Senin, 08 November 2021

Nikmat Sehat yang Tak Ternilai

 

“Sekali lagi maaf dan makasih banget ya … semoga lain kali kita berjodoh lagi.”

Kusudahi percakapanku melalui telepon dengan seorang teman lama siang itu. Kutarik napas panjang seraya memandangi kalender di hadapanku. Kembali kurapal zikir yang kutahu sejak kecil, yang katanya—kata Mama, tepatnya—dapat membantu menenangkan hati yang gelisah.

Tak kuingkari, sesungguhnya ada keraguan besar saat kusampaikan keputusanku tadi: menolak tawaran sebuah pekerjaan baru. Sebagai seorang pekerja lepas dan paruh waktu, sebenarnya aku merasa tak pernah tak tergiur dengan setiap tawaran pekerjaan yang datang. Tambahan pekerjaan berarti tambahan imbalan. Nah … mungkin kecuali sudah setajir sultan, siapa sih, orang di dunia ini yang tak ingin terus menambah isi pundi-pundinya?

Namun, waktu itu aku—meskipun bahkan masih di level yang jauh dari budaknya sultan—harus menjauhi keinginan wajar tersebut. Tawaran itu memang menggiurkan, aku sangat tertarik dan sangat yakin dapat mengerjakannya dengan baik, tetapi terpaksa kutolak karena sebuah pertimbangan yang sudah pernah kusepelekan pada kesempatan-kesempatan sebelumnya: menjaga kesehatan.

Ya, aku sudah merasakannya: mengabaikan ancaman atas kesehatan hidup demi mengejar proyek-proyek pekerjaan bernilai tinggi. Dua puluh empat jam sehari dan tujuh hari seminggu terasa kurang. Di sela-sela kesibukan yang luar biasa saat itu, tak jarang aku merasa bersalah jika memakai waktu yang terlalu banyak untuk beristirahat (padahal masih di bawah standar kebutuhan tidur dalam sehari).

Jika waktu itu aku ditanya bagaimana rasanya, tentu akan kujawab “enak” tanpa pikir panjang. Bagaimana tidak? Saldo rekening di bank bertambah, aku jalan-jalan dan makan-makan enak terus (jauh sebelum pandemi), dan ilmu yang kumiliki termanfaatkan dengan baik. Di mana letak tidak enaknya?  

Aku lupa sama sekali pada satu hal yang sesungguhnya bernilai jauh lebih tinggi di atas semua kenikmatan itu: kesehatan. Kesadaran itu baru kembali begitu aku mengalami berbagai gejala fisik yang awalnya sedikit dan ringan, tetapi “lama-lama menjadi bukit”. Kurasakan berbagai ketidaknyamanan di tubuhku, mulai dari kulit kusam dan berjerawat hingga pendarahan di luar jadwal menstruasi.

Aku telah mengabaikan kebutuhanku yang lebih utama: tubuh yang sehat. Sama sekali tak terpikir olehku bahwa ketika sakit, harga yang kubayar sebenarnya berkali-kali lipat lebih mahal daripada penghasilan dari pekerjaan yang menyita waktu dan tenagaku itu. Perhitungannya bukan hanya dari konsultasi dokter, laboratorium, atau obat yang harus dikeluarkan (yang mungkin memang mahal, tetapi kadang-kadang dapat diganti dengan asuransi). Masih ada yang jauh lebih tak ternilai harganya, yang mungkin saja tak mampu terbayar dengan pengobatan semahal apa pun: nikmat sehat.

Tidak ada komentar: