“Sekali lagi maaf dan makasih banget ya … semoga lain kali kita
berjodoh lagi.”
Kusudahi percakapanku melalui telepon dengan seorang teman
lama siang itu. Kutarik napas panjang seraya memandangi kalender di hadapanku.
Kembali kurapal zikir yang kutahu sejak kecil, yang katanya—kata Mama, tepatnya—dapat
membantu menenangkan hati yang gelisah.
Tak kuingkari, sesungguhnya ada keraguan besar saat
kusampaikan keputusanku tadi: menolak tawaran sebuah pekerjaan baru. Sebagai
seorang pekerja lepas dan paruh waktu, sebenarnya aku merasa tak pernah tak
tergiur dengan setiap tawaran pekerjaan yang datang. Tambahan pekerjaan berarti
tambahan imbalan. Nah … mungkin kecuali sudah setajir sultan, siapa sih, orang
di dunia ini yang tak ingin terus menambah isi pundi-pundinya?
Namun, waktu itu aku—meskipun bahkan masih di level yang jauh
dari budaknya sultan—harus menjauhi keinginan wajar tersebut. Tawaran itu memang
menggiurkan, aku sangat tertarik dan sangat yakin dapat mengerjakannya dengan
baik, tetapi terpaksa kutolak karena sebuah pertimbangan yang sudah pernah
kusepelekan pada kesempatan-kesempatan sebelumnya: menjaga kesehatan.
Ya, aku sudah merasakannya: mengabaikan ancaman atas
kesehatan hidup demi mengejar proyek-proyek pekerjaan bernilai tinggi. Dua
puluh empat jam sehari dan tujuh hari seminggu terasa kurang. Di sela-sela kesibukan
yang luar biasa saat itu, tak jarang aku merasa bersalah jika memakai waktu
yang terlalu banyak untuk beristirahat (padahal masih di bawah standar kebutuhan
tidur dalam sehari).
Jika waktu itu aku ditanya bagaimana rasanya, tentu akan
kujawab “enak” tanpa pikir panjang. Bagaimana tidak? Saldo rekening di bank
bertambah, aku jalan-jalan dan makan-makan enak terus (jauh sebelum pandemi), dan
ilmu yang kumiliki termanfaatkan dengan baik. Di mana letak tidak enaknya?
Aku lupa sama sekali pada satu hal yang sesungguhnya
bernilai jauh lebih tinggi di atas semua kenikmatan itu: kesehatan. Kesadaran
itu baru kembali begitu aku mengalami berbagai gejala fisik yang awalnya
sedikit dan ringan, tetapi “lama-lama menjadi bukit”. Kurasakan berbagai ketidaknyamanan
di tubuhku, mulai dari kulit kusam dan berjerawat hingga pendarahan di luar
jadwal menstruasi.
Aku telah mengabaikan kebutuhanku yang lebih utama: tubuh
yang sehat. Sama sekali tak terpikir olehku bahwa ketika sakit, harga yang kubayar
sebenarnya berkali-kali lipat lebih mahal daripada penghasilan dari pekerjaan
yang menyita waktu dan tenagaku itu. Perhitungannya bukan hanya dari konsultasi
dokter, laboratorium, atau obat yang harus dikeluarkan (yang mungkin memang
mahal, tetapi kadang-kadang dapat diganti dengan asuransi). Masih ada yang jauh
lebih tak ternilai harganya, yang mungkin saja tak mampu terbayar dengan
pengobatan semahal apa pun: nikmat sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar