Selasa, 31 Agustus 2021

Merdeka dari Buku Bajakan

Dalam rangka turut memeriahkan bulan kemerdekaan negeri ini, komunitas Mamah Gajah Ngeblog menetapkan tantangan dengan tema yang masih berkaitan dengan "merdeka" bulan ini, yaitu "Budayakan Hidup tanpa Bajakan". Kalau dahulu kita berjuang agar merdeka dari status negara jajahan, sekarang marilah kita berjuang untuk merdeka hidup tanpa bajakan. Mirip-miriplah, ya. Bedanya hanya beberapa huruf. Yuk, ikuti ceritaku dalam rangka memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog ini.


Apa Itu Bajakan dan  Membajak

Kalau mengintip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) andalan kita semua, kata bajakan berarti hasil membajak. Namun, kata membajak sendiri mengandung beberapa makna, yaitu sebagai berikut:

1. melakukan perompakan (di laut); merompak

2. mengambil alih kapal terbang (kapal laut, bus, dan sebagainya) dengan paksa dengan maksud tertentu

3. mengambil hasil ciptaan orang lain tanpa sepengetahuan dan seizinnya.

Membajak dalam arti nomor satu dan dua sepertinya kurang sesuai dengan konteks yang diminta dalam tantangan ini. Dengan kata lain, kali ini kita akan fokus pada arti nomor terakhir untuk membajak: mengambil hasil ciptaan orang lain tanpa sepengetahuan dan seizinnya. Kalau begitu, menggunakan pengertian nomor tiga, kita dapat mengartikan bajakan sebagai hasil dari mengambil ciptaan orang lain tanpa sepengetahuan dan seizinnya. Hmm ... familier, tidak, dengan kata-kata ini? Bukankah ini berarti mencuri?

 

Terbiasa dan Tak Sadar Akan Apa yang Salah

Kalau diingat-ingat, dahulu aku sama sekali tak tahu soal bajak-membajak ini. Bukannya tidak pernah melakukannya, tetapi tidak sadar melakukannya dan tidak tahu bahwa itu salah. Ini paling banyak terjadi saat aku mulai berkuliah.

Mahasiswa mana sih di negeri berpenduduk dua ratus jiwa ini yang tidak pernah memanfaatkan jasa tukang fotokopi? Nah di antara kesibukan seputar fotokopian itu, bisa dipastikan ada kegiatan memfotokopi buku. Makin bagus bukunya (biasanya impor), makin laris buku itu di sini .... bukan dibeli, melainkan untuk difotokopi. Siapa yang sanggup membeli buku teks tebal full color sebagai referensi kuliah? Yang jelas bukan saya ... juga teman-teman saya.

Karena semua orang melakukannya, aksi ini jadi terasa benar. Seingatku, pada zamanku dulu, tidak pernah ada diskusi yang membahas betapa salahnya memfotokopi sebuah buku. Yang sering terdengar  justru pertanyaan semacam "Kenapa nggak fotokopi aja?" ketika ada yang belum menggunakan sebuah buku karena belum memilikinya. Jadi, tidak aneh membajak sebuah buku karena yang dianggap aneh adalah yang tidak melakukannya. Inilah paham yang tumbuh subur setidaknya di lingkungan sekitarku saat berkuliah dulu

Menolak buku bajakan

Keyakinan tentang tidak ada yang salah dengan membajak baru tergoyahkan setelah aku menemukan penjualan buku-buku selain buku teks, tetapi versi bajakan. Sebagai pecinta novel, komik, atau fiksi lainnya, aku cukup syok melihat pedagang yang menawarkan jenis-jenis buku favoritku itu, tetapi dalam bentuk yang kualitasnya jauh lebih rendah. Ternyata itu buku-buku bajakan. Entah bagaimana cara menggandakannya, tetapi kurasa semua orang yang teliti akan dapat membedakan kualitas kedua jenis buku itu. Mana yang lebih dipilih? Apakah akan ada yang menyukai barang dengan kualitas yang lebih rendah? Aku sih tak termasuk di antaranya.

Selanjutnya, yang makin membukakan mata adalah pengalamanku sendiri menerbitkan sebuah buku solo. Tidak ada penulis yang tidak ingin hasil karyanya dilihat atau dibaca sebanyak-banyaknya orang. Namun, tetap saja, setiap penulis ingin agar karyanya dihargai. Tak ada yang senang jika barang atau kekayaannya dirampok. Begitu pula penulis. Tak ada yang suka buah pikirnya dilipatgandakan diam-diam. 

Mengingat hal itu, sejak menjadi orang tua, aku selalu berusaha keras menghidari buku bajakan. Bagaimana caranya?

Melepaskan Diri dari Buku Bajakan

Memerdekakan diri dari buku bajakan bukan aksi sekali jadi. Sikap kita hari ini belum tentu sama dengan sikap kita besok, lusa, minggu depan, bulan depan, dan seterusnya. Apalagi dengan gempuran godaan di sana sini ... ini perjuangan seumur hidup, Bung! Karena itulah, kami mencoba menerapkan langkah-langkah berikut.

1. Langkah pertama adalah memeriksa, menganalisis, atau mengkaji  apakah suatu buku itu benar-benar kami butuhkan atau tidak.

2. Langkah kedua adalah memutuskan, apakah berdasarkan hasil pertimbangan di atas, buku tersebut perlu dibeli atau tidak.

3. Langkah ketiga adalah mencari toko atau pedagang terpercaya yang selalu menjual buku-buku asli (original), yang menjual judul buku yang kita cari.

4. Langkah keempat adalah memilih layanan yang paling lengkap dan ekonomis, kemudian membayar tagihannya. Ini penting dilakukan agar kita tidak kapok untuk terus membeli buku asli.

5. Langkah kelima adalah membayar, menunggu pesanan, dan membuka bungkusnya. 

6. Langkah keenam adalah membaca buku yang telah dibeli ini sepuasnya agar tidak menyesal karena telah membeli buku asli.

Kami mencoba menerapkan keenam langkah ini setiap kali dihadapkan pada pilihan keinginan atas sebuah buku baru. Semoga saja dengan usaha ini, tekad dan aksi menghindari buku bajakan dapat dipertahankan selamanya. Nah. Bagaimana denganmu? Apakah kita punya pandangan yang sama untuk urusan buku bajakan ini?


Tidak ada komentar: