Senin, 20 September 2021

Literasi Sains: Sebuah Pemahaman dan Pendekatan


Dalam buku yang berjudul A History of Ideas in Science Education, De Boer menulis bahwa istilah Scientific Literacy (atau yang berarti kita terjemahkan sebagai “Literasi Sains”) pertama kali diperkenalkan oleh Paul de Hart Hurt, seorang ilmuwan dari Stanford University. Menurut De Hart Hurt, istilah tersebut merujuk pada pemahaman ilmu pengetahuan dan penerapannya di masyarakat. Sementara itu, dalam situs Gerakan LiterasiNasional dari Kemdikbud RI, literasi sains diartikan sebagai pengetahuan dan kecakapan ilmiah untuk mampu mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil simpulan berdasar fakta, memahami karakteristik sains, kesadaran bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan alam, intelektual, dan budaya, serta kemauan untuk terlibat dan peduli terhadap isu-isu yang terkait sains. Bagiku, berbagai kutipan ini menunjukkan luasnya pengertian literasi sains, sebagai bagian dari literasi. Namun, hanya dua hal yang ingin aku garis bawahi: ilmu pengetahuan dan pemanfaatannya.

Kata sains yang diartikan sebagai ilmu pengetahuan pada umumnya sebenarnya sesuai dengan salah satu pengertian yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V. Ya, betul … salah satu, bukan satu-satunya. Ada tiga pengertian yang diberikan di sana:

  1. ilmu pengetahuan pada umumnya;
  2. pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya, botani, fisika, kimia, geologi, zoologi, dan sebagainya; ilmu pengetahuan alam;
  3. pengetahuan sistematis yang diperoleh dari suatu observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya.

Mana pengertian yang paling sering kita pakai sehari-hari atau temukan dari lingkungan sekitar kita? Berdasarkan pengalamanku sendiri, sejak masih duduk di bangku sekolah hingga dipercaya mendidik anak-anakku sendiri, sebenarnya pemakaian kata sains di lingkungan sekitarku lebih jarang merujuk pada “ilmu pengetahuan” pada umumnya. Kebanyakan dari kita lebih banyak merujuk pada pengertian kedua, yaitu ilmu pengetahuan alam, saat menggunakan istilah sains.

Awalnya, aku sendiri cenderung memilih membiasakan diri dengan pengertian pertama. Baik ilmu pengetahuan alam maupun berbagai jenis ilmu pengetahuan lainnya seperti ilmu pengetahuan sosial dan budaya kuanggap sama-sama masuk dalam ranah sains. Ini berarti ketika sedang membahas literasi sains, sebenarnya kita sedang membicarakan dunia ilmu pengetahuan yang beraneka rupa dan nyaris tak terhingga luasnya.

Banyak orang yang mengaitkan literasi dengan buku. Mungkin karena itulah, tak sedikit juga yang mengira bahwa literasi sains terbatas pada pemerolehan ilmu pengetahuan dari bahan-bahan bacaan. Apakah ini berati literasi sains baru dimulai di bangku sekolah atau saat seseorang telah dapat membaca?

Aku tidak berpendapat demikian. Selain meyakini bahwa sains berarti beragam jenis ilmu pengetahuan, aku juga percaya bahwa setiap anak manusia dapat memulai petualangan literasi sainsnya sejak awal kehadirannya di dunia ini. Bayi baru lahir dapat memulai pelajaran pertamanya tentang mencari makanan sebagai kebutuhan pokok hidupnya melalui Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Anak batita belajar tentang perbedaan makhluk hidup dan benda mati dari rutinitasnya sehari-hari. Begitu pula dengan konsep gravitasi, perubahan wujud benda, keberagaman, dan toleransi yang tidak hanya boleh, tetapi memang harus dipelajari anak sejak usia dini.

Meskipun demikian, tidak berati para ibu atau ayah harus ambisius dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara khusus untuk anak-anak balitanya di rumah. Aku pribadi memilih cara yang—menurutku—paling mudah dan “hemat energi”. Untuk si bungsu yang belum berumur tujuh tahun, kumanfaatkan pendekatan free play sesuai teori pendidikan Waldorf yang digagas oleh Rudolf Steiner. Kegiatan yang lebih banyak membebaskan anak dalam bermain ini mungkin sekilas tampak tidak penting atau tidak berguna, padahal merupakan fondasi penting bagi anak sebelum memasuki usia sekolah. Menyediakan alam bebas untuk anak bermain, misalnya, tidak hanya berarti memfasilitasi anak belajar tentang hewan dan tumbuhan yang dilihatnya, tetapi juga menanamkan kebiasaan berempati pada makhluk hidup lain, mengasah keterampilan mengamati dan meneliti, serta menumbuhkan rasa ingin tahu yang tak terhingga.

Tidak ada komentar: