Rabu, 30 Juni 2021

My Neighbor Totoro: Film Animasi Terbaik untuk Keluarga

Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini adalah menulis review atau ulasan film keluarga. Sejak tema tantangan ini digulirkan pada awal bulan, sebetulnya aku sudah terpikir ingin menulis tentang film apa. Namun, aku tidak langsung benar-benar melakukannya. Entah bagaimana, perhatianku teralihkan oleh berbagai “tantangan” lainnya … hingga hari ini, hari terakhir kesempatan mengikuti tantangan itu. Waduh … keburu atau tidak, ya? Mari kita coba sajalah.

Jadi ... judul film yang sudah terpikir lama olehku adalah My Neighbor Totoro. Ada yang tidak mengenal atau belum menonton film ini? Kuharap ada atau bahkan banyak, ya … di antara teman-teman pembaca sekalian yang budiman. Aku khawatir, kalau semua orang sudah menontonnya, jangan-jangan nanti tulisanku tidak menarik atau tidak berguna. 😄

My Neighbor Totoro memang sama sekali bukan film baru. Film animasi Jepang produksi Studio Ghibli ini pertama kali dirilis tahun 1988. Wow, sudah lebih dari empat windu yang lalu! Meskipun demikian, kepopuleran film ini tak lekang dimakan zaman. Konon, di Jepang, Totoro—karakter utama dalam film ini—sama terkenalnya dengan Winnie the Pooh di negara-negara berbahasa Inggris.

Apa atau siapa itu Totoro? Yang sudah menonton filmnya mungkin mengerti, tidak mudah menjawab langsung pertanyaan ini secara singkat. Winnie the Pooh mungkin jauh lebih mudah digambarkan. Kalau sedang malas, kurasa tidak salah jika—seandainya ada yang belum tahu (serius?)—aku menjawab dengan satu kata: beruang. Orang atau bahkan anak kecil dapat langsung membayangkan sesosok binatang besar berbulu yang dapat berdiri … oh … baiklah. Tentu tinggal masih harus kutambahkan: berwarna kuning, tidak besar, penyuka madu, baik hati, dan seterusnya agar tidak terjadi kesalahpahaman besar.  Eh, kenapa malah Winnie yang dibahas?

Mari kita beralih ke Totoro. Deskripsi singkat pertama yang ingin kucoba adalah “makhluk imajinatif”. Bagaimana? Terbayang? Ampun … tolong jangan lempari diriku! 😆😆

Kucoba lagi, ya. Secara visual, bentuk kepala Totoro agak menyerupai kelinci atau kucing, sementara tubuhnya yang berbulu mungkin sebesar beruang (wah, ternyata bahasanku tentang beruang tadi tidak melenceng terlalu jauh). Jika Totoro berdiri, tinggi badan anak usia sekolah dasar yang juga menjadi salah satu tokoh utama di film ini (menurutku ada tiga tokoh utama di sini) hanya setara dengan perutnya.

Perut yang gendut dan empuk (benar-benar ditunjukkan seperti itu, tampaknya sangat asyik dijadikan kasur) sepertinya merupakan daya tarik utama Totoro. Matanya yang bulat dan besar kurasa lebih tepat disebut tidak begitu ekspresif daripada tidak ramah. Dari sudut pandang orang dewasa, mungkin keramahannya baru tertangkap dari senyum lebar yang memamerkan gigi-gigi putihnya (yang juga tidak sering terlihat).  

Bagaimana dengan sudut pandang anak-anak? Nah, kupikir itulah yang menjadi fokus dan salah satu pesan utama film ini. Melalui film ini, kakak beradik Satsuki dan Mei seolah mengajak penonton untuk selalu memandang segala hal yang ada di sekitarnya dengan positif. Totoro menjadi satu wujud contoh yang unik. Bagaimana tidak, sosok yang kemungkinan besar dicurigai dan dijauhi orang dewasa (banyak yang menyamakan Totoro dengan sosok genderuwo di Indonesia) justru dikejar-kejar oleh Mei, si anak balita yang dipenuhi rasa ingin tahu. Sama sekali tak ada pula ketakutan yang ia rasakan ketika berada di tempat asing atau saat menemukan makhluk yang jauh lebih besar dan berbeda darinya.

Aku merasa tersentil. Betul juga, ya. Apa-apa yang dianggap kotor, menjijikkan, mencurigakan, menyeramkan oleh kita (Eh, kita? Cuma aku, mungkin, ya?) ternyata belum tentu dianggap demikian pula oleh anak. Lebih jauh lagi, aku diingatkan kembali tentang kemurnian mata dan hati seorang anak. Apa yang kelak membuat mereka berubah? Apa lagi kalau bukan beragam opini orang dewasa yang terkadang bersifat sok tahu dan memaksa?

Sosok orang dewasa di dalam film ini tidak seperti itu. Nenek yang membantu membersihkan rumah tidak marah atau mencemooh saat Mei berlarian di ruangan berdebu hingga kakinya hitam legam. Sang ayah juga tidak menakut-nakuti putrinya agar mereka tidak memasuki hutan dan bermain di dalamnya.

Aku menonton (ulang) film ini beberapa bulan yang lalu bersama anak-anak. Sejak awal film diputar, raut wajah mereka begitu cerah dan dipenuhi kegembiraan. Mata si bungsu (waktu itu umurnya lima tahun) tampak sangat bersemangat mengikuti petualangan Satsuki dan Mei. Tak terhitung jumlah adegan yang membuatnya tertawa-tawa geli.

Jangan bayangkan ini sebuah film petualangan yang dahsyat. Alur cerita film ini sebenarnya cukup sederhana. Kisahnya diawali dengan kesibukan Satsuki, Mei, dan ayah mereka pindah ke sebuah  rumah tua di desa. Tidak diceritakan di mana mereka tinggal sebelumnya. Yang jelas, mereka tampak begitu antusias dengan kepindahan itu. Hampir tidak ada hal yang tidak menggembirakan bagi mereka: mulai dari rerumputan hijau yang begitu luas membentang di pekarangan rumah baru mereka, tiang kayu penyangga bangunan yang sudah lapuk dan hampir roboh, hingga makhluk-makhluk kecil hitam misterius yang melarikan diri begitu mereka sekilas melihatnya di ruangan yang baru dibuka.


Cerita selanjutnya bergulir seolah hanya demi merekam pengalaman nyata suatu keluarga. Petualangan magis yang dialami Satsuki dan Mei terangkum dalam kegiatan sehari-hari yang terasa begitu membumi. Tidak ada musibah atau kejadian besar yang dramatis, termasuk tentang sang ibu yang sakit. Kisah sakitnya ibu Satsuki dan Mei hingga harus tinggal di rumah sakit untuk dirawat dalam jangka waktu tertentu terpotret secara alami. Keterlibatan penuh sang ayah dalam mengasuh anak-anak dan kemandirian mereka dalam mengurus rumah pun menjadi hal yang wajar.

Bukankah absennya seorang ibu—dalam kesibukan keluarga sehari-hari—karena sakit dapat terjadi pada keluarga mana pun? Sepertinya ini salah satu pesan yang ingin disampaikan oleh sang penulis skenario sekaligus sutradara, Hayao Miyazaki. Kemungkinan besar inspirasinya datang dari pengalamannya sendiri saat kecil, saat ibunya harus dirawat selama hampir sepuluh tahun karena penyakit spinal tuberculosis.

Meskipun menyajikan kisah yang erat dengan keseharian keluarga, bukan berarti My Neighbor Totoro menihilkan unsur-unsur cerita yang menegangkan. Saat Mei hilang, misalnya. Kebingungan dan ketegangan Satsuki dalam mencarinya tidak hanya menular ke penduduk desa dalam film, tetapi juga ke penonton cilik yang duduk di sebelahku. Syukurlah, ketegangan itu tidak berlangsung lama dan tidak berakhir buruk (ini aspek penting dalam film keluarga untuk semua umur).

Kami sekeluarga sungguh menikmati film layar lebar yang berdurasi hampir satu setengah jam ini. Tidak hanya ramah anak kecil (aman dari adegan menyeramkan atau traumatis, bahasa yang tak pantas, dan sebagainya), animasi Jepang ini juga sanggup memuaskan penonton dewasa. Gambar-gambar ciamik yang amat memanjakan mata, adegan-adegan humor yang menggelikan, hingga soundtrack yang menyenangkan sangat serasi berpadu dan menghasilkan film hiburan keluarga yang pas.  

Namun, apa yang kuperoleh dari My Neighbor Totoro bukan sekadar senyum yang tersungging. Film yang dilabeli sebagai tontonan wajib oleh Metacritic—sebuah situs pengumpul ulasan film, buku, album musik, dan sebagainya—ini juga sarat akan beragam informasi dan pesan. Sementara anak-anakku secara sadar tertarik pada berbagai detail khas Jepang seperti mandi berendam air hangat bersama pada malam hari (setelah membersihkan badan di luar bak) atau kunjungan ke kuil untuk bersembahyang, aku seakan diajak merenung lebih jauh lagi tentang hubungan manusia dengan alam.

Menurut beberapa sumber, umumnya orang Jepang percaya bahwa selalu ada roh dewa yang bersemayam di hutan atau pepohonan. Keyakinan tersebut sepertinya juga menuntun mereka untuk selalu menghormati alam. Aku mungkin tidak menganut animisme atau memiliki kepercayaan yang serupa. Namun, sebetulnya, agamaku—yang kebetulan juga menjadi agama yang dipeluk mayoritas penduduk negeriku—juga mengajarkan untuk tidak berperilaku semena-mena terhadap alam yang merupakan anugerah sekaligus titipan Sang Maha Pencipta. Sayangnya, saat ini kebanyakan dari kami sering kali lupa untuk lebih memedulikan dan menghargainya.

Ini hanya renunganku, tetapi aku sungguh-sungguh merasa bahwa film My Neighbor Totoro memang secara halus menyelipkan pesan untuk memandang alam dan segala isinya sebagai sahabat ... atau marilah kita pakai istilah tetangga jika ingin sesuai dengan judul film ini. Bukankah jika dibandingkan dengan saudara yang mungkin tinggal di kota atau negara yang berbeda, tetanggalah yang terdekat dengan kita dan paling dapat diandalkan? Entah bagaimana, aku tidak dapat menahan pikiranku untuk mengembara ke arah sana saat melihat Totoro si "tetangga" dalam film ini akhirnya menjadi sosok yang sangat diandalkan oleh Satsuki dan Mei dalam menyelesaikan masalah mereka.

Nah, bagaimana? Berlebihankah jika kupakai ungkapan sederhana tetapi dalam dan menggugah untuk secara singkat menggambarkan kesan dari film pemenang beberapa penghargaan ini? Yang belum menonton, coba buktikanlah! Tontonlah sendiri ... eh, bersama keluarga, maksudku.

Hore ... alhamdulillah, akhirnya berhasil juga kujawab tantangan ngeblog kali ini. Demikianlah ulasanku tentang film My Neighbor Totoro, film yang sering disebut-sebut sebagai salah satu tontonan terbaik sepanjang masa untuk semua umur. Nah ... layaknya ulasan, aku juga harus menyebutkan kekurangan film ini. Apa, ya? Oh, mungkin ini dia: filmnya kurang panjang? Pemirsa mau lagi, lagi, dan lagi! 😅

Bagaimana menurutmu? Yang sudah menonton, yuk, tinggalkan komentarmu. Yang belum … tidakkah kalian penasaran setelah membaca ulasanku ini?

Data Film (diambil dari Wikipedia)

Judul Asli: Tonari no Totoro

Judul Terjemahan: My Neighbor Totoro

Sutradara & penulis skenario: Hayao Miyazaki

Produksi: Studio Ghibli

Tanggal Rilis: 16 April 1988

Bahasa: Jepang

Durasi: 86 menit


Sumber gambar: 

Netflix (foto saat menonton)