinggal 1 ujian lagi yang perlu saya selesaikan, hampir tiga perempat dari ketegangan saya selama satu semester sudah meluntur. Rindu sekali rasanya pada teman-teman lama yang kebetulan berjauhan dengan saya secara geografis sehingga satu-satunya jalan untuk menyambung tali silaturahmi adalah dengan memanfaatkan teknologi. Namun, ada perasaan aneh saat mempertimbangkan jejaring sosial sebagai salah satu di antaranya. Saya berusaha memikirkan kembali secara serius mengapa kini sulit sekali bagi saya untuk kembali menulis status di FB, misalnya, padahal itu cara tercepat untuk mulai menunjukkan 'tanda-tanda kehidupan' saya pada teman-teman di berbagai penjuru dunia.


Ada masa ketika saya hanya memperhatikan kata-kata yang disampaikan orang lain, mulai dari orang-orang terdekat hingga yang tidak terlalu saya kenal. Hasrat ingin memberikan tanggapan pun ada. Namun, beberapa kali, ketika baru ingin menggerakkan jari untuk ikut bicara, tiba-tiba saya merasa tidak tahu apa yang ingin saya sampaikan. Sedari kecil saya mudah sekali  mengomentari suatu hal, jadi tentu saja ini bukan semacam keterampilan baru yang belum saya kuasai. Namun, kali ini entah mengapa ada gelombang perasaan tidak nyaman yang memaksa saya untuk menahan diri. Maka, saya kembali lebih banyak memperhatikan perkataan orang. Membaca, berusaha memahami, menghayati, kalau perlu, lalu membayangkan jika itu adalah perkataan saya. Alangkah kagetnya saya, ketika menyadari bahwa ternyata saya tidak terlalu menyukainya.



Apa ya, maksud sebenarnya dari siapa pun yang melontarkan kata-kata  dalam status FB atau kicauan di twitter? Tentulah bermacam-macam. Saya mengingat-ingat apa pernah yang saya lakukan sendiri sebelumnya. Seingat saya, saya pun dulu memanfaatkan jejaring sosial untuk beragam maksud. Untuk ajang diskusi isu-isu yang saya anggap penting, misalnya. Namun pada kesempatan lain, bisa saja saya hanya ingin memuntahkan sampah pikiran dan perasaan. Tentu saja, hal-hal tersebut tidak pernah benar-benar saya renungkan secara serius sebelumnya. 

Mungkin maksud-maksud itu sendiri tidak ada salahnya. Kekhawatiran saya timbul ketika menyadari, dari hasil pengamatan saya, betapa banyak akibat negatif yang mungkin sudah melenceng dari maksud semula. Salah satu yang paling sering terjadi adalah salah paham. Tentu saja, tidak sulit mencari penyebabnya. Bahkan dalam komunikasi langsung  saat pembicara dan pendengar bertatap muka dan tak dibatasi waktu pun, salah paham dapat terjadi. Apalah yang bisa diharapkan dari komunikasi melalui ujaran-ujaran yang jumlah katanya sangat dibatasi? Dengan banyaknya peristiwa salah-paham-tidak-lucu-sama-sekali yang saya saksikan, semakin khawatirlah saya untuk turut meramaikan arena itu.

Sebagai manusia yang adalah makhluk sosial, tentu saja putus hubungan dengan orang yang telah dikenal sebelumnya termasuk dalam kategori 'hal terakhir yang ingin saya lakukan'. Karena itulah, menghapus akun di jejaring sosial belum pernah menjadi pilihan bagi saya. Hanya saja, saat ini saya masih benar-benar tidak tahu bagaimana caranya mengatakan apapun di sana tanpa memunculkan -meskipun hanya sejumput- rasa tidak nyaman bagi saya maupun orang lain. 

Oh. Apakah pemikiran dan/atau perasaan seperti ini normal? 
Yah, kalau pun disebut tidak, sepertinya saya juga tidak terlalu keberatan...

- H e i D Y -