Senin, 23 November 2009

anemia hemolisis vs kemungkinan anovulasi

Tentang anemia hemolisis

Tiga tahun yang lalu, tepatnya menjelang akhir tahun 2006, saya dinyatakan mengidap penyakit autoimmune haemolysis anaemia oleh hematolog (dokter spesialis darah) yang merawat saya di Bandung.

Anemia hemolisis itu bukan penyakit yang tiba-tiba menyerang saya begitu saja, melainkan penyakit bawaan lahir. Dengan kata lain, saat itu sebetulnya saya tidak mengalami sesuatu yang baru atau berbeda. Hanya saja itulah pertama kalinya saya tahu tentang penyakit yang saya idap sejak lahir itu.

Autoimmune haemolysis anaemia secara singkat dapat dijelaskan sebagai suatu kondisi dimana jumlah sel darah merah selalu kurang dari normal karena setiap sel darah merah yang diproduksi dianggap sebagai benda asing dan selalu dihancurkan oleh sistem kekebalan tubuh sendiri (akibat dari sistem kekebalan tubuh yang abnormal).

Jika ditanya tentang gejala, khususnya pada kasus saya, ada kesulitan dalam menjawabnya. Kenapa? Karena sekali lagi, walaupun itu adalah kondisi abnormal, itu adalah kondisi saya sejak lahir. Kalaupun itu adalah abnormal, saya bahkan tidak tahu yang normal itu seperti apa. Sampai tiga tahun yang lalu. Pengetahuan tentang nama penyakit yang saya idap datang diikuti pemahaman lainnya. Misalnya, ternyata anemia itulah dalang dari gejala pusing, ”oyong” (ini bahasa Indonesianya apa ya??), jatuh sampai hampir pingsan (hampir loh yaa...alhamdulillah saya masih diberi gengsi dan kekuatan untuk tidak sampai digotong orang) yang seringkali saya alami selama ini dan ternyata normalnya manusia tidak perlu sakit kepala setiap hari.

Intinya, gejala anemia hemolisis itu sama saja seperti anemia yang sering diderita umumnya orang. Yang berbeda adalah penyebabnya (seperti yang saya sebut di atas) dan penanganannya. Kalau anemia biasa bisa diobati dari luar seperti pil zat besi atau makanan yang mengandung zat besi, tidak demikian dengan anemia hemolisis (karena yang bermasalah adalah sistem kekebalan dari dalam tubuh).


Terapi obat steroid

Ketika hematolog yang menangani kasus saya berhasil mengidentifikasi penyakit ini, tindakan berikutnya yang beliau ambil adalah melakukan terapi obat pada saya. Obat berjenis steroid (Medrol) ini awalnya saya konsumsi 3 kali 4 mg setiap hari. Seiring dengan perkembangan jumlah sel darah merah (Hb) saya, dosis tersebut pun pelan-pelan dikurangi hingga akhirnya pada tujuh bulan yang lalu menjadi hanya 1 kali dalam seminggu.

Kegelisahan saya tentang konsumsi steroid ini mulai muncul sejak pengalaman Mama pada kira-kira tahun lalu. Ini berhubungan dengan penyakit autoimmune jenis lain yang diderita Mama : LUPUS. Ya, oleh beberapa dokter ahli di Indonesia, sejak 7 tahun sebelumnya Mama memang divonis menderita penyakit berbahaya tersebut. Selama 7 tahun itu Mama pun mengonsumsi steroid, yang lama kelamaan malah menimbulkan berbagai efek samping lain pada kesehatannya. Dari situ saya mulai memahami bahwa konsumsi steroid itu tidak baik, tapi saya sendiri belum berani untuk benar-benar melepasnya (ada sebagian pikiran optimis bahwa saya akan bisa sembuh dari anemia hemolisis itu dan benar-benar berhenti mengonsumsi obat itu sesuai izin/petunjuk dokter saya).


Kemungkinan Anovulasi

Soal ini sebetulnya sudah lebih detil saya ceritakan di tulisan-tulisan sebelumnya (seri tulisan ”Pemeriksaan Infertiliti" di blog berdua saya dan suami). Tapi baiklah, bagi yang tidak membacanya...saya ceritakan kembali intinya saja : Setelah lebih dari setahun menikah dan saya belum juga mengalami kehamilan, saya dan suami memeriksakan diri ke dokter. Salah satu hasilnya adalah penemuan atas keabnormalan hormon saya yang diduga memicu kondisi anovulasi (tidak terjadi ovulasi atau ovulasi yang terjadi tidak sempurna atau dengan kata lain : ketidaksuburan).

Sewaktu berkonsultasi mengenai kemungkinan-kemungkinan solusi untuk masalah ini, dokter kandungan saya menanyakan perihal obat ”Medrol” yang saya minum. Waktu saya tanya hubungannya, beliau menjelaskan dengan singkat bahwa ia bisa memberi saya obat penyubur, tapi ada satu masalah : cara kerja obat penyubur itu kontradiktif dengan kerja obat untuk anemia hemolisis yang saya derita.

Penjelasan itu cukup membuat saya shock berkepanjangan. Alasannya:
1. Jika obat yang bekerja untuk ’menyuburkan’ saya bertentangan dengan obat anemia saya, bukankah berarti obat yang saya minum selama ini itulah yang menyebabkan kondisi ketidaksuburan pada saya??
2. Saya seperti disuruh makan buah simalakama : pilih mana, anemia atau tidak subur?
3. Kalau seenaknya memenangkan keinginan yang kuat untuk hamil dan mengabaikan si anemia :
- saya akan mengalami kehamilan beresiko tinggi karna Hb seorang ibu hamil pasti akan turun (nah, kalo gitu gimana dengan nasib saya yang sehari-harinya udah ber-Hb rendah? Hb yang udah rendah itu pasti akan semakin rendah lagi dan akan mengakibatkan gejala yang lebih parah)
- ada kemungkinan besar bahwa bayi yang saya kandung akan berberat lahir rendah dan tidak sehat
- resiko meninggal dunia saat melahirkan cukup tinggi
4. Kalau hanya memikirkan anemia saja dan mengabaikan peluang untuk hamil....itu sih sudah jelas lah yaa : nggak mungkiiiin.....jelas-jelas saya ingin hamil, begitu juga harapan suami dan orang-orang di sekeliling kami.


Jalan Alternatif

Melihat tidak adanya win-win solution dari dokter-dokter saya untuk kedua masalah di atas, (gynekolog maupun hematolog), saya pun mulai mencari ’jalur alternatif’. Sebenarnya saya belum memikirkan ’jalur’ itu secara khusus sejak awal. Waktu itu yang ada dalam pikiran saya hanyalah bahwa ilmu medis / kedokteran barat tidak dapat menyelesaikan masalah saya, yang berarti saya harus mencari cara lain. Tak lama berselang, barulah saya teringat pada sharing salah seorang teman yang menyebutkan tentang pengobatan akupunktur yang dijalaninya.

Itu bukan pertama kalinya saya mendengar tentang akupunktur, karena Mama juga sudah mencoba pengobatan tersebut sejak bertahun-tahun sebelumnya. Namun entah kenapa, saat itulah pertama kalinya saya baru merasakan adanya kepercayaan dan keyakinan (saya memang belum tahu hasil apa yang akan saya peroleh kelak, tapi saya yakin atas ikhtiar saya).

Alasan mengapa saya memilih akupunktur dari sekian metode pengobatan alternatif sebetulnya simpel saja : saya bertekad menyetop segala jenis racun yang masuk ke tubuh saya. Enough. I’m done consuming any medicine. Sementara itu, saya tahu bahwa cara kerja akupunktur bukanlah ’memberi tambahan’ ketika tubuh kita tak bisa memproduksi sesuatu sehingga dalam kondisi ’kekurangan', melainkan dengan cara merangsang / sebagai stimulus agar organ tubuh tersebut dapat bekerja seefektif mungkin. Jadi jika Hb saya naik, itu bukan karena hasil masukan dari luar melainkan karena hasil kerja tubuh saya sendiri yang telah dirangsang untuk kembali normal/bekerja efektif.

Sementara itu, obat yang biasa diberikan oleh dokter dengan segala zat kimia yang terkandung di dalamnya memang dapat menyembuhkan suatu penyakit, tapi pada waktu yang bersamaan dapat meracuni bagian tubuh lainnya dan malah memicu timbulnya penyakit lain. Obat herbal mungkin relatif lebih aman (karena tidak mengandung zat-zat kimia), tapi tetap saja tidak ada jaminan atas ketiadaan efek samping itu.


2nd Opinion

Ada hal yang cukup penting yang belum saya ceritakan tentang pengalaman Mama soal LUPUS-nya itu, yang kemudian mempengaruhi pemikiran dan keputusan saya dalam pengobatan anemia yang saya derita. Setelah bertahun-tahun kami sekeluarga menerima fakta bahwa Mama menderita LUPUS, pada suatu saat kami dikejutkan oleh kenyataan lainnya. Keresahan Mama karena konsumsi obat yang terus menerus dan semakin tinggi dosisnya namun tidak membuat kondisinya lebih baik itu berujung pada tekad untuk mencari 2nd opinion ke luar negeri. Yah..sebetulnya tidak betul-betul pendapat ke-DUA, mengingat sebelumnya Mama sudah berkonsultasi dengan beberapa dokter di INDONESIA (namun semua dokter di tanah air memberi pendapat yang serupa).

Dokter yang dijumpai adalah seorang ahli penyakit LUPUS di Singapore. Lewat cerita Mama belakangan, saya baru tahu bahwa tidak seperti di Indonesia, di sana seorang dokter ahli akan lebih jarang berpraktek. Jadi semakin ahli seorang dokter, akan semakin langka jam prakteknya. Ini dikarenakan dokter tersebut lebih memfokuskan perhatiannya pada riset-riset bidang keahliannya. Bukankah hal itu sangat berbeda dengan kebiasaan di tanah air kita tercitan yang mana semakin hebat seorang dokter, maka akan semakin banyak dan panjang pula jam prakteknya? Nah. Demi meminta pendapat dokter ahli, Mama pun dibantu banyak pihak untuk jauh-jauh mengatur janji dengan sang dokter yang hanya berpraktek 1 x seminggu itu. Lalu sepulangnya dari Singapore, Mama bercerita bahwa tak perlu waktu lama bagi si dokter untuk menyatakan bahwa ternyata Mama sama sekali tidak mengidap LUPUS.

Setelah pengalaman yang menggemparkan itulah Mama dan Papa rajin mendorong saya agar melakukan hal yang sama : meminta 2nd opinion tentang penyakit saya ke dokter di luar negeri.


Yang Direncanakan vs Yang Terwujud

Karena situasi-kondisi dan kesempatan yang ada (cth: jadwal libur Hamdan, kepentingan yang terasa masih harus lebih diutamakan, dsb dsb), kami belum pernah benar-benar merencanakan untuk mencari 2nd opinion ke luar negeri itu sampai suatu hari di bulan Mei 2009, ketika Hamdan diminta perusahaannya tempatnya bekerja untuk pergi mengikuti training di Kuala Lumpur, Malaysia. Keberangkatannya direncanakan 2 bulan kemudian (Juli 2009).

Saat itulah saya merasa itu suatu kesempatan yang harus saya ambil. Meskipun negara itu sebetulnyai bukan negara yang ingin saya kunjungi (karena sebetulnya tujuan yang saya inginkan adalah Singapore dan karena hmm, yah...negara itu adalah M-a-l-a-y-s-i-a), akhirnya saya memilih pergi juga mencari 2nd opinion itu ke sana. Adapun alasannya adalah...
1. Mumpung biaya transportasi yang perlu dipikirkan hanya untuk saya seorang (sementara suami saya dibayari perusahaan),
2. dan mumpung akomodasi gratis (karena menginap di hotel tempat Hamdan training)
3. Karena saya sudah cukup lama menunda-nunda untuk pergi mencari 2nd opinion itu,
4. sementara saya juga semakin dilanda kepenasaran serta rasa bersalah, ragu (ketidakyakinan) dan takut karena telah menghentikan konsumsi Medrol secara sepihak (tanpa seizin para hematolog yang menangani kasus saya).
5. Dan karena untuk melakukan pengobatan terhadap kesuburan saya, tetap dibutuhkan pendapat seorang ahli medis terhadap penyakit anemia saya...tapi saya tidak berani untuk mendatangi kembali dokter-dokter hematolog saya yang sudah lama tidak saya ikuti anjuran resepnya!

Lalu bulan Juli pun datang. Menurut rencana, kami akan berangkat ke Kuala Lumpur dari Jakarta, bersama-sama. Hamdan pun mengundurkan liburnya (tidak mengambil libur sebelum jadwal trainingnya) supaya ia masih bisa bersantai sepulang dari KL nanti.

Namun manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Sepuluh hari sebelum jadwal keberangkatan, Hamdan jatuh sakit sampai harus diopname selama seminggu lebih! Tiap hari selama dirawat, perusahaaannya terus menghubunginya untuk menanyakan kondisi. Akhirnya H-4, mereka pun memutuskan untuk membatalkan keikutsertaan suami saya dalam training di KL itu. Saya yang udah terlanjur membeli tiket pesawat pun menghubungi maskapai penerbangan untuk meminta pengunduran keberangkatan ke bulan berikutnya (Agustus 2009).


Pendapat Sang Dokter dari Negri Jiran

Begitu menemui sang hematolog di sebuah rumah sakit di Kuala Lumpur, saya diminta untuk kembali menjalani tes darah dan urin. Mengingat dulu saya sampai menjalani bedah kecil untuk mengambil sample sumsum tulang sebelum divonis menderita anemia hemolisis, saya pun menanyakan apakah saya perlu kembali menjalani pemeriksaan itu (sumsum tulang) juga. Betapa herannya saya waktu sang dokter dengan tegas berkata hal itu sama sekali tidak dibutuhkan.

Dua jam setelah menjalani tes dan istirahat makan siang, saya dan Hamdan kembali untuk berkonsultasi dengan si dokter. Kata-katanya saat menunjukkan hasil tes yang sudah diterimanya adalah, ”I don’t understand why your doctor said that you have autoimmune haemolysis anaemia. Based on this test, you don’t seem to have any autoimmune disease. You have to stop that steroid,”

Dan sambutan singkat itu ternyata cukup untuk membakar akumulasi perasaan gelisah saya selama ini. Saya shock seketika, dan langsung menumpahkan unek-unek saya yang sudah menumpuk tanpa sempat ingat beristighfar (that I took the d*mn medicine for nothing, etc..).

Mungkin karena saking ’tulus’nya saya mengomel-ngomel, si dokter sampai ikut ‘terbawa’. Hanya saja yang saya sayangkan, beliau menunjukkan simpatinya dengan cara yang kurang simpatik. Salah satu kalimat berikutnya yang ia sampaikan pada saya adalah, “yaa…you know-laah, doctors…hematolog...in Indonesia…nobody good..,”

