Minggu, 31 Oktober 2021

Komunitas Tersayang

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, komunitas adalah kelompok organisme (orang dan sebagainya) yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah tertentu. Ungkapan lain yang tertera di sana masyarakat atau paguyuban. Hmmm. Jika merujuk pada pengertian ini, apakah berarti aku harus membahas tentang rukun tetangga dan rukun warga demi dapat menjawab tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober ini yang mengambil topik "Komunitas yang Aku Cintai"? 

Banner Tantangan Blogging Bulanan Mamah Gajah Ngeblog

Jika benar begitu, aku harus mengibarkan bendera putih. Kurasa interaksi yang terjadi antara aku dan para warga kompleks perumahanku sekarang tidak dapat diceritakan sedemikian rupa hingga dapat komunitas yang satu ini tergolong dalam kategori "komunitas yang kucintai". Kami hanya memenuhi definisi "kelompok orang" dan "di dalam daerah tertentu", dengan sedikit "saling berinteraksi" berupa saling mengirimkan makanan oleh-oleh jika ada yang baru pulang dari luar kota. Ini pun hanya terbatas pada tetangga yang terdekat di tiap arah mata angin: rumah tetangga arah timur, tenggara, selatan, barat daya, barat ... (hayoo ngaku, siapa yang membaca ini sambil menyanyi?)

Mungkin karena kepribadian introverku, aku selalu nyaman untuk melakukan apa pun sendiri. Ini bukan berarti aku tidak dapat berbaur dengan banyak orang di luar sana. Aku dapat dengan mudah berkenalan dengan orang baru, mengakrabkan diri dengan orang asing, bahkan sering diandalkan dalam acara-acara yang menuntut aksi berbicara di depan umum. Meskipun menyukai semua kegiatan itu, aku paham betul, sumber energiku yang sebenarnya datang dari kebebasanku untuk melakukan apa saja yang kusuka ketika benar-benar tidak ada orang lain di sekitarku. Dengan kata lain, berkumpul dengan manusia lain bukan masalah bagiku, tetapi aku tak dapat melakukannya terus menerus tanpa melakukan recharge dengan cara menikmati kesendirianku.

Mungkin karena itulah, berkumpul dan berinteraksi dengan orang-orang lain hampir tak pernah kuanggap sebagai kebutuhan primer sejak aku kecil. Kenalan ada, teman ada, sahabat ada .... tetapi komunitas? Rasanya aku tak ingat satu pun hingga masa kuliah datang.

Komunitas dari Kampus

Aku baru memahami arti komunitas dan menemukan yang paling sesuai denganku di bangku perkuliahan. Namun, orang-orang yang berkumpul di sana bukan para mahasiswa yang berkuliah di jurusan yang sama, melainkan yang mengaku menaruh minat pada hal yang sama: film. Kami tergabung di sebuah unit kegiatan mahasiswa yang dinamai Liga Film Mahasiswa (LFM).

Sebetulnya, aku mendaftar ke sana awalnya hanya karena penasaran. Papaku juga dulu pernah menjadi kru LFM semasa kuliah dan cerita-ceritanya tentang pemutaran film sukses membuatku tertarik, meskipun aku belum banyak berpengalaman dengan film sebelumnya. Namun, siapa sangka ... aku mendapat lebih dari yang kuharapkan dari sana: bukan hanya pengetahuan dan pengalaman seputar film, melainkan juga sebuah keluarga besar. Mungkin dapat kukatakan, inilah komunitas pertamaku.

Aku di Sarang Penyam ... eh, Pelawak

Papa dan Alumni LFM Lainnya di Satu Acara Reuni

Keluarga Besar LFM ITB

LFM terdiri atas manusia-manusia yang amat sangat beraneka ragam, mulai dari latar belakang suku-agama-ras hingga sifat, kebiasaan, dan minat. Satu-satunya kesamaan yang mungkin dimiliki hampir semua anggotanya adalah semangat untuk berbaur, berteman, bercanda, dan bersantai. Di sini, berbeda pendapat dalam berbagai hal adalah hal yang biasa, tetapi jangan harap itu akan mengarah pada perselisihan serius, apalagi permusuhan. Pokoknya, menjadi bagian dari keluarga besar ini (tak hanya di kampus, karena kami pun kini tetap berkumpul sebagai alumni) membuat hidupku terasa jauh lebih menyenangkan. Seolah-olah aku menemukan zona teraman dan ternyamanku di komunitas ini, sampai-sampai memilih pasangan hidup pun dari sini ... hahaha.

Komunitas Para Ibu

Aku baru benar-benar menyadari kebutuhanku akan komunitas setelah hamil dan melahirkan. Rupanya dua pengalaman itulah yang merupakan momen-momen terbesar pengubah hidupku. Semandiri apa pun diriku, sesenang apa pun aku menyendiri, keberadaan teman dan support group ternyata mutlak kubutuhkan sebagai seorang ibu.

Aku bergabung dengan komunitas ibu-ibu yang mahapenting ini semasa hamil. Tepatnya saat kehamilanku memasuki trimester kedua dan sudah aman bagiku untuk kembali aktif berkegiatan fisik. Ketika mencari-cari informasi tentang gentle birth dan prenatal yoga, bertemulah aku dengan komunitas Gentle Birth Untuk Semua yang didirikan oleh Mbak Dyah Pratitasari (Mbak Prita). 

Mbak Prita mempersilakan aku bergabung dengan kelas yoga yang diampunya secara sukarela di pinggir danau UI. Di sana sudah ada belasan orang ibu hamil yang rutin berlatih dengannya sebelum aku bergabung. Selain bertemu langsung setiap akhir pekan, kami juga bertemu di grup whatsapp. 

Sebagian Kecil Anggota Komunitas Prenatal Yoga UI GBUS Batch 6

Awalnya, kami hanya bertukar pesan seputar jadwal latihan yoga dan sedikit-sedikit saling berbagi tentang informasi kesehatan dan kehamilan. Lama kelamaan, apalagi setelah satu per satu bayi yang ada di kandungan terlahir ke dunia, makin banyak dan sering kami berbagi cerita. Bukan hanya dunia perbayian atau makanan dan panci yang kami bahas, lika-liku kehidupan rumah tangga dan hubungan dengan ibu mertua pun tercakup dalam obrolan kami. Entah mengapa, sepertinya banyak di antara kami yang merasa cukup aman dan nyaman untuk mengungkapkan unek-unek terdalam yang tak mungkin diceritakan di lingkungan lainnya.

Tahun demi tahun berlalu, tak terasa, anak-anak kami yang dahulu sama-sama masih di rahim kami masing-masing telah melewati masa menyusui, batita, balita, hingga kini bersiap memasuki bangku sekolah dasar. Grup kami masih ada dan rasanya kedekatan itu tak berkurang sama sekali. Tidak hanya saling mendoakan saat ada yang berulang tahun, kami juga berusaha saling membantu jika ada yang ditimpa musibah, seperti yang memang banyak terjadi di mana-mana selama masa pandemi ini. Sama seperti LFM, komunitasku yang satu ini pun seakan telah menjelma menjadi keluarga besar lainnya bagiku.

Reuni Setelah Dua Tahun Melahirkan (Sebelum Pandemi)

Komunitas Hobi

Sesuai nama (kepanjangan)nya, LFM mungkin dapat dianggap sebagai komunitas hobi. Namun, kalau kupikir-pikir lagi, kategori itu tidak cocok bagiku yang sebetulnya memiliki hobi lain yang jauh lebih "kental": menulis. Anehnya, kebutuhan akan komunitas menulis tak pernah betul-betul kupikirkan dengan serius sampai awal tahun ini. Apakah ini karena pandemi? Atau karena umur? 😁

Pucuk dicinta, ulam tiba. Aku bertemu dengan dua komunitas menulis sekaligus yang baru saja dibentuk: Mamah Gajah Ngeblog (MGN) dan Mamah Gajah Bercerita (MaGaTa). Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, keduanya merupakan subgrup dari komunitas ITB Motherhood (aku sudah lama bergabung di grup induknya ini, tetapi tidak aktif karena jarang mengakses Facebook). 

Logo Komunitas MaGaTa

Poster Pertama Tantangan Blogging MGN 

Berkat MaGata maupun MGN yang rutin menyelenggarakan tantangan, aku "dipaksa" untuk konsisten berlatih menulis dan berusaha menghasilkan tulisan-tulisan yang lebih baik daripada sebelumnya. Di MaGaTa, aku dan teman-temanku tak bosan belajar tentang kepenulisan dan kebahasaan. Sementara itu, di MGN, kami terus belajar tentang seluk beluk dunia blog. Aku belajar, belajar, belajar lagi bersama teman-teman dan bidang yang dipelajari adalah hobi terbesarku. Wajar, dong, aku sangat betah menjadi anggota kedua grup ini? 

Karena itulah, walau terbilang baru lahir, kedua komunitas ini pun sah tergolong ke dalam kategori komunitas yang kucintai. Tanpa komunitas-komunitas ini, entah seperti apa keseharian dan kehidupan yang kujalani. Terima kasih, MaGaTa dan MGN! Terima kasih juga, YogaUI Batch 6! Terima kasih, LFM!

Aku mencintai kalian! Aku tresno karo kowe! Abdi bogoh ka anjeun! Aishiteru! Saranghaeyo! Te quiero! Ana Ahibuk! Ich liebe dich! I love you! 

Nah ... bagaimana denganmu? Adakah komunitas-komunitas yang awet dan istimewa di hati? Ceritakan juga, ya!

Tidak ada komentar: