Kamis, 30 September 2021

Pengalamanku Berbahasa

Tema tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini adalah pengalaman berbahasa seumur hidup. Ketika tema ini diluncurkan, sebenarnya aku merasa senang. Alasan tidak segera menulisnya bukan karena aku tidak memiliki cerita untuk disampaikan, melainkan malah mungkin terlalu banyak kisah yang membuatku bingung untuk memilihnya. Rasanya mulai dari awal kehidupanku hingga detik ini, berbahasa mengambil banyak porsi dalam hidupku.

 


Pada Zaman yang Belum Kuingat

Tentu saja aku tak benar-benar tahu apa tepatnya yang terjadi saat aku masih seorang bayi hingga anak batita. Bagaimana pengalaman berbahasaku pada usia dini? Saat aku bertanya pada Mama dan Papa, tidak banyak juga yang dapat mereka ceritakan secara spesifik tentang ini. Namun, Mama banyak berkisah tentang kegiatannya sejak aku masih nyaman di dalam rahimnya.

Mama masih belum menyelesaikan pendidikan dokternya ketika mengandungku. Aku tak begitu yakin Mama sudah tahu dan dengan sengaja menerapkan teori parenting tentang mengasah keterampilan komunikasi verbal pada janin saat itu, tetapi kurasa aku beruntung dalam hal ini. Rupanya dalam bentuk janin, aku sudah mengenal hidup dalam “keramaian verbal”. Meskipun tidak ada memori yang tersimpan tentang teori berbagai penyakit dalam bahasa latin, misalnya, aku tetap merasa senang mengetahui fakta sejarah ini. Tidak mungkin itu tidak berpengaruh terhadap keterampilanku dalam berbahasa di kemudian hari.

 

Pemerolehan Keterampilan Berbahasa pada Usia Dini

Sepertinya aku tidak mengalami keterlambatan berbahasa waktu bayi. Tidak pernah kudengar ada kisah tentang kesulitan mengajariku berbicara. Sebaliknya, yang banyak kudapat adalah cerita tentang bagaimana ceriwisnya aku saat kecil hingga sering membuat Mama, Papa, atau orang dewasa lainnya kewalahan. Kemudian, kata Mama, ia berusaha mengurangi kerepotannya dengan menyuruhku mencari jawaban atas setiap pertanyaanku di ensiklopedia. Kebetulan aku sudah dapat membaca sebelum usiaku menginjak lima tahun. Eh, tunggu … jangan-jangan ini bukan kebetulan, melainkan memang strategi Mama yang terencana sedemikan rapinya?

Oh, ya. Kalau melihat silsilahnya ke atas, Mama dan Papaku sama-sama berasal dari Jawa Timur. Papa menghabiskan masa kecil hingga remajanya di Kediri. Sudah jelas, bahasa Jawa menjadi bahasa ibu Papa. Sementara itu, orang tua Mama (eyang putri dan eyang kakungku) sudah hijrah ke Cimahi, Jawa Barat, sejak awal pernikahan mereka. Meskipun bahasa Jawa tetap diutamakan di lingkungan keluarga, Mama dan kelima saudara kandungnya tentu menguasai bahasa Sunda dari lingkungan pergaulan mereka sehari-hari.

Sayangnya, indahnya bahasa daerah itu tak kurasakan sebagai bagian dari tumbuh kembangku. Mama dan Papa memutuskan menggunakan bahasa Indonesia untuk keluarga kecil yang baru mereka bangun dengan alasan menanamkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa (merdeka!). Hmm. Apa tidak ada semacam penghargaan nasionalisme untuk hal seperti ini?

Jadi, bahasa ibuku adalah bahasa Indonesia, sepenuhnya, atau setidaknya sebagian besar di antaranya. Ada beberapa kosakata dalam bahasa Jawa yang menjadi perbendaharaan kataku tanpa sadar bahwa itu bukan bahasa Indonesia. Misalnya saja kata cikrak yang kelak di bangku SMP memicu perdebatan panjang dengan teman sekelas sesama petugas piket. Kejadian itulah yang baru membuatku tahu bahwa cikrak adalah istilah bahasa Jawa. Kemudian, ada pula keharusan menjawab “Daleem” ketika dipanggil orang tua. Belakangan semasa bersekolah di Palangkaraya, Cimahi, dan Medan baru kutahu, bukan begitu cara teman-temanku—yang bukan orang Jawa, tentunya—menjawab jika dipanggil orang tuanya.  

 

Berkenalan dan Bersahabat dengan Bahasa Inggris

Sepertinya secara “resmi” aku baru berkenalan dengan bahasa asing pertamaku, bahasa Inggris, di bangku SD (setelah sebelumnya hanya sempat melafalkan bilangan satu hingga sepuluh dalam bahasa internasional ini). Entah bagaimana, Mama dan Papa berhasil menanamkan sebuah keyakinan dalam diriku: bahasa Inggris itu mudah dan aku pasti tidak sulit menguasainya karena Eyang Tati (sebutanku untuk ibu dari Mama) adalah guru bahasa Inggris dan Eyang Mama adalah seorang jenius yang fasih dalam beberapa bahasa asing dan hampir semua buku bacaannya memakai bahasa Inggris. Bagaimana ini dan itu berhubungan atau bagaimana aku sampai pernah mempercayainya (bahwa ada hubungan sebab akibat dalam hal tersebut) masih menjadi misteri sampai sekarang.

Mungkin itu karena porsi terbesar dalam pelajaran Bahasa Inggris di sekolah adalah grammar alias tata bahasaAku memang hampir tak mengalami kendala dalam mempelajarinya. Rasanya soal-soal grammar setali tiga uang dengan Matematika, pelajaran favoritku. Kurasa dahulu kupikir masuk akal saja jika kemudahan yang kualami itu memiliki tali kasih … eh, maksudku: hubungan, dengan leluhur. Antara bakat dan turunan, aku percaya begitu saja bahwa itulah yang menjadi bekalku.

Di tingkat sekolah menengah, barulah aku menemukan dan menyadari kekeliruan pemahamanku: tidak mungkin terampil dalam suatu bahasa yang tidak benar-benar dipakai. Apa gunanya mempelajari dan mengulik tata bahasa jika bahasanya sendiri tidak digunakan untuk berkomunikasi: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis? Di antara empat bidang kemahiran berbahasa ini, mungkin yang waktu itu lebih kukuasai dari yang lainnya hanya menyimak. Ini tak lepas dari peran dua hal. Yang pertama ialah lagu-lagu pop berbahasa Inggris yang digandrungi remaja. Hal kedua adalah kebiasaan Mama dan Papa untuk saling berbicara dalam bahasa Inggris saat sedang membahas masalahku dan adik-adikku di depan kami. Kebiasaan mereka itu terhenti sejak aku mulai memahami semua yang mereka katakan, digantikan dengan dialog-dialog yang akhirnya melibatkanku sehingga keterampilanku dalam berbicara mulai terbangun.

Namun, sebenarnya semua jenis kemahiranku dalam berbahasa Inggris ini baru benar-benar meningkat di masa kuliah berkat aneka textbook dan … film! Tak kusangka sebelumnya, bergabung di Liga Film Mahasiswa ternyata membantu meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisku dalam hal menyimak dan membaca karena aku memiliki hobi baru: menonton banyak film. Keterampilan menyimakku terasah dari film-film berbahasa Inggris yang kutonton tanpa terjemahansementara keterampilan membacaku diperoleh dari film berbahasa apa saja yang kutonton dengan mencermati English subtitle-nya.

Penguasaan atas kemahiran menyimak dan membaca, dua keterampilan pasif dalam berbahasa, menjadi gerbang memasuki jenis kemahiran berikutnya yang bersifat aktif. Sebagaimana bayi tak mungkin dapat berbicara jika tak pernah mendengar suara apa pun, menguasai kemahiran berbicara dan menulis sebagai keterampilan aktif merupakan hal yang mustahil jika tidak menguasai terlebih dahulu keterampilan pasifnya, berbicara dan menulis.

Baik dalam hal berbicara mapun menulis, awal mulanya kebiasaanku memanfaatkan bahasa Inggris untuk mengungkapkan rasa marah. Mungkin aku merasa tidak terlalu kasar jika tidak memakai bahasa ibu saat sedang emosional seperti biasanya. Keterampilan ini kemudian terus kuasah saat sempat menjadi peneliti di sebuah perusahaan multinasional serta sewaktu menjadi pengajar bahasa Inggris di sebuah sekolah dasar swasta. Ketika harus berapat dengan klien dari negara lain atau menyusun surat, laporan, unit plan, dan lesson plan menjadi rutinitas sehari-hari, kepercayaan diriku untuk berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris pun meningkat.

 

Mempelajari Bahasa Asing Lainnya


Sebelum memasuki kehidupan perkuliahan, sebetulnya aku pernah tergerak untuk mencoba mempelajari sendiri bahasa asing selain bahasa Inggris: bahasa Spanyol. Aku lupa bagaimana awalnya, tetapi ingat bagaimana aku menikmatinya. Kurasa pelafalan dalam bahasa Spanyol cenderung mudah bagi penutur jati bahasa Indonesia. Sayangnya, semangatku untuk menekuni bahasa ini tak bertahan lama karena sulit bagiku menemukan aneka sumber material belajar (lagu, film, atau buku) ataupun rekan untuk belajar berbicara pada waktu itu (sebelum tahun 2000).

Peran produk-produk budaya ternyata begitu penting dalam pembelajaran sebuah bahasa asing. Ini baru kusadari juga di bangku kuliah. Selain mengonsumsi banyak film berbahasa Inggris, aku juga baru mulai menggandrungi manga, anime, dan dorama (komik, film animasi, dan serial drama Jepang). Seiring dengan itu, aku tertarik mempelajari bahasa Jepang. 

Namun, kali ini aku tidak belajar autodidak sepenuhnya karena merasa butuh bimbingan dalam mempelajari aksaranya yang berbeda. Setelah sempat mengikuti kursus singkat pada suatu semester pendek di kampus dahulu, barulah aku meneruskan belajar secara mandiri. Karena tidak merasa membutuhkannya untuk kepentingan yang serius seperti melanjutkan sekolah atau bekerja di Jepang, aku hanya mengasah jenis kemahiran lisan. Itu pun hanya untuk kesenangan dan hiburan: mendengarkan anime beserta soundtrack-nya selagi mengerjakan berbagai kegiatan lain. Karena anime yang kusimak itu telah berkali-kali diputar, aku sudah hafal tiap adegannya tanpa perlu melihat teks terjemahannya. Dengan kata lain, aku paham arti dari kata-kata yang kudengar. Kurasa inilah cara paling menyenangkan yang kutemukan dalam mempelajari bahasa asing: belajar tanpa benar-benar sengaja belajar.

Bekal pengalaman belajar bahasa Jepang dengan cara asyik itu sempat kucoba terapkan untuk mempelajari bahasa Korea. Melihat produk-produk budaya Korea yang mulai membanjiri tanah air, aku yakin, ada banyak kemudahan untuk mempelajari bahasanya. Motivasiku bertambah setelah menjadi pengajar BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) dan sebagian besar mahasiswaku adalah orang Korea. 

Akan tetapi, setelah berbulan-bulan, aku baru menyadari bahwa mengandalkan telinga saja tidak cukup untuk mempelajari bahasa Korea. Susunan bunyi dalam bahasa ini tidak sesederhana bahasa Jepang. Bahasa Korea memiliki keunikan bunyinya sendiri, tidak seperti bahasa Jepang yang sifat bunyinya cukup mirip dengan bahasa Indonesia: banyak mengandung suku kata terbuka. Antara bunyi dan bacaan teksnya pun tidak benar-benar tepat sama. Karena itulah, kuputuskan mengambil kursus singkat lagi untuk mempelajari “rahasia”nya. Setelah “rahasia” itu terbongkar, barulah kuteruskan belajar secara mandiri lagi dengan santai dan tentunya dengan cara yang menyenangkan juga: sambil menonton drama-drama Korea. 

Namun, sepertinya perjalananku kali ini lebih lambat karena satu alasan yang asyik sekaligus membingungkan: arus masuknya drama-drama baru yang menarik terlalu deras! Karena terlalu sibuk menonton drama baru, aku  tak terlalu sempat menonton ulang drama-drama lama. Belum banyak cerita yang sudah kuhafal dan efektif menjadi “latihan menyimak” seperti halnya yang kuterapkan untuk belajar bahasa Jepang dari anime favorit. 

Sebetulnya masih ada satu bahasa asing lainnya yang sempat kucoba pelajari, tetapi kemudian masih tertunda hingga saat ini. Teorinya seharusnya ini adalah salah satu bahasa asing yang lebih kudahulukan sebelum mempelajari bahasa lainnya karena terkait erat dengan agamaku: bahasa Arab. Ini bahasa yang digunakan dalam Quran, kitab suciku. Tentu sudah sepantasnyalah aku mengutamakannya. 

Masalahnya, aku merasa bahwa bahasa Arab mungkin dapat dinobatkan sebagai salah satu bahasa tersulit di dunia. Inilah alasanku menundanya. Kuniatkan untuk menunggu anakku cukup umur untuk mempelajarinya dan dapat "kutebengi" belajar (alias sesemamak ini ingin ikut belajar di kelas anak yang sepertinya jauh lebih asyik daripada kelas orang dewasa yang serius). Dalam bahasa Arab, aksara yang digunakan tidak sekadar berbeda dari alfabet, seperti halnya aksara dalam bahasa Jepang, Korea, atau Cina, tetapi juga memiliki aturan cara membaca dan menuliskan yang berbeda-beda untuk tiap peletakannya (bentuknya di depan, tengah, dan akhir berbeda-beda). Belum lagi aturan kosa kata dan tata bahasanya yang juga tidak dapat disebut sederhana. Satu-satunya keberuntunganku adalah sudah menguasai cara membaca (membunyikan, tepatnya, karena aku tak benar-benar paham apa yang kubaca nyaring) rangkaian hurufnya berkat pelajaran mengaji yang kudapat sejak kecil, sama seperti kebanyakan orang muslim lainnya. 

Jadi, begitulah. Kurasa aku memerlukan lebih banyak waktu dan kesempatan untuk dapat sepenuhnya menaklukkan bahasa asing yang satu ini. Mohon doanya, ya, teman-teman, semoga suamiku yang juga sangat ingin mempelajari bahasa Arab ini juga kelak mau ikut belajar di kelas bocah.

Bahasa Terkeren

Kalau membahas pengalaman berbahasa, ada satu hal yang kusesali, yaitu belum mendapatkan pengalaman berbahasa daerah. Aku lahir dari pasangan berdarah Jawa, tetapi tidak terampil menggunakan bahasanya. Namun, penyesalan ini baru timbul setelah aku berkesempatan mempelajari Linguistik (di tingkat magister, yang jaraknya dengan bidang ilmuku di tingkat sarjana bagaikan dari Merkurius ke Neptunus) dan melihat betapa beruntungnya aku yang dibesarkan dengan bahasa ibu. 

Ada banyak hal yang kumaksud dengan beruntung. Aku tidak mengalami "bingung bahasa" dan speech delay yang kemudian menghambatku dalam belajar hal-hal lainnya pada usia dini. Tidak ada pula perbedaan penguasaan bahasa yang menghalangiku untuk tetap berkomunikasi dengan baik dan tetap menjalin bonding dengan orang tuaku sepanjang masa tumbuh kembangku hingga dewasa. Kemudian, hal terakhir yang paling besar nilainya bagiku adalah sebagai orang Indonesia asli, aku sepenuhnya menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. 

Ke negeri mana pun aku berkelana, aku dapat menjadi salah satu duta bahasa terbaik bagi tanah airku. Siapa lagi yang lebih baik dalam memperkenalkan bahasa dan budaya negeri ini kalau bukan orang-orangnya sendiri? Di mata bangsa lain, posisi kita–penutur jati bahasa Indonesia–sama berharganya dengan orang bule sebagai native speaker yang mengajar bahasa Inggris di sini. Secanggih-canggihnya aku menguasai bahasa Spanyol, Jepang, Korea, atau Arab kelak, sampai kapan pun sepertinya tak mungkin aku mengalahkan orang-orang asli dari semua negeri tersebut. Demikian pula sebaliknya. Di mata dunia, keunikan khas setiap bangsa begitu tinggi nilainya.


Maka, bukankah benar semboyan dari badan Bahasa Kemendikbud ini? 

utamakan bahasa Indonesia,

lestarikan bahasa daerah,

kuasai bahasa asing.

Senin, 20 September 2021

Literasi Sains: Sebuah Pemahaman dan Pendekatan


Dalam buku yang berjudul A History of Ideas in Science Education, De Boer menulis bahwa istilah Scientific Literacy (atau yang berarti kita terjemahkan sebagai “Literasi Sains”) pertama kali diperkenalkan oleh Paul de Hart Hurt, seorang ilmuwan dari Stanford University. Menurut De Hart Hurt, istilah tersebut merujuk pada pemahaman ilmu pengetahuan dan penerapannya di masyarakat. Sementara itu, dalam situs Gerakan LiterasiNasional dari Kemdikbud RI, literasi sains diartikan sebagai pengetahuan dan kecakapan ilmiah untuk mampu mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil simpulan berdasar fakta, memahami karakteristik sains, kesadaran bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan alam, intelektual, dan budaya, serta kemauan untuk terlibat dan peduli terhadap isu-isu yang terkait sains. Bagiku, berbagai kutipan ini menunjukkan luasnya pengertian literasi sains, sebagai bagian dari literasi. Namun, hanya dua hal yang ingin aku garis bawahi: ilmu pengetahuan dan pemanfaatannya.

Kata sains yang diartikan sebagai ilmu pengetahuan pada umumnya sebenarnya sesuai dengan salah satu pengertian yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V. Ya, betul … salah satu, bukan satu-satunya. Ada tiga pengertian yang diberikan di sana:

  1. ilmu pengetahuan pada umumnya;
  2. pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya, botani, fisika, kimia, geologi, zoologi, dan sebagainya; ilmu pengetahuan alam;
  3. pengetahuan sistematis yang diperoleh dari suatu observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya.

Mana pengertian yang paling sering kita pakai sehari-hari atau temukan dari lingkungan sekitar kita? Berdasarkan pengalamanku sendiri, sejak masih duduk di bangku sekolah hingga dipercaya mendidik anak-anakku sendiri, sebenarnya pemakaian kata sains di lingkungan sekitarku lebih jarang merujuk pada “ilmu pengetahuan” pada umumnya. Kebanyakan dari kita lebih banyak merujuk pada pengertian kedua, yaitu ilmu pengetahuan alam, saat menggunakan istilah sains.

Awalnya, aku sendiri cenderung memilih membiasakan diri dengan pengertian pertama. Baik ilmu pengetahuan alam maupun berbagai jenis ilmu pengetahuan lainnya seperti ilmu pengetahuan sosial dan budaya kuanggap sama-sama masuk dalam ranah sains. Ini berarti ketika sedang membahas literasi sains, sebenarnya kita sedang membicarakan dunia ilmu pengetahuan yang beraneka rupa dan nyaris tak terhingga luasnya.

Banyak orang yang mengaitkan literasi dengan buku. Mungkin karena itulah, tak sedikit juga yang mengira bahwa literasi sains terbatas pada pemerolehan ilmu pengetahuan dari bahan-bahan bacaan. Apakah ini berati literasi sains baru dimulai di bangku sekolah atau saat seseorang telah dapat membaca?

Aku tidak berpendapat demikian. Selain meyakini bahwa sains berarti beragam jenis ilmu pengetahuan, aku juga percaya bahwa setiap anak manusia dapat memulai petualangan literasi sainsnya sejak awal kehadirannya di dunia ini. Bayi baru lahir dapat memulai pelajaran pertamanya tentang mencari makanan sebagai kebutuhan pokok hidupnya melalui Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Anak batita belajar tentang perbedaan makhluk hidup dan benda mati dari rutinitasnya sehari-hari. Begitu pula dengan konsep gravitasi, perubahan wujud benda, keberagaman, dan toleransi yang tidak hanya boleh, tetapi memang harus dipelajari anak sejak usia dini.

Meskipun demikian, tidak berati para ibu atau ayah harus ambisius dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara khusus untuk anak-anak balitanya di rumah. Aku pribadi memilih cara yang—menurutku—paling mudah dan “hemat energi”. Untuk si bungsu yang belum berumur tujuh tahun, kumanfaatkan pendekatan free play sesuai teori pendidikan Waldorf yang digagas oleh Rudolf Steiner. Kegiatan yang lebih banyak membebaskan anak dalam bermain ini mungkin sekilas tampak tidak penting atau tidak berguna, padahal merupakan fondasi penting bagi anak sebelum memasuki usia sekolah. Menyediakan alam bebas untuk anak bermain, misalnya, tidak hanya berarti memfasilitasi anak belajar tentang hewan dan tumbuhan yang dilihatnya, tetapi juga menanamkan kebiasaan berempati pada makhluk hidup lain, mengasah keterampilan mengamati dan meneliti, serta menumbuhkan rasa ingin tahu yang tak terhingga.

Senin, 06 September 2021

Perjalanan Literasiku

Entah bagaimana awalnya, sejak dapat mengingat, rasanya aku memang selalu suka membaca. Apa saja yang ada teksnya pasti mengundang rasa ingin tahuku, seolah menarik-narikku untuk membacanya: mulai dari teks di botol sampo hingga teks di papan reklame. Tentu saja, benda yang paling menarik perhatianku adalah buku, yang memuat lebih banyak teks daripada benda-benda lainnya.

Buku yang paling sering kulihat dan kuingat memenuhi memori masa kecilku adalah buku-buku bacaan orang tuaku (misalnya yang berjudul "Bagaimana Mendisiplinkan Anak?"), ensiklopedia, majalah Bobo, dan buku pelajaran sekolah. Bagaimana dengan buku cerita? Sayangnya, buku jenis ini justru tidak banyak kukenal saat masih berseragam putih-merah. Alasannya sederhana saja: papaku yang sangat mementingkan pendidikan menganggap buku cerita bukan barang yang bermanfaat. Jika pergi ke toko buku, Papa keberatan jika aku minta dibelikan buku cerita. Buku pelajaranlah yang harus diutamakan. 

Saat aku mulai dipercaya untuk mengatur uang saku bulanan di bangku SMA, barulah aku berkenalan lebih banyak dengan buku-buku fiksi. Kurelakan berhemat dalam banyak hal (pilih bekal daripada jajan atau jalan kaki daripada naik ojek) demi dapat menabung untuk membeli novel-novel anak. Yap, betul, kau tak salah baca. Sementara teman-temanku mungkin sudah mulai membaca novel dewasa aku baru mulai mengoleksi novel anak seperti Lima Sekawan. 

Meskipun lambat memulai, aku sangat bersemangat melanjutkan petualangan literasiku. Saat kuliah dan tidak tinggal bersama orang tua, kesempatanku menyisihkan uang bulanan untuk membeli buku makin besar. Jenis bacaanku makin bervariasi dan jumlahnya terus bertambah. Saat pendidikan sarjanaku selesai, lemari bukuku yang tingginya mencapai langit-langit kamar telah penuh dengan koleksi buku bacaan yang kubeli sepanjang lima tahun masa kuliahku. 

Selain membaca, aku juga senang menulis. Terinspirasi dari beberapa cerita pendek yang pernah kubaca di majalah Bobo, aku sering menuangkan khayalanku dalam bentuk cerita pendek yang kutulis di sebuah buku tulis yang tipis. Setiap selesai menulis satu cerita, buku ini pasti berkelana ke mana-mana. Hampir semua teman sekelasku membacanya. Kadang-kadang beberapa anak kelas lain juga turut membaca.

Pada tahun terakhirku di SMP, aku mulai menulis novel. Berlembar-lembar kertas bergaris habis kutulisi dengan tangan sebelum akhirnya aku menulis dengan cara mengetik. Ini menjadi kegiatan sambilanku setiap mengulang pelajaran sekolah. Sebelum SMA, aku sudah menyelesaikan tiga jilid novel remaja. Sayangnya, aku tidak tahu ke mana harus menyalurkan karya-karya itu. 

Aku baru berkesempatan menerbitkan bukuku untuk pertama kalinya setelah Papa menjadikan buku itu sebagai souvenir pernikahanku pada tahun 2007. Karena sisanya sangat banyak, tanpa pikir panjang kukirimkan buku itu ke beberapa penerbit sekaligus. Belakangan, aku baru tahu bahwa ini bukan langkah bijak. Siapa sangka, ada lebih dari satu penerbit yang tertarik menerbitkannya.

Buku Fiksi Solo Pertamaku: Giginosaurus (Dar! Mizan, 2008)

Perjalananku membaca dan menulis terus berlanjut. Hingga kini, aku masih membaca beragam genre buku dan komik untuk kesenangan. Aku juga tak pernah berhenti menulis, meskipun tidak konsisten di satu jalur (pernah sibuk menulis buku ajar, serius menulis buku anak, asyik menulis novel remaja dan dewasa, juga tentunya semangat menulis blog seperti ini). 

Tak pernah terbayang olehku berhenti menulis. Bahkan, kupikir, inilah salah satu hal yang harus diperjuangkan selagi hidup. Bukankah meski kita sudah tak ada kelak, tulisan-tulisan kita akan tetap ada dan masih mungkin masih ada gunanya bagi yang hidup?

Begitu pula dengan membaca. Mungkinkah kita berhenti membaca selagi hidup? Sepertinya mungkin saja, tetapi aku tidak mau. Ada begitu banyak ilmu kehidupan yang tak mungkin diperoleh jika kita tidak terus membaca.

Perjalanan literasiku tak selalu indah dan mulus. Saat mengenangnya seperti ini, sesekali muncul perasaan sesal dan sedih. Misalnya saja terkait larangan membaca buku cerita banyak-banyak saat kecil atau usahaku mencuri-curi waktu untuk menulis novel saat duduk di bangku SMP-SMA. Namun,  memori-memori seperti inilah yang membuatku merenung lebih dalam, lalu dengan serius merencanakan dan menjalankan pendidikan literasi dalam keluarga kecilku. 

Bagaimana dengan perjalanan literasimu? Ceritakan juga, dong!