Deg. Kata-kata itu membuat saya tersadar. Tepatnya, alhamdulillah itu membangunkan saya untuk tidak semakin terlarut dalam drama. Saya emang bukan sesama dokter (apalagi dokter spesialis darah), tapi apa dia lupa, saya juga orang Indonesia?? Meskipun bukan kapasitas saya membela kemampuan seorang hematolog dari negri saya (karna saya juga tidak tahu yang sebenarnya)….tapi –please dong- … dia juga tidak berhak kaliii, terang-terangan menghina apapun yang berhubungan dengan tanah air saya di depan muka saya! Apa disangkanya saya berobat kesana sambil kepingin pindah kewarganegaraan?? Dan dalam hal ini harap bedakan kritik dan hinaan, karna saya selalu berusaha menyambut kritik dengan tangan terbuka. Walaupun kedua hal itu agak sulit dibedakan, saya percaya tetap ada satu cara ampuh mengatasinya : ETIKA. Duh Dokter….mbok ya selain sekolah tinggi-tinggi sambil belajar ber-etika juga…

Setelah ‘sadar’, saya berusaha bersikap senetral mungkin. Kembali fokus pada pernyataan dia sendiri (bahwa saya tidak menginap anemia hemolisis, melainkan hanya anemia biasa yang umumnya diderita sebagian perempuan karena periode menstruasinya yang agak lebih berat/lebih lama dan bisa gampang diobati dengan lebih banyak mengonsumsi zat besi), saya menanyakan kembali pendapatnya terhadap fakta-fakta berikut :
- bahwa Hemoglobin saya memang selalu agak jauh di bawah standar sejak saya lahir...bukan sejak saya puber dan mengalami menstruasi
- bahwa sebelum saya bertemu hematologist pertama saya (yang meresepkan medrol), makanan atau suplemen apapun tidak pernah berhasil mengobati anemia saya itu
- bahwa kesehatan saya (sehubungan dengan Hb) terus meningkat selama terapi Medrol itu
- dan bahwa setelah saya berhenti mengonsumsi Medrol, Hb saya kembali turun sampai akhirnya beberapa bulan yang lalu saya memulai pengobatan dengan akupunktur

Sayang, jawaban sang dokter ketika saya mengemukakan hal-hal di atas sangat tidak memuaskan saya. Beliau hanya berkali-kali menegaskan pokoknya-kamu-terbukti-tidak-menderita-autoimun dan bahwa ’anemia biasa’ saya hanya perlu diobati dengan lebih banyak zat besi dan terakhir : akupunktur itu tidak akan memberi pengaruh apapun.

Namun Alhamdulillah, dengan itu Allah sekali lagi menyadarkan saya. Dokter yang satu ini ternyata tidak berpikiran terbuka. Dia memercayai hasil yang ia temukan sendiri (which is good, actually), namun juga sekaligus menolak kemungkinan teori apapun di belakangnya selain dari apa yang dipelajarinya / diketahuinya selama ini (yg ini saya tidak bisa bilang baik atau buruk, tapi yang jelas tidak sejalan dengan prinsip hidup saya).

Untuk sementara, akhir kunjungan ke dokter di Malaysia itu juga mengakhiri bab pencarian saya atas ”Anemia Hemolisis vs Kemungkinan Anovulasi”. Saya pulang dari rumah sakit itu tidak hanya membawa lembaran hasil terbaru atas kondisi hematologi saya, tapi juga bersama ketenangan pikiran dan perasaan. Hasil pemeriksaan hematolog di Malaysia itu mungkin memang benar menyatakan kondisi saya saat ini. Tapi pada saat yang bersamaan, saya juga memilih untuk tidak mengatakan kondisi yang dinyatakan hematolog pertama saya dulu adalah salah. Mungkin saja dokter saya yang dulu benar, dan hasil pemeriksaan dokter yang sekarang pun benar. Mungkin saja semua benar, namun pada saatnya masing-masing, yang berarti kondisi saya dulu dan sekarang sudah berbeda. Bukankah sudah tiga tahun berlalu dan saya sudah menjalani dan melakukan banyak hal?

Saya juga memilih untuk tetap memercayai pengobatan akupunktur yang masih saya jalani sampai saat ini. Hal menguatkan keyakinan saya atas pilihan ini -bahkan meskipun setelah mendengar opini si dokter Malaysia itu- adalah apa yang saya alami beberapa bulan terakhir ini. Saya berhenti mengonsumsi obat apapun (bukan hanya obat kimia, tapi juga terhadap obat herbal) dan tetap mengonsumsi makanan sehat seperti biasanya, dan secara rutin melakukan pengobatan akupunktur. Lalu setiap bulan, saya mengecek perkembangan kondisi saya dengan melakukan tes darah dan alhamdulillah jumlah sel darah merah saya meningkat, perlahan tapi pasti. Maka wajar kan, jika saya menolak untuk setuju bahwa akupunktur sebagai alternatif yang saya pilih itu sama sekali tidak berpengaruh?



Aku bukan seorang dokter, apalagi dokter spesialis. Aku juga bukan tabib atau akupunkturist. Baik hematologi maupun sistem reproduksi sama sekali tidak pernah menjadi bidang kajianku secara khusus, apalagi bidang keahlian. Dan yang jelas, aku manusia...bukan sejenis ensiklopedia ;p

Aku hanya manusia biasa. Dan layaknya manusia, seperti manusia lainnya yang diciptakan Allah SWT dengan berbagai kelebihannya dari makhluk hidup lain, aku diciptakan untuk maksud dan tujuan tertentu...wallahu alam. Seorang Heidy lahir ke dunia ini dengan dibekali rasa ingin tahu yang tak pernah habis, energi dan semangat yang berlebih untuk menaklukkan tantangan apapun, serta gairah yang tak pernah putus untuk berbagi rasa dengan orang lain. Kemudian dalam perjalanan hidupnya, ia dipertemukan dengan keadaan-keadaan atau peristiwa-peristiwa yang mungkin bagi sebagian orang tampak ’betapa tidak menguntungkannya’, padahal yang sesungguhnya adalah sebaliknya. Mengapa? Karena semua keadaan dan peristiwa itu ’tepat berjodoh’ dengan semua bekal yang dianugerahiNYA padaku! Subhanallah. Memahami hal seindah itu, bagaimana mungkin aku masih pantas bersedih? Allah telah menganugerahiku salah satu kebutuhan hakiki seorang hambaNYA: menemukan sebuah arti hidup. Alhamdulillah.

4 komentar:

Bu Moein mengatakan...

Salam kenal..

Boleh sy tw almt lengkap t4 akupunturx ? Cos org tua sy mengalami pnykit yg sama.
Sklian mw tax, apa anda wktu p'1 kali akupuntur msh minum steroidx ?
Soalx ma2 sy klo tdk minum obt psti lgs turun HBx, d tandai dgn b'wrna kecoklatanx urine

Heidy Kaeni mengatakan...

salam kenal jg Fadly..
Maafkan sayaa, sudah lama sekali membiarkan blog ini terbengkalai, sampai baru sadar ada komentar ini. Sudah terlambat sekali ya kalau saya jawab sekarang pertanyaannya? Walau begitu tetap saya jawab saja ya.

Bahkan sebelum akupunktur, saya sudah berhenti mengkonsumsi steroidnya. memang ketika tidak minum maka Hb langsung turun, tetapi karena tidak separah itu juga turunnya maka saya masih bisa bertahan...(hb minimum saya 9, alhamdulillah belum pernah lebih rendah dari itu). Saya doakan semoga kondisi orangtua Anda segera (atau mungkin sudah) membaik ya.

Salam,
Heidy

semuasayangeko mengatakan...

Salam,

Adik saya saat ini sedang di rawat untuk ke-3 kalinya dalam 2bulan. dan diagnosanya Anemia hemolitik. sudah transfus dan obat. saatini sedang berencanan untuk mencari second opini. Mohon infonya untuk akupuntur yang di jalankan.

Terima kasih.

Unknown mengatakan...

Selamat siang bu heidy kaeni, saya mempunyai teman dari teman mempunyai penyakit yg sama, mohon bantuan dan infonya apa ada no / alamat email yang bisa dihub?